Senin, 04 Juli 2011

Bentuk Kejahatan Korporasi Dan Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup

Bentuk Kejahatan Korporasi  Dan Penegakan Hukum Pidana
Di Bidang Lingkungan Hidup
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban Untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
          Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Peranan korporasi dalam perkembangan aktifitasnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemasukan Negara dalam bentuk pajak, bahkan devisa, serta penyedian kerja yang luas bagi msyarakat. Naming demikian, tidak jarang korporasi dalam aktivitasnya melakukan tindakan menyimpang atau kejahatan berbagai modus operandi[2].
Terkait dengan itu, kejahatan korporasi juga makin bertambah seiring dengan bertambahnya suatu pertumbuhan ekonomi. Akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kejahatan korporasi umumnya sudah dipandang oleh masyarakat sebagai kejahatan yang paling serius dan berbahaya daripada kejahatan-kejahatan konvensional, seperti perampokan dan pencurian dengan kekerasan. Demikian juga dengan akibat yang ditimbulkannya, kejahatan korporasi jauh lebih dahsyat daripada akbat yang ditimbulkan oleh kejahatan konvensional, yaitu kematian atau cidera akibat dari produksi mobil yang cacat, penentuan harga oleh korporasi, dan masih banyak korban lainnya akibat kejahatan korporasi[3].
Dewasa ini salah satu bentuk kejahatan korporasi yang sangat menjadi perhatian karena perkembangannya yang terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup. Kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak/korban yang begitu besar dan kompleks, yakni secara umum tidak hanya menguras sumber daya alam, tetapi juga modal manusia, modal social, bahkan modalkelembagaan yang berkelanjutan[4].
Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup menyangkut korporasi dalam aktivitasnya yang dapat berdampak terhadap lingkungan hidup[5]. Tentunya kebijakan hukum pidana sangat diperlukan dalam bidang lingkungan hidup ini. Pengaturanhukum pidana dibidang lingkungan hidup ini juga harus sesuai dengan lingkungan itu sendiri.
Terabaikannnya masalah lingkungan ini disebabkan belum sempurnanya penangan lingkungan hidup oleh berbagai departemen terkait seperti kementerian lingkungan hidup, departemen perdagangan, perindustrian, kehutanan, pertambangan[6]. Kasus kejahatan dibidang lingkungan hidup merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia apabila terjadi pencemaran lingkungan hidup yang diduga kuat yang diduga kuat ditimbulkan oleh berbagai kinerja korporasi, pihak kepolisian tidak segera melakukan tindakan pengusutan. Biasanya yang akan berteriak keras atas pencemaran tersebut adalah organisasi masyarakat yang memberi perhatian khusus terhadap lingkungan hidup.

Bentuk Kejahatan Korporasi

Mabel A. Elliot dalam bukunya Crime in Modern Society (1952), melihat kejahatan dari beberapa sudut:
1. Crime as a Social Problem. Dilihat dari sudut sosiologi, maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial karena penjahat bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, undang-undang, ketertiban dan kesejahteraan social
2. Crime as a Psycological Problem. Psikolog selalu mengingatkan bahwa “kejahatan itu dibuat oleh penjahat”. Kejahatan itu dibuat oleh penjahat dan penjahat itu adalah manusia, yang atas dasar apapun juga, mempunyai motif untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Oleh karena itu dilihat dari sudut psikologis kejahatan kecuali memang adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang penjahat, adalah perbuatan dari orang-orang yang sama dengan kita (The experience of crime behaviours is not different from the experience of human behaviour).
3. Crime as a Psychosocial Problem. Kelakuan dari seorang penjahat, bilamana dilihat dari sudut masyarakat adalah suatu kelakuan yang menyeleweng (deviant behaviour).
4.  Crime as a Legal-social Problem. Definisi kejahatan, setiap perbuatan, atau kegagalan untuk melakukan suatu perbuatan, yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang, yang untuk tindakannya tersebut dapat dijatuhkan pidana dalam bentuk denda atau punishment, hilang kemerdekaan, dibuang ke luar daerah, pidana mati dan lain-lain[7].
Pertumbuhan korporasi diantaranya terus meningkat sangat pesat dari jumlah dan ukurannya seiring dengan peranannya. Tentunya ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi, social, dan politik sebagaian besar dipengaruhi oleh peilaku korupsi.
Harus diingat korporasi mempunyai peranan pentin dalam upaya globalisasimelalui prose’s pembangunan di bidang ekonomi. Peranan korporasi dalam perkembangan aktivitasnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemasukan Negara dalam bentuk pajak dan devisa, serta penyediaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemerintah yang berorientasi pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membangun berbagai industri yang operasionalnya banyak diperankan oleh korporasi, tidak jarang dalam aktivitasnya menunjukkanperilaku menyimpang. Penyimpangan perilaku korporasi dalam aktivitasnya inilah kemudian dikenal dengan istilah kejahatan korporasi.
Adapun bentuk, dan perumusan ruang lingkup kejatan korporasi dapat dijelaskan sdemikian rupa oleh suatu keadaan yang dilihat dalam keadaan sekarang ini.
“Jenis kejahatan korporasi acapkali digunakan dalam berbagai konteks dan penamaan. Tidaklah mengherankan kalau Di Amerika Serikat, setiap Negara bagian menyusun perundang-undangannya terdapat lebih kurang 20 perumusan yang bertalian dengan kejatan korporasi. Dalam pada itu perlu dicatat bahwa istilah kejahatan korporasi ( corporate crime ) acapkali digunakan dalam konteks white-collar crime, organitional crime, organized crime, georganiseerde misdaad, groepscrimaliteit, misdaad onderneming, crime of business ( business crime ) syndicate crime. Untuk sementara tidak ada maksud untuk mendeskripsikan makna dan perbedaan dari berbagai istilah itu. Bahkan Simon da Eitzen, misalnya, tidak menggunakan istilah crime ( kejahatan ), tetapi memakai ( elite ) deviance. Dijelaskan oleh Simon dan Eitzen bahwa – “elite devience may be either criminal or non criminal in nature”[8].
“Istilah “white collar crime” sering diterjemahkan dalam bahsa Indonesia sebagai “ kejahatan kerah putih” ataupun “kejahatan berdasi”. White collar crime ini pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang Bernama Edwin Hardin Sutherland ( 1883 – 1950 )diawal decade 1940-an, yang dikemukakan dalam suatu pidato dari sudherland yang selalu dikenang dan saat itulah pertama kali muncul konsep white collar crime, yaitu pidatonya tanggal 27 desember 1983 pada The American Sosiological Society di Philadelphia dalam tahun 1939. Kemudian sutherlan menerbitkan buku berjudul white collar crime dalam tahun 1949”[9].
Beralihnya perubahan penekanan kejahatan yang semula berada pada individu kepada kejatan korporasi ini disebabkan oleh beberapa factor-faktor yang melarbelakanginya.
1.      dalam hal ini kita telah menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam jumlah dan ukuran korporasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya semua kegiatan ekonomi, social, dan politik sebagian besar dipengaruhi oleh perilaku korporasi.  Selama priode yang sama dan sebagaian besar reaksi atas pertumbuhan korporasi yang begitu dramatis, yaitu dalam upaya pemerintahan mengatur kegiatan tersebut melalui pembuatan sejumlah undang-undang oleh pemerintah.
2.      Sekalipun media massa sedikit memberikan publisitas penuntutan terhadap kejahatan korporasi selama studi Sutherland, berarti bukan tidak ada kasus kejahatan korporasi.
3.      Upaya-upaya konsumen mendukung tuntutan terhadap korporasi telah berdampak luar biasa pada perhatian publik terhadap kejahatan korporasi seperti upaya legelatif untuk mengendalikan kejahatan tersebut.
4.      Perhatian yang lebih besar berkaitan dengan lingkungan bahwa dalam kenyataannya banak korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan.
5.      Kurang berhasilnya penanggulangan kejahatan dalam tahun 1960-an terhadap kejahatan disebabkan oleh kemiskinan ( meskipun hal itu merupakan cara terbaik untuk mengatasi permasalahn tersebut ). Akibatnya membawa pada kenyataan bahwa dalam upaya penggulangan kejahatan yang dilakukan orang miskin tidak hanya manya masalah kejahatan itu yang tidak dapat diatasi, tetapi juga kejahatan yang dilakukan golongan kelas menengah dan atas, sedangkan korporasi diabaikan[10].
Dalam pada itu, karakteristik white-collar crime pada umumnya dan kejahatan korporasi pada khususnya adalah sebagai berikut: (1) low visibility, (2) complexity, (3) diffusion of responsibility, (4) the diffusion of victimization, (5) difficult to detect and to prosecute, (6) lenient sanctions, (7) ambigouos laws, (8) ambiguous criminal status[11].
Mengenai kejahatan korporasi, ada tiga defenisi tentang kejahatan korporasi. Pertama, tindakan legal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku criminal kelas-sosio ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, teteapi juga pelanggaran atas hukum perdatadan administrasi. Kedua, baik korporasi ( sebagai “subyek hukum perorangan legal persoon” ) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan ( as illegal actor ) dimana praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahata yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motvasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk kepentingan pribadi, melainkan bagi pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional ( internal ) dan sub-kultur organisasional[12].
Terkait dengan defenisi kejahatan korporasidiatas, Steven Box memberikan beberapa pembedaan menyangkut kejahatan korporasi sebagai berikut;
1.      Crime for corporation ( corporate crime ): kejahatan yang dilakukan oleh korporasi untuk mencapai tujuan korporasi berupa perolehan keuntungan untuk kepentingan korporasi, atau dengan kata lain, corporate crime is clearly committed for the corporate and not against it
2.      Crime against corporation ( employee crime ): kejahtan terhadap korporasi, misalnya seorang bendahara yang mencuri uang korporasi. Dalam hal ini yang menjadi sasaran kejahatan yakni korporasi sehingga korporasi yang menjadi korban
3.      Criminal corporation: korporasi digunakan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan[13]
Menurut Cilanard dan Yeager, sebagaimana dikutip oleh Arif Amrullah ada 6 (enam) kejahatan korporasi tersebut ialah:
1.     pelanggaran dibidang administrative, meliputi tidak memenuhi persyaratan suatu badan pemerintahan atau pengadilan, seperti tidak mematuhi perintah pejabat pemerintah. Sebagai contoh, membangun fasilitaspengendalian pencemaran lingkungan.
2.     Pelanggaran dibidang lingkungan hidup, meliputi pencemaran udara dan air berupa penumpahan minyak dan kimia, seperti pelanggaran terhadap surat izin yang mensyaratkan kewajiban penyediaan oleh korporasi untuk pembangunan perlengkapan pengendalian polusi, baik polusi udara maupun air.
3.     Pelanggaran dibidang keuangan, meliputi pembayaran secara tidak sah atau mengabaikan untuk menyingkap pelanggaran tersebut, seperti penyuapan dibidang bisnis, sumbangan politik secara tidak sah, pembayaran ( suap ) untuk pejabat-pejabat asing, pemberian persenan, dan manfaat atau keuntungan secara illegal. Contoh, pelanggaran yang berkaitan dengan surat-surat berharga, yakni memberikan informasi yang salah atas wali utama, mengeluarkan pernytaan yang salah. Pelanggaran transaksi meliputi syarat-syarat penjualan ( penjualan yang terlalu mahal terhadap langganan ), penghindaran pajak, dan lain-lain.
4.     Pelanggaran perburuhan dapat dibagi menjadi empat tipe utama: diskriminasi tenaga kerja ( ras, jenis kelamin atau agama ), keselamatan pekerja, praktik perburuhan yang tidak sehat, upah dan pelanggaran jam kerja.
5.     Pelanggaran Ketentuan Pabrik, melibatkan tiga badan pemerintah, yaitu: the consumerm product safety commission bertanggungjawab atas pelanggaran terhadap the poison prevention packaging act, the flammable fabrics act, da the consumer product safety act; the national highway traffic safety administration mensyaratkan pembuatan kendaraan bermotor atau memberitahukan agen dan pemilik, pembeli, dan kecacatan dari pedagang sehingga mempengaruhi keselamatan kendaraan bermotor, disamping itu juga mnsyaratkan pembuat ( Pabrik ) untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Kecacatan tersebut meliputi mesin sebagai akibat dari kesalahan pada bagian pemasangan, pemasangan yang tidak benar, kerusakan system, dan desain yang tidak baik. Terkait dengan hal itu, dapat dikemukan suatu contoh kasus di Indonesia, yaitu sebagaimana pernah dikemukakan oleh Lembaga Konsumen Indonesia ( ditayangkan salah satu stasiun tv swasta nasional ) beberapa waktu lalu, ban mobil Mercedes pecah ketika dipakai oleh pemiliknya padahal semuanya baru. Setelah diteliti, ternyata mobil impor tersebut bukan untuk daerah trpis; kemudian terbukti food and drug administration, antara lain berkaitan dengan kesalahan dalam pengepakan, label, merek dan sebagainya.
6.     Praktik perdagangan yang tidak jujur, meliput berbagai macam–macam penyalahgunaan persaingan ( antara lain monopolisasi, informasi yang tidak benar, diskriminalisasi harga ), iklan yang salah dan menyesatkan merupakan hal penting dalam praktik perdagangan yang tidak jujur[14].
Kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup adalah bentuk penyimpangan korporasi dalam melakukan aktivitas usahanya yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup. Korporasi yang penyimpangannya diatas dapat dibedakan dalam beberapa jenisberdarkan daya rusaknya terhadap lingkungan hidup.
Jhon Elkington menyusun empat jenis peusahaan/korporasi berdasarkan daya rusaknya terhadap lingkungan hidup dengan menggunakan metafor serangga. Empat jenis korporasi tersebut adalah:
1.     Korporasi Ulat ( caterpillar )
Ulat adalah serangga yang mampu melahap dedaunan dalam waktu sekejab, dan hanya menyisakan rangka dan sirip. Dalam system ekonomi yang didominasi oleh korporasi ulat, sumberdaya alam akan dilahap sedemikian rupa untuk kepentingannya sendiri diatas pengorbanan sustainabilitas lingkungan hidup dan kehidupan social ekonomi. Wibisono ( 2007 ) menyamakan korporasi ulat dengan mendapatkan peringkat hitam
2.     Korporasi Belalang ( locust )
Perusahaan berperingkat merah, menurut wibisono, cocok dimasukkan dalam jenis ini. Mereka mengekploitasi sumber daya alam melampaui daya dukungan ekologi, social dan ekonomi. Dampaknya sangat degeneratif, regional dan internasional. Perusahaan ini menganggap CSR ( corporate social reponsibilty ) sebagai cost. Karena itu, mereka baru menyelenggarakan CSR ketika mendapatkan tekanan dari masyarakat.
3.     Korporasi Kupu-Kupu ( butterfly )
Perusahaan ini memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dan social. Perusahaan berperingkathijau masuk dalam jenis ini. Wibisono menyebut beberapa perusahaan yang termasuk peringkat/jenis ini, seperti PT. Petrokimia Gresik, PT. Semen Gresik Tbk., dan PT Riau Andalan Pulp and Papper
4.     Korporasi Lebah Madu ( honeybee )
Berbeda dari korporasi belalang yang degeneratif, korporasi ini ini justru bersifat regeneratif. Sayangnya sampai sekarang belum ada satupun perusahaan yang bisa dimasukkan dalam jenis ini. Dalam versi Proper, perusahaan ini berperingkat emas[15].
Dari pembahsan nomor satu ini, penulis memberikan suatu gambaran bahwa perusahaan yang merusak lingkungan lebih banyak dari perusahaan yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah dalam upaya pelestarian dibidang lingkungan hidup.

Sebab Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Belum Optimal
Hukum memang hidup dimasyarakat senyatanya hukum akan mampu menjalankan menjalankan sebagai social engineering. Untuk memahami hukum secara komperehensif maka ada baiknya kami kemukakan pendapat Hoeble sebagaimana dikutip oleh Esmi Warassih yang menyimpulkan ada empat fungsi dasar hukum yaitu:
1.     menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2.     menentukan pembagian kekuasaan dan mememrinci siapa saja yang boleh melakukan paksaanserta siapakah yang harus menaatinya dan sekaligus memilih sanksi-sanksi yan tepat dan efektif;
3.     menyelesaikan sengketa;
4.     memilihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat[16].
Sadjipto Rahadjo menyatkan bahwa ada dua fungsi hukum, yaitu:
1.     Social Control ( kontrol social )
kontrol social merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
2.      Social Engineering ( Rekasa sosial ) penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol social, yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa social hukum leih mengarah pada pembahsan sikap dan perilaku masyarakat dimasa akan mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang. Perubahan yang dikehendakiitu pula berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola tingkah laku yang baru dimasyarakat[17];
Dalam Penegakan hukum  ( law emporcement ) terdapat kehendak agar hukum tegak, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Sedangkan dalam menggunakan hukum, cita-cita yang terkandung dalam hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih, sebab hukum tersebut digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang hendak dilakukan ( to use the low to legitimate their aktions )[18]. Sejalan dengan itu, keterbatasan hukum pidana dalam menegakkan hukum juga sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana di bidang lingkungan. Hal ini bisa dilihat dari kemampuan hukum pidana sebagai sarana kebijakan kriminal ialah meliputi:
1.      Sebab kejahatan demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana;
2.      Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil ( sub system ) dari sarana kontrol social yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusian dan kemasyarakatan yang sangat kompleks ( sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dsb );
3.      Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kuriereen am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan pengobatan kausatif”;
4.      Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang menandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsure-unsur serta efek sampingan yang negatif;
5.      Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat structural/fungsional;
6.      Keterbatasan jenis sanksi pidana dan system perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
7.      Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi[19].
Selain itu saran non penal ini sangat efektif karena sifatnya yang preventif, sedangkan sarana penal lebih bersifat represif, yaitu penindakan dan pemberantasan setelah terjadinya kejahatan.
Pernyataan yang sering diungkapkan dalam kongres-kongres PBB mengenai “ the prevention of crime and the treatmentof offenders” adalah sebagai berikut:
1.      Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana janganlah diperlakukan/dilihat sebagai problem terisolir dan ditangani dengan metode yang simplistic dan fragmentair, tetapi segioyanyadilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan ditangani dengan kebijakan/tindakan yang luas dan menyeluruh.
2.      Pencegahan kejahatan harus didasarkan pada pengetahuan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang demikian harus merupakan “strategi pokok/mendasar dalam upaya pencegahan kejahatan” ( the basic crime prevention strategy ).
3.      Penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan social, diskriminasi rasial da diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara besar golongan penduduk.
4.      Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana segioyanya dipertimbangkan dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi, system politik, nilai-nilai sosio cultural dan perubahan masyarakat, juga dalam hubungannya dengan tata ekonomi dunia/internasional baru[20].
Adapaun penyebab lain dari tidak efektifnya, proses penegakan hukum lingkungan baik pada tahap formulasi ( tahap dimana peraturan dibuat, dirumuskan, ditetapkan oleh lembaga legeslatif), maupun pada tahap aplikasi tidak dapat dilepaskan berbagai pengaruh yang ada diluar hukum. Hukum bukanlah suatu system yang berdiri sendiri, yang ada di luar ruang hampa, tetapi sangat dippengaruhi oleh berbagai hal seperti:
a.       Faktor Internal : misalnya kemampuan para personal didalam memahami hukum, moral, kecerdasan, dedikasi, visi dan misi, keterampilan sifat wales asih, loyalitas terhadap tugas, komitmen akan tegaknya hukum dan keadilan
b.      Factor Eksternal : seperti intervensi politik dan kekuasaan, system hukum itu sendiri, kedudukan hukum pidana dalam system hukum lingkungan, merosotnya kinerja peradilan, pendekatan positivistic, mafia peradilan, konflik kepentingan dan lain-lain[21].
Sedangkan pada tahap penegakan hukum lingkungan pada tahap aplikasi proses penegakan hukum lingkungan dipengaruhi juga oleh factor-faktor lain yaitu sebagai berikut:
a.     Dominasi Kekuasaan dalam proses penegakan hukum lingkungan.
b.     Intervensi kekuasaan terhadap proses penegakan hukum lingkungan hidup.
c.     Merosotnya kinerja peradilan dalam menangani masalah lingkungan hidup.
d.     Mafia peradilan dalam prose’s penegakan hukum pidana lingkungan.
e.     Konflik kepentingan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat dalam proses penegakan hukum pidana lingkungan.
f.      Intervensi politik pada tahap aplikasi penegakan hukum lingkungan.
g.     Ketergantungan penerapan hukum pidana pada hukum administrative[22].
Faktor lain juga yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan yaitu dari sisi kualitas aparat penegak hukum dapat dikatakan belum mengusai seluk beluk hukum lingkungan bahkan mungkin pengenalan terhadap hukum lingkungan sangat kurang. Hal ini hanya dapat diatasi dengan pendidikan dan latihan disamping orangnya harus belajar sendiri dengan membaca buku, mengikuti pertemuan ilmiah. Pengetahuan yang luas biasanya membawa kepada meningkatnya kepercayaan diri sendiri dan slanjutnya akan menjurus kepada kejujuran. Disamping itu, belum ada spesialisasi dibidang ini. Belum ada jaksa khusus bidang lingkungan, belum ada polisi khusus lingkungan, apalagi patroli khusus yang terus menerus memantau masalah lingkungan, sebagaimana halnya dibelanda[23].





[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
[2] Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi Di Bidang Lingkungan Hidup Persfektif Viktimologi dalam Pembeharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Nusa Media, Bandung, 2009
[3] Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, BayuMedia Publishing, Malang, 2006
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Sebeleas Maret University Press, Surakarta, 2008
[7] http://www.oneofthesky.co.cc/2010/05/teori-kejahatan.html, diakses tanggal 11 Januari 2011 Jam 23.07 Wib, Surakarta
[8] J E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refina Aditama Cetakan Kedua, Bandung, 2002
[9] Munir Fuady, Bisnis Kotor ( Anatomi Kejahatan Kerah Putih ), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
[10] Arief Amrullah, Op. Cit
[11] H. setiyono, Kejahatan Korporasi ( Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia), Bayu Media Publishng, Malang, 2005
[12] A Patra M Zen, Kejahtan Korporasi dan Norma Tentang Akuntabilitas Korporasi Kejahatan Korporasi, YLBHi Kejahatan Korporasi
[13] Arif Amrullah, Op. Cit
                  [14] Ibid
[15] Muhammad Topan, Op. Cit
[16] Op.cit
[17] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, 1986, hlm 119-121
[18] Roni Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2006
[19] Barda Nawaw Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007
[20] Ibid
[21] Hartiwiningsih, Op.Cit
[22] Ibid
[23] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005

2 komentar:

  1. gan sorry itu typooo nama tokoh nohh
    harusnya JOHN ELKINGTON gann bukan JHON ELKINGTON
    Trus gan, dapet artikelnya dia dari mana yah? dari bagian publications, books, speaking apa journalnya? mohon infonya gan
    thanks gan

    BalasHapus
  2. Kejahatan bisnis adalah perbuatan seseorang dengan cara menghalkan segala cara tanoa mempertimbangkan akibat yg sesungguhnya berdasarkan aturan hukum yg sesungguhnya.

    BalasHapus