Senin, 04 Juli 2011

Mengapa Korupsi Sulit Diberantas


Mengapa Korupsi Sulit Diberantas
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]

Berdasarkan laporan Bank dunia sebagaimana disebutkan dalam gobal development finance 2000, Indonesia dikategorikan sebagai Negara yang hutangnya parah tetapi berpenghasilan rendah (severely indebted low income country), satu kelompok dengan Negara-negara termiskin di dunia seperti mali dan eitopia[2]. Berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut Sumitro djojohadikusumo secara substansial mengatakan bahwa kebocoran anggaran Negara pada waktu itu sudah sangat parah, yang menurut beliau tidak kurang dari 30% dari total anggaran pembangunan[3].
Bertitik tolak dari hal itu, maka lahirlah sejumlah undang-undang[4], namun demikian Undang-Undang tersebut tidak bertahan lama, karena Undang-Undang tersebut dianggap tidak memenuhi tuntutan reformasi. Pada tahun 2001 undang-undang yang berkaitan dengan korupsi diubah. korupsi[5] hampir disegala bidang susah dimasuki. Menurut ICW potensi kerugian Negara akibat korupsi pada tahun 2006 dari 140 kasus ialah Rp 10,9 triliun[6], yang terbaru, pada semester pertama tahun 2010 potensi kerugian Negara dari tindak pidana
korupsi yaitu Rp 2 trilun lebih dari 176 kasus korupsi[7]. Adapun kasus korups terus meningkat sepanjang semester pertama 21010 ini, peningkatan tersebut hampir 50 % dari tahun sebelumnya[8].
Dalam penegakan hukum, aparat penagak hukum selalu mencari alasan pemebenaran dalam hukum, dengan kata lain mereka berlindung dibalik lemahnya hukum. Lemahnya hukum atau sebut saja lemahnya kemampuan aparat penegak hukum dalam pembernatasan korupsi ini menjadi semakin diperparah oleh karena tidak adanya keseriusan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penegakan hukum[9] tindak pidana korupsi harus tindak menggunakan cara-cara yang ada dalam KUHAP lagi, penegakan hukum dengan tindak pidana korupsi harus sedapat mungkin menggunakan sarana-sarana yang tidak sama dengan KUHAP, laporan dari masyarakat yang sudah memiliki data terkait kerugian aparat penegak hukum senyatanya harus turun langsung melakukan penyelidikan, bukan hanya beridiri menunggu laporan lengkap. Kebanyakan laporan yang masuk hanya dijadikan bahan pencarian atau dengan kata lain mencari uang masuk terhadap tersangka yang dilaporkan.
Banyak tindak pidana korupsi, membuat masyarakat menjadi sengsara, menderita dan banyak anak-anak yang tidak bersekolah karena hal tersebut. Betapa tidak, apabila korupsi yang ada di republik ini menjadi parah, maka akan timbul suatu reformasi jilid
A.    Teori hukum pidana
Perlu penguraian secara sistematik pengertian hukum pidana itu. Pengeritian hukum pidana sebagai objek studi, dapat dikutip pendapat Enschede – Heijder yang mengatakan bahwa menurut metodenya, hukum pidana dapat dibedakan:
I.               Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik;
a.     hukum pidana --- hukum pidana materiel
b.     hukum acara pidana --- hukum pidana formel
II.             Ilmu hukum Pidana berdasarkan Pengalaman
a.     kriminolgi --- ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan;
b.     kriminalistik --- ajaran tentang pengusutan;
c.     psikiatri forensic dan psikologi forensic;
d.     sosiologi hukum pidana --- ilmu tentang hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yang luas didalam masyarakat , jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya penaatann hukum pidana didalam masyarakat, tetapi tidak oleh tersangka atau pembuat[10].
Jadi, Enschede – hijder ini meninjau hukum pidana sebagai objek studi, menurut metodenya[11]. Biasanya, pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya yang tersebut pada I, yaitu hukum pidana Materiel dan Hukum Pidana formel atau hukum acara pidana[12]. Defenisi Hukum pidana materiel dirumuskan oleh pompe, yang mirip dengan rumusan simons namun lebih singkat, yaitu “ keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan dimana pidana itu seharusnya terdapat[13].
Diantara banyak penulis hukum acara pidana, maka perumusan Vam Bemmelen lah yang paling jitu, ia merumuskannya sebgai berikut ( terjemahan ) :
“ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang di ciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang hukum pidana:
1.     Negara melalui alatnya menyidik kebenaran;
2.     Sedapat mungkin melakukan menyidik pelaku perbuatan itu;
3.     Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelakudan kalau perlu menahannya;
4.     Menumpulkan bahan-bahan bukti ( bewijsmateriaal ) yang telah diperoleh melalui penyelidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim kemudian membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5.     Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang ditudhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6.     Upaya hukum untuk melakukan keputusan tersebut;
7.     Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib tersebut”[14].
Mengapa suatu pelanggara atau kejahtan dikenai hukum pidana, atau mengapa alat-alat Negara berhak memidana seseorang  untuk menjawab hal tersebut dikenal adanya teori-teori yaitu;
1.     teori Absolute mengatakan “setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana – tidak boleh tidak – tanpa tawar menawar ( pembalasan )
2.     Teori Relative atau Nisbi mengatakan “ suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi juga dipersoalkan tentang perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat maupun si penjahat itu sendiri.
3.     Teori penggabungan dari kedua teori diatas  mengatakan “ disatu pihak mengakui adanya pembalasan, tetapi dipihak lain mengakui pula unsure prevensi dan unsure memperbaiki sipenjahat[15].
Sumber reaksi pdana juga berdasar atas, sumber dasar pemikiran reaksi pidana berpola pada ajaran menuntut balas (revendicative ) dan ajaran hukuman ( punitive )[16]. Pola yang kedua muncul karena alasan untuk menyempurnakan kelemahan dari pola yang pertama[17]. Selanjutnya untuk memperbaiki kelemahan yang terdapat pada pola kedua, juga dikembangkan berbagai pariasi teori pidana anatara lain berupa teori prevensi umum, prevensi khusus, memperbaiki sipembuat, memperbaiki kerugian masyarakat, mengasingkan sipembuat berbahaya, dan lain-lainnya[18].
Terkait dengan penerapan pidananya, peradilan pidana sebagai salah satu sarana mencapai ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, dalam penyelenggarannya dilandasi pokok-pokok kebijaksanaan.[19]. pokok-pokok tersebut terdiri dari, pertama, memperhatiakan pola perilakuyang berbentuk kejahtan dengan usaha penanggulangannya ( political criminal ), kedua, pola kerja penerapan keputusan yang tepat dan bermanfaat( political justice ), dan yang terakhir menjalani pidana penjara yang berhasil guna, berdasarkan hukum yang ideal ( poltical prisoners )[20].
Pendekatan system yang di maksud, seperti yang diutarakan oleh Remington dan Ohlin, yaitu;
“criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan system terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu system, peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, peraktik administrasi dan sikap atau tingkah laku social. Pengertian system itu sendiri mengandung implikasi suatu prose’s interaksi yang dipersiapkan secara rasiona dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya[21].


B.    Teori Bekerjanya Hukum
Hukum menandung ide atau konsep-konsep abstrak[22]. Namun hukum berada pada posisi antara yang abstrak dengan nyata dalam arti sekalipun hukummengandung konsepsi yang abstrak tetapi ia dibuat oleh pembuat undang-undang untuk diimplementasikan dalam tatanan kehidupan sehari-hari [23].
Kelihatannya hukum memiliki fungsi utamanya ialah mengatur kehidupan sehari-hari terhadap manusia. Pada akhirnya hukum tersebut akan mampu membuat suasana menjadi tertib dan hukum selalu mewadahi segala kehidupan sehari-hari masyarakat. Hukum pada dasarnya paling tidak berlaku filosofis, yuridis, dan sosiologis. Yang kesumuanya itu mengandung nilai-nilai filosofis[24], yuridis, dan sosiologis. Pertama, Berlakunya hukum secara filosofis, dengan demikian nilai-nilai universal yang terkandung dalam hukum tersebut  benar-benar menjadi perilaku dalam tata kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.adapun nilai-nilai yang terkandung yang bersifat universal tersebut harus memuat nilai-nilai religi (agama), nilai budaya, nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kemanusian, nilai-nilai social dan masih bnanyak nilai yg lainnya lagi. Kedua, berlakunya hukum secara yuridi ialah apa yang dirumuskan dalam rangkaian pasal demi pasal dalam hukum tersebut benar-benar ditaati dan dipatuhi masyarakat.. berlakunya hukum secara yuridis dapatpula dikatakan manakala masyarakat mematuhi hukum tersebut apa adanya sesuai dengan rumusan-rumusan pasal-pasalnya.
Terakhir, berlakunya hukum secara sosiologis artinya hukum dijalankan oleh masyarakat memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu hukum itu tidak bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh masyarakatnya.hukum bukan sekedar rumusan pasal-pasal yang merupakan kehendak pembentuk undang-undang ataupun penguasa.
Hukum memang hidup dimasyarakat senyatanya hukum akan mampu menjalankan menjalankan sebagai social engineering. Untuk memahami hukum secara komperehensif maka ada baiknya kami kemukakan pendapat Hoeble sebagaimana dikutip oleh Esmi Warassih yang menyimpulkan ada empat fungsi dasar hukum yaitu:
1.     menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2.     menentukan pembagian kekuasaan dan mememrinci siapa saja yang boleh melakukan paksaanserta siapakah yang harus menaatinya dan sekaligus memilih sanksi-sanksi yan tepat dan efektif;
3.     menyelesaikan sengketa;
4.     memilihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat[25].
Empat fungsi dasar tersebut, hukum juga menghendaki masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan standar yang dikehendaki oleh masyarakat, ataua hukum sebagian berfungsi sebagian kontrol social. Selanjutnya hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk mempelancar prose’s interaksi social. Parson, sebagaimana dikutip oleh Esmi Warassih menyatakan bahwa fungsi utama suatu system hukum bersifat integrative, artinya untuk mengurangi unsure-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat, dan untuk melicinkan prose’s pergaulan social[26].
Sadjipto Rahadjo menyatkan bahwa ada dua fungsi hukum, yaitu:
1.     social control ( kontrol social )
kontrol social merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
2.      Social engineering ( Rekasa social ) penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol social, yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa social hukum leih mengarah pada pembahsan sikap dan perilaku masyarakat dimasa akan mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang. Perubahan yang dikehendakiitu pula berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola tingkah laku yang baru dimasyarakat[27];
Sedangkan Donald Black sebagaimana yang dikutip oleh Lawrence M Friedman baru-baru ini mendefenisikan hukum  sebagai “kontrol social oleh pemerintah… yang meliputisegala tindakan oleh suatu lembaga politik yang mengurusi batasan-batasan tatanan social atau pemeliharaannya[28]. Dan juga Hukum sebagai proses pembelajaran[29].
Agar hukum bersifat abstrak tersebut terjadi sebah kenyataan maka diperlukan adanya rangkain kegiatan untukmewujudkan ide-ide abstrak tersebut. Rangkaian kegiatan tersebut dinamakan prose’s penegakan hukum[30].

C.   FaKtor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Selain kendala tersebut diatas, kendala-kendala lain dalam pemberantasan korupsi adalah:
1.     tebang pilih;
2.     intervensi otoritas politik;
3.     intervensi otoritas finansial;
4.     terbatasnya asset recovery;
5.     disharmonisasi hubungan system peradilan pidana[31].
Sedangkan dilihat dari segi probelema pemberantasan korupsi, menurut Winarno Bidiadmojo ialah:
Pertama, factor budaya;budaya korupsi dimasyarakat kita sekarang ini telah melaui proses sosialisasi, internalisasi dan akhirnya masyarakat tidak sadar lagi bahwa semua telah merasuk kedalam jiwanya[32].menerima hadiah, bonus sudah biasa, padahal apa yang dikerjakan itu bagian dari tugasnya[33].
Kedua, mafia peradilan. Merebaknya mafia peradilan karena selama ini penempatan hakim kurang objektif[34]. karena, system penempatan hakim yang berlaku sekaranga yaitu system “obat nyamuk” ( hanya berputar dikota-kota besar saja, atau hanya berputar disekitar kota Jakarta dan sekitarnya saja)[35].
Sadjipto raharjo mengatakan, bahwa probelema yang dihadapi oleh bangsa diluar eropa adalah bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat[36].
 Lebih lanjut, Sadjito Raharjo Mengatakan factor-faktor sangat mempengaruhi,”…pembentukan hukum modern memasukkan kepentingan dan idenya-idenya ke dalam hukum[37]
Pemberantasan tindak pidana korupsi belum berhasil di karenakan juga ada beberpa factor-faktor pendukung selain yang di sebutkan oleh ilmjan hukum diatas, factor pendukung merajalelanya tindak pidana korupsi menurut Winarno Budiadmojo, yaitu,
1.          dominasinya kekuasaan hukum;
yang pertama kekuasaan oleh hukum dan yang kedua kekuasaan berdarkan atas hukum. Dan ternyata yang berlaku di  Indonesia selama ini adalah kekuasaan oleh hukum yaitu dimana hukum digunakan sebagai sarana oleh penguasa untuk mengatur segala aspek kehidupan sesuai dengan kehendaknya, yang menimbulkan kesewenangan, kesombongan dan ketidak adilan.
2.          intervensi kekuasaan terhadap proses penegakan tindak pidana korupsi
salah satu contohnya ialah, penempatan kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang hanya menjadi salah satu komponen kekuasaan eksekutif.
3.          merosotnya kinerja Peradilan
merostnya kinerja peradilan tampak dengan adanya pemalsuan vonis menunjukkan adanya kelemahan didalam tubuh MA, kedua,Bertambah menumpuknya perkara yang masuk didalam MA[38], Yang lain adalah banyaknya perkara korupsi yang dibebaskan oleh MA dengan alasan bukti-bukti tidak cukup atau yang lain MA dan peradilan dibawahnya sering membuat hukuman kepada koruptor hanya pidana penjara saja sedang asset yg telah dikorupsi sangat jauh dari yang diharapkan akan dimasukkan dalam putusan tersebut.
Lebih lanjut, yang menjadi faktor pemhambat dalam memberantas korupsi yang menurut penulis sesuai mengambil pendapat Sadjito Rahardjo yaitu para ahli hukumtidak melihat dalam realitas dalam masyarakat, melainkan selalu dilihat dari optik hukum, peraturan, skema-skema final, konsep, dan defenisinya yang dibuat sebelumnya[39]
Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi sulit untuk ditegakkan juga dikarenakan, Bahwa empat komponen system peradilan pidana ( kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system[40]. Adanya ptusan yang tidak memenuhi rasa keadilan juga membuat pemberantasan korupsi menjadi tidak efektik. Mengapa? Karena didapati berbagai putusan penegakan hukum yang tidak ternyata mampu memberi kepuasaan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan atau masyyarakat pada umumya[41].


[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
[2] Arya maheka, KPK Mengenali dan memberantas Korupsi, Jakarta
[3] Surachmin, Solusi Pemberantasan Korupsi, Inn-Red, Jakarta, 2007
[4] UU No 28 Tahun 1999 penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, klusi dan Nepotisme dan UU No 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[5] korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, tidak displin dan tidak mengingat balasan dari apa yg diperbuat. Sedangkan Muhammad Zein mengemukakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime ).
[6] http://www.detiknews.com, diakses tanggal 23/11/2010 jam 09.43 Wib
[7] http://www.tribun-timur.com, diakses tanggal 23/11/2010 jam 09.44 wib
[8] http://www.pengacaraonline.com, diakses tanggal 31/11/2010 jam 09.54 wib
[9] penegakan hukum adalah suatu skema yang menyeluru segala bidang bukan dari penal tapi juga dari non penal
[10] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta Edisi Revisi, Jakarta, 1994
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] A. Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, 1987
[15] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas HukumPidana Di Indoesia, Refika Aditama Edisi Ketiga, cetakan Pertama, Bandung, 2003
[16]Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty Edisi Kedua, Yogyakarta
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] S. Tanusubroto, Peranan Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 6
[20] Op.Cit
[21] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana:Perspektif Eksistensialisme dan Abolisioanalisme, Bina Cipta, Bandung, 1996
[22] Hukum berada pada konsep yang abstrak menurut penulis yaitu hukum masih ditataran norma yang masih berbentuk tulisan didalam suatu kertas putih yang kemudian diisi oleh suatu huruf, angka-angka dan sanksi-sanksi yang berupa pencabutan hak-hak tertentu dan pemidaan.
[23] Esmi Warassih, Pranata Hukum:Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 81
[24] Hukum mengandung nilai filosofis yaitu bahwa hukum harus berlaku dan berfungsi sebagaimana yang dicita-citakan oleh adanya hukum itu sendiri.
[25] Op.cit
[26] Ibid
[27] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, 1986
[28] Lawrence M Friedman, Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial Penerjemah M. Khozim, Nusa Media Cetakan Kedua, Bandung, 2009
[29] Ibid
[30] Loc.Cit
[31] Yudi Kristiana, bahan kuliah Tindak pidana Korupsi pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Tidak di Publikasikan
[32] Winarno Budiadmojo, Makalah Untuk perkuliahan Tindak Pidana Korupsi dengan Judul Prolematika Pemberanasan Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Serta Penanggulangannya Di Indonesia, Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Sadjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif  Editor Alosius Soni BL Rosari, Kompas, Jakarta, hlm 212
[37] Sadjipto Rahardjo, Sosiolgi Hukum Perkembangan dan Pilihan Masalah, Editor  Khudzaifah Dimyati, Genta Publishing Cetakan Ketiga, Yogyakarta, 2010
[38] Loc.Cit
[39] Sadjipto Raharjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Editor Setiyono Wahyudi D.Ng, Bayu Media Publishing Cetakan pertama, Malang, 2009.
[40] Anton F Susanto, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama, 2004
[41] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa; suatu pencarian, MARI, Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar