Kamis, 07 Juli 2011

Problem Penegakan Hukum


Problem Penegakan Hukum
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].

Perjalanan penegakan hukum di Indonesia yang saat ini kita perhatikan masih dalam keadaan carut-marut dalam setiap proses penegakan hukum itu sendiri. Carut-marutnya penegakan hukumdi Indonesia disebabkan antara lain karena wacana penegakan hukum ternyata masih keliru cara pencapaiannya. Hal ini tentunya terllihat dari landasannya berpikirnya adalah proses penegakan hukum yang berlandaskan pada pemikiran hukum itu sendiri, dan juga hanya dilandaskan pada undang-undang sebagai manifestasi dari hukum tanpa melihat teori-teori yang bersesuaian dengan keadaan yang seharusnya.
Undang-Undang itu sebagai penerjemahan dari pikiran-pikiran (mindset) hukum, ide-ide hukum. dengan demikian, undang-undang tidak boleh berdiri sendiri tanpa dilandasi oleh pemikiran-pemikiran atau konsep yang dibutuhkan oleh hukum. Akan tetapi tidak lucunya bangsa Indonesia sekarang ini adalah masih syndrome dengan berhukum yang politis, atau juga dapat dikatakan berhukum dengan cara “akal-akalan”, artinya ialah banyaknya perkara tidak diselesaikan dengan hukum yang telah ada tetapi dikerjakan dengan “asal dapat bagian yang sama”.
Setelah berlalunya rezim otoriter mantan Presiden Soeharto dengan lahirnya reformasi, ternyata cara berhukum tidak lebih baik dengan apa yang dipertonton saat sekarang ini, yakni banyaknya penegak hukum sebagai pengatur pemenang perkara daripada berhukum apa yang telah disepakati bersama dalam artian apa yang telah dirumuskan oleh masyarakat melalui perwakilannya.  Ironisnya sekarang, hukum itu sendiri telah dijadikan permainan oleh mereka-mereka yang mengerti hukum, hal ini terlihat banyaknya hukum didominasi oleh mereka sendiri yang mengerti hukum. bahkan jauh dari itu lagi perilaku pelanggar hukum dilakukan dengan cara memayungi perbuatannya itu dengan media politik, antara lain dapat dilihat banyaknya “uang rakyat yang di Ranpok” dengan cara membuatkan “perda-perda” dan dianggaplah sah uang tersebut padahal perda itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, hal ini terjadi dikarenakan para politikus memanfaatkan “kebodohan” masyarakatnya.
Sadjipto Rahardjo mengatkan bahwa hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum salah satunya adalah bergesernya hukum menjadi “permainan” dan “bisnis”, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya derajad hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing Justice)[2]. Sebenarnya, hukum adalah kajian ilmu yang selalu berubah, (hal tersebut bisa dilihat banyaknya undang-undang yang belum sempat berulang tahun) dengan perubahan-perubahan itu mengharuskan hukum harus selalu eksis menyesuaikan diri dengan bergesernya pradigma kehidupan manusia, akan tetapi kenyataannya hukum dalam perkembangannya selalu mengikuti langkah nyata kehidupan manusia.
Dapat dikatakan bahwa, seharusnya hukum diartikan sebagai perwujudan perikehidupan manusia, perilaku manusia yang baik, hukum tidak selalu harus ditempatkan pada posisi belakang dari setiap langkah manusia yang beradab. Sebagaima yang kita ketahui bahwa, Indonesia telah membukukan dirinya sebagai Negara hukum, artinya semua sendi-sendi kehidupan Negara harus didasarkan pada keselarasan etika dan moral. Keselarasan tersebut dapat dikatakan sebagai semua sendi kehidupan harus teratur atau tunduk kepada keteraturan yang baik dan terukur, keteraturan itu harus didasarkan kepada rumusan-rumusan keseimbangan, rumusan keseimbangan itu seyogyanyadapat diartikan sebagai sebuah keadilan dan pernghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang sempurna, yang harus pula didasarkan pula pada postulat-postulat yang ada dalam hati sanubari manusia sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya dimuka bumi dan jugasebagai peletak dasar nilai-nilai dan ide-ide yang baik yang ada dalam jiwa manusia yang paling dalam.
Tidak demikian halnya yang terlihat, justru kenyataannya sampai sekarang hukum yang sesungguhnya belum mampu menyentuh sendi kehidupan bangsa Indonesia sebagai tuan rumah yang baik. “Hukum” yang dilihat sekarang juga masih sering kita temukan keberpihakannya, sehingga hukum (peraturan perundang-undangan) masih berada pada lapisan masyarakat diwilayah tertentu atau dengan kata lain belum semua yang memahami dengan baik.
Bila kita lihat, Problem Penegakan hukum di Indonesia masih sering ditandai dengan ketidakpuasaan subjek hukum ketika hukum itu “dijalankan” pada tahap awal sampai dengan finalisasi hukum itu sendiri. Karena masalah penegakan hukum di Indonesia masih sangat kental denagn warna bahwa penegakan hukum itu belum terlaksana, penegakan hukum baru berada dan berhenti pada penegakan peraturan perundang-undangan belaka atau berhenti pada pintu masuk peraturan hukum tanpa mau masuk lebih jauh lagi kedalam dunia hukum yang sebenarnya. Peraturan perundang-undangan sangat kental dengan aroma politis, sehingga akan berpengaruh kepada pencapaian cita-cita pada sebuah tujuan yang sangat terpuji, yaitu penegakan hukum, yaitu yan baru hanya dapat bersandar kepada bentuk penegakan hukum dengan mengandalkan koneksi tanpa mengetahui peraturan itu sesungguhnya dan diperparah lagi dengan adanya saling “dapat untung dari perkara yang dibawa ke pengadilan”. Hal ini dikatakan oleh Sadjipto Rahardjo bahwa Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa[3], maka jadilah Problem Penegakan Hukum menjadi carut-marut.
Terakhir penulis hanya dapat mengatakan bahwa, bawalah ilmu yang sudah baik kamu dapatkan dari sekolah-sekolah hukum tempat kamu mendapatkannya. Semoga.




[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011
[2] Sadjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, Januari 2006
                   [3] Sadjipto Rahardjo, “Berhukum Dengan Akal Sehat”, Kompas, 19 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar