Kamis, 22 Desember 2011

Benarkah Jujur Itu dilarang !!



Benarkah Jujur Itu Dilarang !!
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Kedaulatan ditangan rakyat, dan rakyatlah menentukan segala-segalanya. Jika rayat tidak diberikan lagi menentukan arah dan kebijakan negara kedepannya, yang terjadi ialah rakyat akan menyusun strategi untuk dirinya sendiri, maka demikian tidak harus ada yang dipersalahkan jika rakyat membuat agenda-agenda sendiri yang menyimpang dari kekuasaan yang sah.
Sebenarnya kekuasaan yang sah itu memang demikian dimonopoli oleh negara. tidaklah mengherankan jika negara mengeluarkan aturan-aturan yang cendrung melindungi dirinya sendiri. Tidaklah dapat dikatakan salah jika negara melindungi dirinya dengan berbagai aturan yang sifatnya memaksa. Yang sering dipermasalahkan ialah apakah aturan untuk melindungi rakyat itu tidak di monopoli oleh oknum-oknum tertentu atas pesanan orang-orang tertentu pula.
Tidaklah salah jika rakyat menggugat aturan yang tidak mencerminkan kejujuran. Memang demikian, kejujuran di manapun sangat sulit ditemukan, akan tetapi, di Negara Indonesia kejujuran lebih sulit lagi ditemukan. Sebagai contoh, didalam sidang pengadilan banyak sekali sumpah ecek-ecek. Sumpah ecek-ecek ini rela di utarakan oleh para terdakwa korupsi (mungkin juga dalam perkara lain) untuk melepaskan dirinya dari perkara hukum yang sedang menggigitnya.
Belum lagi, ‘pendekar-pendekar hukum’ sering ‘cakar-cakaran’ dalam sidang pengadilan. Tidak jarang ‘cakar-cakaran’ didalam sidang pengadilan tersebut menghilangkan subsantasi dari permasalan hukum tersebut. Hal ini juga diperparah dengan semangat tidak adanya sifat kejujuran dalam hati manusia itu sendiri. sederet peristiwa penting dalam ketidakjujuran memang perlu diperhatikan oleh setiap mahluk yang hidup di alam dunia manapun.
Contoh lain yang sulit didapatkan dari kejujuran tersebut ialah, banyaknya rakyat yang mempertanyakan kebijakan yang negara terkesan tidak jujur dalam mengatasi berbagai persoalan rakyat, kasus Mesuji, kasus papua, pelanggaran HAM (dan masih banyak contoh yang lainnya). Jika pemerintah jujur membuka sebenarnya yang terjadi, rakyat akan selalu membantu mencarikan solusi yang terbaik untuk negara tercinta yaitu Negara Indonesia. Namun apa boleh dikata, rakyat di suruh untuk jujur sedangkan pemerintah tidak. Sungguh suatu yang tidak diperlukan dalam kesepakatan membangun negara ini.
Belum lagi, kejujuran yang paling sulit untuk dijumpai ialah di Legislatif, bagaimana tidak politikus-politikus yang ada disenayan (tidak hanya disenayan) tidak jarang saling tuduh-menuduh dalam menyelesaikan suatu masalah. Tidak jarang saling tuduh menuduh tersebut tidak diselesaikan dengan kejujuran, akan tetapi lebih diselesaikan dengan cara ‘berbisik-bisik’. Effendi Gazali mengatakan bahwa rakyat jangan mengaharapakan kejujuran dari politikus, apabila rakyat mengharapkan kejujuran dari politikus maka yang didapatkan hanyalah kekesalan. Namun demikian, saya masih berkeyakinan ada politikus yang jujur, tapi mereka-mereka ini tidak diberikan kesempatan untuk menjadi orang nomor satu ditempatnya.
Jika demikian, Tidaklah mengherankan jika rakyat bertanya, Bila demikian, apakah mungkin kejujuran itu tiba-tiba datang dari langit!! atau kejujuran enak didengar sambil minum kopi!!, atau apakah kejujuran berapakah harga yang pantas untuk setiap kejujuran tersebut!! Atau pertanyaan, apakah memang didunia ini kita tidak perlu lagi memikirkan kejujuran!! Atau Benarkah Jujur Itu Dilarang !!. semua pertanyaan patut menjadi tempat yang utama yang sistem kehidupan yang ada saat ini.
Akan tetapi, Yang terbaik untuk saat ini ialah, kejujuran itu harus dimulai dari setiap orang, akan tetapi, akan lebih baik kejujuran tersebut dimulai dari mereka-mereka yang menjadi pemimpin saat ini, akan datang dan seterusnya.
Akhirnya tulisan ini ditutup dengan perkataan, Prof. Broom, yaitu ‘bila cahaya tidak ada lagi, maka kegelapanlah yang menang’.

Mungkin saya keliru, makanya saya menulis.




[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Senin, 19 Desember 2011

Pemerintah Yang Bersandiwara


Pemerintah Yang Bersandiwara.
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
“Saya tidak bermaksud menyembunyikan fakta yang tidak saya sukai …tentang kemegahan semua hal yang dipenuhi kebijaksanaan, seperti yang menjadi kecendrungan masa kini”[2]. Disaat masyarakat sedang taat kepada pemerintah dan tunduk kepada hukum ternayata pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan yang bisa disebut tidak bisa diakui dalam dunia beradab.
Pemerintah yang dimaksud di sini ialah eksekutif, tentu saja, karena pemerintah dibidang ini-lah yang sering membuat keputusan-keputusan yang tidak jarang keputusan tersebut banyak yang merugikan masyarakat. Keputusan yang merugikan terhadap masyarakat tersebut terkadang bersifat massif dan sistematis dan ini terus dibiarkan menjadi lalat yang busuk. Apakah ini patut dipertanyakan, ya!! Tentu harus dipertanyakan karena mereka-mereka tersebut di gaji dengan pajak yang dibayar oleh rakyat. Jelas ketika telah mendapatkan gaji dari rakyat mengapa mereka tidak ‘tunduk’ kepada kepentingan rakyat.
Seringkali kepentingan-kepentingan rakyat tidak dibuat ‘manusiawi’ oleh mereka (Pemerintah) yang bekerja di instansi/lembaga-lembaga yang katanya berpendidikan, punya pengalaman dan sebagainya. Pemerintah dalam tataran ideal sudah sangat dijelaskan dalam pelajaran-pelajaran akan tetapi tataran ideal tersebut hanya dikonsumsi untuk saat studi saja, layakkah apa yang telah di didapat tidak diterapkan di dalam masyarakat atau di tempat kerja (jika anda masih berpikir tentu saja pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab oleh orang yang waras).
Contoh ketidakmampuan pemerintah yang terbaru ialah antara masyarakat dan korporasi dalam kasus Mesuji[3]. Bagaimana tidak, masyarakat di Mesuji[4] dianggap oleh pemerintah tidak mempunyai hak atas tanah apapun di tempat nenek moyang mereka. Pengeyampingan atas hak tanah masyarakat Mesuji[5] jelas-jelas menodai negara hukum yang berjiwa pancasila.
Belum lagi, terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pemerintah, adanya ‘aksi koboi’[6] terhadap rakyat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ialah sudah tidak bisa dibantah lagi oleh manusia yang mempunyai akal sehat. Bahwa yang mati di dalam kasus Mesuji[7] itu bukanlah nyamuk tapi manusia yang masih mempunyai harkat dan martabat. Tindak pidana yang dilakukan oleh oknum pihak kepolisian tersebut seharusnya tidak hanya sidang disiplin, tetapi juga harus dibawa ke peradilan umum.
Apapun itu, kasus Mesuji[8] telah terjadi. Penyelasian kasus Mesuji harus melalui jalan hukum, walaupun ada TPGF[9] Mesuji yang kurang begitu yakin ini akan diselaikan secara hukum, akan tetapi TPGF di bentuk karena menyenangkan hati rakyat saja. Seharusnya kejadian di Mesuji[10] itu tidak harus terjadi bila, Dep. Kehutanan memberikan rekomendasi kepada pemda untuk mencabut izin perusahaan yang sedang bersengketa, kedua, Pemda Sumsel dan Lampung segera mngkin mencabut izin perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat. Pihak Kepolisian seharusnya menjadi bagian terdepan dalam membela masyarakat dengan perusahaan.
Terakhir penutup dari tulisan ini, pemerintah yang bersandiwara selama ini sudah-lah, saatnya pemerintah harus bersikap tegas kepada siapapun yang bersalah. Rakyat tidak ingin penyelesaian kasus Mesuji dengan acara ‘Mencla-Mencle’.


[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
[2] Karl R. Popper, Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya. 1950

Sabtu, 03 Desember 2011

Menimang Janji Abraham Samad


Menimang Janji Abraham Samad
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Hiruk-pikuk pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberansan Korupsi (KPK) sudah usai, yaitu dengan terpilihnya Abraham Samad mendapat 55 suara, Adnan Pandu Praja 51 suara, Zulkarnain 37 suara , dan Bambang Widjojanto 55 suara[2]. Selang beberapa saat setelah itu diadakankan pemilihan ketua KPK tidak disangka-sangka akhirnya terpilihlah Abraham Samad. Ucapan selamat untuk ketua KPK baru pun berdatangan, dari ICW[3], bahkan Presiden SBY sampaikan selamat untuk ketua KPK terpilih[4].
Yang mengejutkan ialah adanya kekecewaan yang sangat tidak sepantasnya dilontarkan oleh pansel capim KPK, sikap in dapat dilihat yaitu dengan mengatakan "Kita sudah mempertimbangkan, KPK perlu orang perbankan dan keuangan, makanya ada Handoyo Sudrajat dan Yunus Husein,"[5]. Apapun itu, kekesalan tersebut adalah merupakan hak berbicara tersendiri dan itu sah-sah saja.
Janji sudah terucap, Ketika janji tersebut sudah terucap saat itu pula menjadi harga yang harus diperhitungkan. Menurut saya, janji tersebut sangatlah tidak perlu, akan tetapi karena masyarakat sudah terbiasa dengan janji-janji palsu dan menyakini janji seketika itu pula rakyat melalui DPR melihat janji tersebut menjadi pemicu terpilihnya Abraham Samad sebagai pimpinan KPK dan sekaligus menjadi Ketua KPK.
Sebenarnya, untuk jabatan publik, janji-janji untuk bekerja maksimal untuk rakyat tidaklah perlu. Ketika anda tidak berhasil secara moral (bukan ukuran statistik seperti tentang turunya angka kemiskinan dan pengangguran untuk Indonesia semasa Pemerintahan SBY) sektika itu pula anda harus turun dengan, mengingat ketika tetap duduk dibangku kekuasaan, sektika itu pula masyarakat melihat orang tersebut ttidak ubahnya sebagai kotoran yang duduk di singgasana (Nietzsche). Sebut saja misalnya, di Korea Selatan, salah satu menteri mengundurkan diri ketika terjadinya mati lampu dalam beberapa jam saja, karena kesalahan anak buahnya.
Kembali kepada janji Ketua KPK saat fit&profer Test di DPR, ‘jika tidak berhasil menuntaskan kasus century dalam satu tahun akan turun dari pimpinan KPK’. Tentu saja banyak pihak yang terkejut, karena kasus century menurut laporan DPR dari opsi C melibatkan Budiono (wapres) dan Sri Mulyani (saat ini bekerja Word Bank). Yang lebih penting dari itu ialah, sekiranya janji itu tidak terbukti (tentunya tidak diharapkan) dalam jangka waktu satu tahun untuk menuntaskan kasus century terhitung saat janji diucapkan, tidak usah diingatkan untuk turun sebagai pimpinan KPK, secara moral anda (Abraham Samad) harus turun dengan hormat.

Perlukah Akal Sehat Dalam Suksesi

Perlukah Akal Sehat Dalam Suksesi
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Martin Jay, mengatakan ‘tidak semua diatur oleh langit’. Dengan ungkapan itu, maka akan dicoba untuk mengoreksi terhadap beberapa sikap yang kurang sempurna dilakukan oleh beberapa pengkritisi terhadap wacana yang ingin ‘membuang’ salah satu calon peserta pemilukada Kota Pekanbaru. Tentu saja, wacana ini sangatlah baik. mengapa sangat baik, karena dengan wacana ini berkembang pula pola-pola pengkritisi arah dan tujuan kemana wacana tersebut dilemparkan. Lagipula, sejauh ini, yang saya lihat adalah berkembangnya wacana tersebut tidak toleran, akan tetapi lebih banyak yang ‘menyerang’ sesuatu yang diluar akal sehat manusia. Tentu saja, hal tersebut semestinya dihindari agar kesesatan berpikir lebih lanjut tidak menghinggapi dalam cara berpikir selanjutnya.
Cara berpikir selanjutnya, apakah wacana untuk ‘membuang’ salah satu calon itu sah dalam politik!! Tentu saja, ini sangat mungkin, karena, dalam politik semuanya tidak dapat diukur dengan rasional, akan tetapi yang irasional (Karl R. Popper) itu harus mendapatkan perhitungan yang lebih banyak dari yang rasional.
Tentu saja, yang irasional ini juga harus diukur dengan irasional, bagaimana cara mengukurnya!! Cara mengukurnya tentu saja tidak mudah, akan tetapi keptusan irasional ini baru bisa diketahui setelah semuanya terjadi dan menjadi fakta yang tidak terbantahkan, yaitu dengan tidak adanya lagi saingan yang utuh dalam perebutan kekuasaan tersebut.
Namun demikian, seringkali keputusan-keputusan yang irasional sering menyalahi sistem pemikiran yang dangkal. Sistem pemikiran yang dangkal inilah nantinya tidak menerima keputusan politik yang diambil, hal ini diakibatkan oleh rasa kebencian ‘yang hitam’, rasa ‘permusuhan’ dan ‘ketidaksukaan’, dan keberpihakan untuk memenangkan salah satu calon (walaupun mereka tidak sebagai tim dalam salah satu calon).
Banyaknya kesalahan berpikir dan keberpihakan sejak awal, tentu saja tidak salah, akan tetapi seketika keberpihakan anda sudah gagal, maka tentu saja anda harus mengatakan bahwa cara berpikir yang selama ini ada adalah salah. Pengakuan bersyarat ini tentu saja harus diakui secara diam-diam, ketika pengakuan tersebut anda buka ke umum yang terjadi pada saat tersebut ialah bahwa memang anda perlu membuka kembali lembaran-lembaran catatan sejarah penting dalam perebutan kekuasaan yang terjadi dibelahan dunia lain. Membuka lembaran-lembaran yang ada di dunia lain ini adalah penting. Seketika anda sudah cukup membuka lembaran-lembaran sejarah yang ada di dunia lain, dan menemukan sesuatu yang yang tidak jauh beda, dengan demikian anda sudah mulai mengatakan bahwa yang terjadi seperti itu sangat mungkin dan mungkin sekali.
Apapun itu, yang selalu membuat negara jadi neraka di bumi ini adalah manusia yang justru ingin mengubahnya jadi surga baginya (F. Hoelderlin). Terakhir, penutup dalam tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa, sesungguhnya apa yang terjadi di dalam Pemilukada Kota Pekanbaru (dan mungkin saja di Pemilu/kada yang lain) adalah sesuatu yang irasional. Tentunya ‘permainan’ (politik) irasional dimana pun ada, akan tetapi cara-nya saja yang mungkin berbeda.


[1] Managing Director Research Institute and Study of Riau Society

Kamis, 01 Desember 2011

Setgab Yang Bersandiwara

Setgab Yang Bersandiwara
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]

Rakyat Indonesia pada hari ini akan menaruh harapan kepada anggota parlemen. harapan tersebut tentunya harus disikapi dengan bijaksana oleh para wakil rakyat di Senayan. Akan tetapi menurut informasi sementara ternyata setgab ternyata telah memilih 3 (tiga) nama yang tentunya sudah ‘tidak disenangi’ oleh sejumlah LSM dan masyarakat.
Informasi yang penulis dapat, di internal Setgab koalisi menyebutkan sejumlah anggota Setgab koalisi menghendaki Yunus Husein, Aryanto Sutadi, dan Jaksa Zulkarnain, menjadi pimpinan KPK. "Sementara Bambang itu hanya bonus, supaya dikatakan mendengarkan masukan publik"[2]. Bila melihat Profil capim KPK yang di ‘jagokan’ setgab tersebut sangat controversial. Hal ini dapat dilihat dari Puluhan aktivis antikorupsi dari ICW, MTI, PSHK, TII yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan melakukan aksi treatrikal di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai cermin penolakan mereka terhadap salah seorang calon pimpinan yakni Aryanto Sutadi[3]. Penolakan terhadap Sutedi tersebut bukan tidak beralasan, Sutedi menyebutkan bahwa Gratifikasi itu sah dan tidak melanggar hukum, dan juga Sutedi tidak secara jujur melaporkan harta kekayaannya, dan terakhir sewaktu menjabat Sutedi juga menjadi cosultan hukum.
Tidak kalah controversialnya dengan Sutedi, Zulkarnain yang dianggap cukup mumpuni oleh anggota Setgab juga melalui keputusannya telah men-SP3 kan kasus lumpur Lapindo. Demikian juga dengan Yunus Husein sebagai anggota PHM (Pemberantasan Anti Mafia Hukum) yang dibuat oleh Presiden tidak mempunyai prestasi apa-apa oleh masyarakat Indonesia kecuali hanya pencitraan, dan juga Abdullah Hehamahua yang membuat sesuatu keputusan keliru terkait masalah keptusan kode etiknya yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Keputusan ini kode etik tersebut seharusnya menyebutkan bahwa Pimpinan KPK tidak pantas menjumpai seseorang yang sedang/akan berpekara terhadap KPK.
Tentunya, melihat beberapa Profil yang di ‘agung-agungkan’ oleh Setgab sangat tidak beralasan dan tidak diterima oleh akal sehat manusia yang beradab. Dengan kata lain, sebaiknya Setgab mengurungkan niatnya untuk memilih capim KPK terhadap Sutedi, Zulkarnain, Yunus Husein dan Abdullah Hehamahua. Penutup terhadap tulisan ini ialah bahwa, apabila ternyata Setgab/DPR tetap mempertahankan dan memilih nama-nama tersebut masyarakat sesungguhnya telah melihat sandiwara yang usang.

[1] Managing Director Research Institute and Study of Riau Society dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kamis, 24 November 2011

Meneropong Calon Pimpinan KPK 2011-2015


Muhammad Nurul Huda
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Menengok kembali calon pimpinan KPK dimasa mendatang sangatlah perlu, mengingat harapan masyarakat sangat terlalu tinggi kepada pimpinan KPK yang akan segera dipilih oleh DPR. Harapan tersebut tidaklah terlalu salah, mengingat gebrakan KPK dalam melakukan penangkapan koruptor-koruptor yang mengambil uang negara secara tidak sah. masih ingat dibenak rakyat, bagaiamana anggota Polisi, Jaksa, Hakim dan mantan menteri yang dilumpuhkan KPK karena telah melakukan pencurian uang negara.
Kembali kepada harapan masyarakat sejatinya menjadi toluk ukur DPR dalam memilih pimpinan KPK untuk 2011-2015. Saya tidak mengatakan benar bahwa calon pimpinan KPK yang berasal dari mantan jaksa dan polri itu buruk, akan tetapi disinyalir nantinya mereka setelah menjadi pimpinan KPK akan terganggu kerjanya mengingat keburukannya selama semasa bertugas dilembaga yang membesarkannya.
Tidak bisa ada yang menyangkal jeruk akan membela jeruk, setidaknya itulah ungkapan yang sering kita jumpai dalam setiap pemikiran ketika berbicara mengenai egoisitas kelembagaan walaupun mereka tersebut telah pensiun. Komitmen yang dilontarkan mereka sebelum menjadi pimpinan KPK lebih manis daripada madu yang datang dari surga, akan tetapi setelah terpilih menjadi pimpinan KPK segera setelah itu madu yang datang dari surga tersebut menjadi gula yang dipenuhi semut-semut yang ingin mencicipi bagaiamana rasanya gula itu. Dengan perkataan lain, madu tetaplah madu dan gula tetaplah gula, sehingga apabila hal ini tidak bisa dipisahkan maka yang terjadi adalah pemberantasan korupsi dengan banyak berbicara tetapi tidak ada hasil dan ini sama saja artinya orang tersebut hanya mencari jabatan dan bukan pengabdian kepada negara.
Penegak hukum sebaiknya tidak usah banyak bicara, cukup saja bekerja dan biarlah humas yang menyampaikan pesan-pesan atau informasi-informasi yang berkaitan dengan penegakan hukum. disini saya melihat seakan-akan pimpinan penegak hukum hanya disibukkan mencari popularitas tetapi hasilnya nol besar. Kenapa saya mengatakan begitu, karena yang ditangkap hanya kasus ecek-ecek, sedangkan kasus yang serius dan merugikan keuangan negara yang sangat besar tidak ditanggapi. Wajar saja kalau ada sebagian masyarakat menyatakan bahwa pimpinan Jaksa dan Kapolri hanya kumis saja yang dapat dibanggakan, sedangkan untuk pimpinan KPK sekarang hanya disibukkan mengeluarkan opini yang tidak jelas dan tidak ubahnya dengan DPR. Lain lagi dengan lembaga yudikatif, antara komisi yudisial dan MA sama-sama disibukkan masalah kewenangan, hal ini tidak ubahnya seperti ‘anak TK’ yang tidak tahu sudah kelas berapa dia belajar di TK.
Terakhir, mengingat ada delapan nama yang telah diluluskan pansel KPK, saya dan masyarakat Indonesia berpesan kepada DPR pilihlah pimpinan KPK yang mempunyai komitmen kuat dalam memberantas korupsi (Bank Centuri, BLBI, dan lain-lain) dan juga jangan terpengaruh oleh peringkat-peringkat (seperti sekolah saja!) yang telah ditetapkan oleh Pansel KPK.

Rabu, 23 November 2011

Tanggapan Atas Pengkritik Positivisme


Muhammad Nurul Huda
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebebasan berpikir terus mengalami perubahan. Perubahan itu tentunya harus disikapi dengan baik dan bijaksana. Begitu juga dengan pandangan terhadap hukum. begitu banyaknya aliran hukum tentunya sangat dipengaruhi ide yang diterima sejak awalnya. Akan tetapi, ide tersebut juga bisa berubah ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu, sebut saja misalnya, pengaruh literatur-literatur yang dibaca.
Tentunya, adanya perbedaan terhadap pemakaian aliran hukum ini harus disikapi secara objektif dan tidak boleh ada mengatakan bahwa aliran tersebut sudah menjawab semuanya. Kesalahan berpikir seperti ini seharusnya tidak pernah ada di dalam negara yang beradab. Setiap waktu tentu saja berputar sehingga ada siang dan malam. Perkembangan aliran hukum juga sangat dipengaruhi oleh postur-postur politik, ekonomi dan budaya  yang ada didalam negara yang beradab.
Postur-postur diatas tentunya akan menjadi bagaimana hukum tersebut ‘berjalan’. Saya akan membahas postur hukum bila ditopang oleh kemauan politik yang baik. politik diatas kertas sangat indah dan juga dapat saya katakana lebih indah dari ‘surga’ yang dijanjikan oleh tuhan. Akan tetapi keindahan tersebut sirna setelah politik tidak lagi dimainkan oleh orang-orang yang secara serampangan memahami politik. Bisa dilihat, politisi yang ada banyak tidak mendapatkan bekal yang memadai, dan juga tidak berasal dari ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah. Keadaan ini tentunya membuat postur politik menjadi semakin tidak mempunyai arah, dan dengan demikian terjadilah ‘penyimpangan politik’. Mengapa saya mengatakan apabila politik baik, maka hukum akan baik, karena hukum adalah merupakan produk politik. Apabila politik hukum yang dilakukan oleh pembuat hukum tidak baik tentunya terjadilah ‘kebingungan hukum’ didalam dunia realitas, sehingga yang terjadilah adalah adanya aliran-aliran hukum yang mengatakan demi kehidupan sosial, membela rasa keadilan peraturan perundangan-undangan tersebut tidak baik dan dianggap gagal dan juga lebih sporadis mengatakan hukum posivistik tidak bisa menjawab rasa keadilan masyarakat. Sebenarnya ini merupakan kegagalan berpikir sepanjang sejarah yang pernah saya jumpai.
Kedua, hukum juga berjalan baik apabila di topang oleh postur ekonomi yang baik dalam suatu negara. Saya menyadari bahwa, globalisasi yang terjadi saat ini tidak mempunyai ketentuan-ketentuan yang baik (dan juga sudah kehilangan arah). oleh karenanya globalisasi harus lebih disikapi dengan baik dan terukur. Kembali kenapa hukum berjalan dengan baik apabila ekonomi dalam suatu negara membaik. Pertumbuhan ekonomi sering dikatakan penyebab terjadinya kejahatan dan yang sering disalahkan adalah adanya perbedaan yang jauh antara dan yang miskin. Saya begitu tidak setuju adanya persamaan ekonomi yang sama diantara ‘mahluk hidup di bumi’. Karena apabila adanya persamaan yang tidak jauh merupakan salah satu masalah besar kemudian hari (masalah besar ini akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan berikutnya). Postur ekonomi tersebut sedemikian rupa harus dapat menyamakan dengan kemajuan ‘perjalanan hukum’ kalau tidak yang terjadi adalah permasalahan baru kembali. Sebut saja misalnya, apabila pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan akan tetapi peraturan ekonomi nya belum baik, maka banyaknya korporasi yang merasa menjadi raja atas diatas negara. Sebagai contoh dapat dilihat ada 150 perusahaan yang diungkapan oleh Gayus H Tambunan. Apa yang terjadi dengan 150 perusahaan tersebut ialah menjadi raja diatas negara. tentunya contoh lain masih banyak, dan cukup untuk dijadikan perbaikan. Selagi saya menyebutkan kesalahan tersebut bukan terletak kepada aliran hukum, tetapi lebih kepada tidak seimbangnya kemajuan antara postur ekonomi dan hukum.
Terakhir, terkait dengan budaya memang memiliki pengaruh, akan tetapi pengaruh dari budaya ini tidak terlalu signifikan, karena pengaruh dari budaya ini merupakan perilaku-perilaku yang tampak langsung. Tentu saja penulis tidak mengesampingkan pengaruh budaya dalam postur hukum. saya tidak bersepakat bahwa budaya tersebut tidak bisa berubah. Budaya tersebut bisa berubah karena dipengaruhi oleh politik dan ekonomi. Tetapi saya lebih cenderung mengatakan budaya lebih cenderung terkikis oleh ekonomi. Aliran hukum juga disini tidak boleh mengatakan bahwa dengan alasan masyarakat dan rasa keadilan masyarakat membenarkan alirannya, akan tetapi lebih baik meninjau kembali alasan untuk membenarkan alirannya dengan membawa alasan masyarakat (yang mana!) dan rasa keadilan (siapa!).
Sehingga, diakhir catatan ini saya dapat mengatakan bahwa, tentu saja kritikan terhadap aliran hukum yang dikatakan tidak baik lagi untuk zaman sekarang sebaiknya ditinjau ulang kembali. 

Jumat, 14 Oktober 2011

Teori Hukum Murni


Bagi kalangan sarjana hukum sudah barang tentu mengenal Hans Kelsen, dengan teori hukum murninya. Dengan teori hukumnya murninya sampai sekarang masih menjadi perdebatan di masing-masing kalangan sarjana hukum, apalagi bagi yang mempunyai aliran sosiologi hukum. karena menurut kaum sosiologi hukum ajaran Hans Kelsen sama saja membunuh keadilan yang ada tertanam dalam nilai-nilai budaya.
Perdebatan tersebut diatas, nanti akan dibahas dalam tulisan selanjutnya. Pada dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep, yaitu:[1]
1.     Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya.
2.     Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm  yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm  memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3.     Ajaran tentang Stufenbautheorie
Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.


[1] Sadjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Kompas Media Nusantara, hlm. 163

Kamis, 13 Oktober 2011

Teori Hukum Statis & Teori Hukum Dinamis

Perilaku manusia yang diatur oleh norma ataukah norma-norma yang mengatur perilaku manusia (yakni apakah pengetahuan itu ditujukan kepada norma hukum yang diciptakan, diterapkan atau dipatuhi oleh tindak perbuatan manusia atau kepada tindak penciptaan, penerapan, atau kepatuhan yang diharuskan oleh norma hukum).[1] Begitu pentingnya hukum karena perilaku manusia sangat berbeda. keberdaan perilaku tersebut sangatlah mungkin menimbulkan berbagai macam tindakan.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam menciptakan suasana yang memungkinkan manusia mersa terlindungi, hidup berdampingan secara damai. Menurut sebagian orang, hukum merupakan sesuatu yang kompleks dan teknis sehingga sering dijumpai orang dalam menghadapi hukum dengan sikap yang tidak sabar dan sinis. Akan tetapi hukum merupakan salah satu perhatian manusia berdab yang paling utama dimuka bumi, karena hukum dapat menawarkan perlindungan terhadap tirani di satu pihak dan terhadap anarki di lain pihak. Hukum merupakan salah satu instrumen utama masyarakat untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan gangguan yang arbiter, baik oleh perorangan, golongan masyarakat atau pemerintah.[2] Karena itu, unsur utama dari hukum adalah ketertiban. Untuk mewujudkan ketertiban itu manusia diharuskan membentuk kaidah.
Ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia yang secara otentik menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti apa yang secara bebas dikehendakinya (vrije wil).[3]
Tentunya, untuk membentuk suatu ketertiban itu dibutuhkan suatu jawaban yang memadai yaitu bagaimana ketertiban itu dapat dijawab dengan baik dan terukur menggunakan suatu teori. Teori tersebut Penulis tawarkan cukup untuk menjawabnya yaitu dengan menggunakan Teori Hukum Statis dan Teori Hukum Dinamis..
Teori Hukum Statis adalah hukum sebagai sistem norma yang berlaku---hukum dalam kondisi istirahatnya. Sedangkan Teori Hukum Dinamis Adalah proses ketika hukum diciptakan dan diterapkan---hukum yang berjalan.[4] Yang perlu diperhatikan ialah bahwa proses itu sendiri diatur oleh hukum.
Dengan demikian Teori Hukum tersebut diatas dapat dijadikan suatu referensi untuk menjawab beberapa pertannyaan hukum ketika ada sesuatu persoalan yang sampai ketangan anda yang terkait dengan persoalan hukum.
Selamat Membaca !!...




[1] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusamedia Cetakan II Penerjemah Raisul Muttaqien, 2007, hlm.80-81
[2] Harold J. Berman, Latar Belakang Sejarah Hukum Amerika Serikat, dalam talks on American Law, Random House, Inc., Edisi Indonesia, Ceramah-ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, Diterjemahkan oleh Gregory Churchill, Penerbit Tata Nusa, Jakarta, 1996, hlm. 3.
[3] B. Arief Sidharta, Aliran Filsafat Hukum, Makalah dalam Seminar Nasional : Menata Sistem Hukum Nasional Menuju Indonesia Baru, Sema FH Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 4 Desember 1999, hlm. 2
[4] Op.Cit, hlm. 81

Rabu, 12 Oktober 2011

Tanggapan Atas Ptsn PN Tipikor Bandung, An: Mochtar.

masyarakat Indonesia saat sekarang ini di "hantui" oleh keinginan menghukum seluruh para "pengambil" uang rakyat secara tidak sah. keinginan tersebut sebearnya tidak salah, karena pelaku tersebut memang harus tetap mendapatkan ganjarannya sesuai dengan perbuatan. apapun itu jika perbuatan tersebut ketika sudah masuk dalam tataran hukum, maka sebaiknya penilaian tersebut juga dilakukan dengan hukum. yang terjadi saat ini ialah banyaknya penilaian terhadap putusan tersebut menyimpang dari sebenarnya. sebut saja, penilaian itu terkadang bercambur baur dengan kesakithatian, moralitas, dan lebih bahaya lagi jika penilaian tersebut ada unsur-unsur yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
apapun itu, keputusan terhadap lepasnya "mochtar" di Pengadilan Tipikor Bandung, adalah keputusan hukum, dan keputusan tersebut adalah keputusan tuhan yang diwakili oleh hakim. keputusan tersebut sebaiknya dihormati oleh piha-pihak yang berpekara. yang terjadi sekarang ialah putusan hakim PN Tipikor tersebut tidak dihormati oleh masyarakat, terlebih lagi masyarakat yang cukup untuk menilai itu. lihat-lah putusan itu dengan bijaksana dan baik, dan jangan melihat putusan tersebut sebagai sesuatu yang "haram" karena telah membebaskan terdakwa dari tuntutan korupsi.
penulis mencoba melihat, apakah dakwaan yang dilakukan oleh jaksa KPK sudah cukup baik dan mempunyai bukti yang kuat untuk itu. dan juga jangan sekali-kali masyarakat mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh Jaksa KPK sudah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. masyarakat seharusnya lebih mengkritisi tentang apakah dakwaan yang dilakukan oleh jaksa sudah cermat dan sesuai dengan hukum acara dan mempunyai bukti-bukti. nah, dari situlah nanti baru bisa kita melihat semunya.
menyalahkan semuanya kepada hakim PN Tipikor Bandung yang mengadili kasus korupsi atas nama "mochtar" (yg telah bebas) itu bukanlah sesuatu yang baik, karena anda pada saat yang sama telah menggabungkan penilaian antara hukum dan moralitas. Selamat Untuk Berpikir Kembali !!...

Kamis, 22 September 2011

Dasar Peniaadaan Pidana Di Luar KUHPidana


Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem hukum dalam suatu Negara. Meskipun masih dipertanyakan manfaatnya dalam menyusun tata masyarakat yang tertib dan damai, tetapi semakin penting dipelajari segi-seginya untuk menunjang seluruh sistem kehidupan di dalam masyarakat[1]. Sehingga sering dikatakan apabila hukum pidana itu “rusak” maka “rusaklah” semua sistem hukum yang ada.
Pentingnya hukum pidana itu juga karena hukum pidana ini menyangkut hukum yang bersifat publik. Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk kedalam hukum publik karena ia mengatur hubungan antara individu dan masyarakat/Negara dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanya diterapkan jika masyarakat itu sungguh-sungguh memerlukannya[2]. Sedemikian pentingnya itu pula hukum pidana tidak bisa dilihat hanya dalam Undang-Undang saja, tetapi juga ada kesepakatan dalam ilmu hukum pidana yang tidak perlu diatur dalam Undang-Undang Pidana.
Kesepakatan tersebut ialah menyangkut dengan dasar peniadaan Pidana di luar KUHPidana. Dasar peniadaan pidana di luar KUHP dan merupakan hukum tertulis menurut van Bemmelen sebagaimana yang di kutip oleh Andi Zainal Abidin Farid ialah sebagai berikut[3] :
1)    Hak mendidik orang tua dan wali terhadap anaknya, hak mendidik guru, dosen (dan guru mengaji) terhadap murid atau siswanya.
2)    Hak jabatan atau pekerjaan (beroeprecht) dokter, apoteker, verloskundingen (bidan-bidan), dan peneliti ilmu-ilmu alam, umpanya vivisectie.
3)    Izin mereka yang kepentingannya dilanggar, kepada orang yang melanggar kepentingannya itu, yang perbuatannya merupakan delik seandainya tidak ada izin tersebut.
4)    Zakwarneming menurut Pasal 1354 s/d 1358 BW/KUHPerdata.
5)    Tak adanya sifat melawan hukum yang materiel.
6)    Tak adanya kesalahan.
Nyatalah sudah, bahwa selain adanya alasan peniadaan pidana bersifat umum atau Algemene Strafuitsluitigsgronden dan dasar peniadaan pidana yang bersifat Khusus atau Bijzondere Strafuitsluitigsgronden juga ada dasar peniadaan pidana di luar Undang-Undang Pidana.



[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta Cetakan Kedua, Jakarta, 1994. Hlm. 1
[2] Ibid. hlm. Hlm. 7
[3] A.Zainal Abidin farid, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika Cetakan Kedua, Jakarta, 2007, hlm 202-203


Kamis, 07 Juli 2011

Problem Penegakan Hukum


Problem Penegakan Hukum
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].

Perjalanan penegakan hukum di Indonesia yang saat ini kita perhatikan masih dalam keadaan carut-marut dalam setiap proses penegakan hukum itu sendiri. Carut-marutnya penegakan hukumdi Indonesia disebabkan antara lain karena wacana penegakan hukum ternyata masih keliru cara pencapaiannya. Hal ini tentunya terllihat dari landasannya berpikirnya adalah proses penegakan hukum yang berlandaskan pada pemikiran hukum itu sendiri, dan juga hanya dilandaskan pada undang-undang sebagai manifestasi dari hukum tanpa melihat teori-teori yang bersesuaian dengan keadaan yang seharusnya.
Undang-Undang itu sebagai penerjemahan dari pikiran-pikiran (mindset) hukum, ide-ide hukum. dengan demikian, undang-undang tidak boleh berdiri sendiri tanpa dilandasi oleh pemikiran-pemikiran atau konsep yang dibutuhkan oleh hukum. Akan tetapi tidak lucunya bangsa Indonesia sekarang ini adalah masih syndrome dengan berhukum yang politis, atau juga dapat dikatakan berhukum dengan cara “akal-akalan”, artinya ialah banyaknya perkara tidak diselesaikan dengan hukum yang telah ada tetapi dikerjakan dengan “asal dapat bagian yang sama”.
Setelah berlalunya rezim otoriter mantan Presiden Soeharto dengan lahirnya reformasi, ternyata cara berhukum tidak lebih baik dengan apa yang dipertonton saat sekarang ini, yakni banyaknya penegak hukum sebagai pengatur pemenang perkara daripada berhukum apa yang telah disepakati bersama dalam artian apa yang telah dirumuskan oleh masyarakat melalui perwakilannya.  Ironisnya sekarang, hukum itu sendiri telah dijadikan permainan oleh mereka-mereka yang mengerti hukum, hal ini terlihat banyaknya hukum didominasi oleh mereka sendiri yang mengerti hukum. bahkan jauh dari itu lagi perilaku pelanggar hukum dilakukan dengan cara memayungi perbuatannya itu dengan media politik, antara lain dapat dilihat banyaknya “uang rakyat yang di Ranpok” dengan cara membuatkan “perda-perda” dan dianggaplah sah uang tersebut padahal perda itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, hal ini terjadi dikarenakan para politikus memanfaatkan “kebodohan” masyarakatnya.
Sadjipto Rahardjo mengatkan bahwa hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum salah satunya adalah bergesernya hukum menjadi “permainan” dan “bisnis”, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya derajad hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing Justice)[2]. Sebenarnya, hukum adalah kajian ilmu yang selalu berubah, (hal tersebut bisa dilihat banyaknya undang-undang yang belum sempat berulang tahun) dengan perubahan-perubahan itu mengharuskan hukum harus selalu eksis menyesuaikan diri dengan bergesernya pradigma kehidupan manusia, akan tetapi kenyataannya hukum dalam perkembangannya selalu mengikuti langkah nyata kehidupan manusia.
Dapat dikatakan bahwa, seharusnya hukum diartikan sebagai perwujudan perikehidupan manusia, perilaku manusia yang baik, hukum tidak selalu harus ditempatkan pada posisi belakang dari setiap langkah manusia yang beradab. Sebagaima yang kita ketahui bahwa, Indonesia telah membukukan dirinya sebagai Negara hukum, artinya semua sendi-sendi kehidupan Negara harus didasarkan pada keselarasan etika dan moral. Keselarasan tersebut dapat dikatakan sebagai semua sendi kehidupan harus teratur atau tunduk kepada keteraturan yang baik dan terukur, keteraturan itu harus didasarkan kepada rumusan-rumusan keseimbangan, rumusan keseimbangan itu seyogyanyadapat diartikan sebagai sebuah keadilan dan pernghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang sempurna, yang harus pula didasarkan pula pada postulat-postulat yang ada dalam hati sanubari manusia sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya dimuka bumi dan jugasebagai peletak dasar nilai-nilai dan ide-ide yang baik yang ada dalam jiwa manusia yang paling dalam.
Tidak demikian halnya yang terlihat, justru kenyataannya sampai sekarang hukum yang sesungguhnya belum mampu menyentuh sendi kehidupan bangsa Indonesia sebagai tuan rumah yang baik. “Hukum” yang dilihat sekarang juga masih sering kita temukan keberpihakannya, sehingga hukum (peraturan perundang-undangan) masih berada pada lapisan masyarakat diwilayah tertentu atau dengan kata lain belum semua yang memahami dengan baik.
Bila kita lihat, Problem Penegakan hukum di Indonesia masih sering ditandai dengan ketidakpuasaan subjek hukum ketika hukum itu “dijalankan” pada tahap awal sampai dengan finalisasi hukum itu sendiri. Karena masalah penegakan hukum di Indonesia masih sangat kental denagn warna bahwa penegakan hukum itu belum terlaksana, penegakan hukum baru berada dan berhenti pada penegakan peraturan perundang-undangan belaka atau berhenti pada pintu masuk peraturan hukum tanpa mau masuk lebih jauh lagi kedalam dunia hukum yang sebenarnya. Peraturan perundang-undangan sangat kental dengan aroma politis, sehingga akan berpengaruh kepada pencapaian cita-cita pada sebuah tujuan yang sangat terpuji, yaitu penegakan hukum, yaitu yan baru hanya dapat bersandar kepada bentuk penegakan hukum dengan mengandalkan koneksi tanpa mengetahui peraturan itu sesungguhnya dan diperparah lagi dengan adanya saling “dapat untung dari perkara yang dibawa ke pengadilan”. Hal ini dikatakan oleh Sadjipto Rahardjo bahwa Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa[3], maka jadilah Problem Penegakan Hukum menjadi carut-marut.
Terakhir penulis hanya dapat mengatakan bahwa, bawalah ilmu yang sudah baik kamu dapatkan dari sekolah-sekolah hukum tempat kamu mendapatkannya. Semoga.




[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011
[2] Sadjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, Januari 2006
                   [3] Sadjipto Rahardjo, “Berhukum Dengan Akal Sehat”, Kompas, 19 Desember 2008

Antisipasi Bank Indonesia Dalam Rangka Menghadapi Risiko Perbankan Bayangan Di Indonesia


Antisipasi Bank Indonesia Dalam Rangka Menghadapi Risiko
Perbankan Bayangan Di Indonesia
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].

Tidak akan dapat diketahui dengan tepat terstruktur Negara Indonesia dengan hanya menyelidiki Undang-Undang dasar 1945. Undang- undang Dasar 1945 hanya rangka dasar formil Negara Indonesia. Untuk mengetahuinya Negara Indonesia yang sebenarnya harus diselidiki kenyataan-kenyataan sosio politi secara kesluruhan[2].
Kehidupan masyarakat pasti dan selalu menimbulkan fenomena dan gejala, dengan demikian politik hukum sangat diperlukan bagi kehidupan masyarakat, pemerintah, atau Negara yang sedang berubah, atau membangun atau berkembang. Pembahsan Negara hukum, sistem demokrasi, dan politik hukum sejak lahir dan berdirinya Negara Republik Indonesia, atas dasar Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia pada hari dan tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan satu kesatuan dengan pidato Proklamasi, hingga saat ini tak kunjung dapat diselesaikan dengan tuntan[3].
Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembiatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif[4]. Sementara itu, berhadapan dengan perkembangan dunia, bangunan ekonomi Indonesia yang ingin dibangun lemah, dan telah mengalami krisis[5]. Berkaitan dengan itu maka dibutuhkan pembengunan hukum yang kokoh untuk Indonesia yang lebih maju.
Pembangunan hukum itu sendiri diarahkan untuk mengahasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintahan dan penyelenggraan pembangunan nasional, maka penyusunan rencana strategi pembangunan hukum sangat diperlukan guna mendudkung pembangunan nasional, yang secara mendasar memerlukan pula hukum yang lebih mantap.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa untuk berhasilnya pembangunan hukum haruslah terlebih dahulu disiapkan lembaga-lembaga, mekanisme penyusunan perundang-undangan, maupun yurisprudensi, para pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan peraturan tersebut, proses dan prosedur dan semua sarana dan prasarana, termasuk kesadaran dan prilaku hukum masyarakat untuk dapat menerima kehadiran peraturan beserta lembaga hukum dan segala sarana yang baru. Oleh karena itu pembangunan dibidang hukum harus dilaksanakan secara sistemik dan holistic melalui rangkaian kegiatan yang terdiri dari langkah-langkah strategis yang didasarkan pada program-program pembangunan hukum dan dilaksanakan menurut hukum dan dilaksanakan menurut pola dan mekanisme yang terarah, sinkron, terpadu dan realistic yang dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat untuk jangka waktu 25-30 tahun yang akan datang.
Berkaitan dengan itu, perbankan sangat mempengaruhi kegiatan suatu Negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bankmdisuatu Negara dapatmpula dijadikan ukuran kemajuan suatu Negara yang bersangkutan.semakin maju suatu Negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan Negara tersebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.
Di Indonesia istilah perbankan bayangan sama sekali belum dikenal. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membedakan pengertian perbankan dan bank. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adapun bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menilik definisi di atas, sangat sulit memberikan definisi yang pas tentang perbankan bayangan. Apakah perbankan bayangan itu berbentuk bank atau hanya kegiatan yang serupa dengan bank, namun tidak melaksanakan ketentuan dalam perundang – undangan yang mengatur tentang bank dan lembaga keuangan.
Munculnya istilah perbankan bayangan sering dikaitkan dengan pola kebijakan Alan Greenspan (Gubernur The Federal Reserve AS periode 1987 – 2006). Kebijakan moneter yang longgar telah membuat likuiditas atau uang mengalir deras dalam perekonomian. Dengan berbagai kompleksitas mekanisme peredarannya, pada prinsipnya, uang yang mengalir deras itu telah membuat membuat fenomena gelembung dalam perekonomian. Mengapa faktor Greenspan begitu penting? Pertama, dia adalah orang yang dianggap berhasil menakhodai perekonomian AS melampaui dua peristiwa besar, yaitu stagnasi dan inflasi pada era tahun 1980-an. Kedua, kebijakannya dianggap mampu membawa perekonomian AS menuju kemakmuran pada era 1990-an, di mana lapangan kerja tercipta dengan cukup besar. Ketiga, perannya dianggap penting untuk mendinamisasi  pasar modal AS. Berkat kepemimpinannya, Dow Jones menembus angka psikologis yang belum pernah tercapai sebelumnya[6].
Selain kebijakan longgar, perbankan bayangan muncul dikarenakan dua faktor. Pertama, dibatalkannya undang – undang yang mengatur pemisahan bank komersial dengan bank investasi dalam Glass Steagal Act yang ditetapkan sejak 1933. UU tersebut dibatalkan pada tahun 1999. Pembatalan UU ini dianggap sebagai salah satu momentum berkembangnya apa yang dinamakan sebaagi “sistem perbankan bayangan”.
Dalam sistem perbankan konvensional, deposan menaruh uangaya pada institusi perbankan (commercial paper, saving institution, dan credit union) dan kemudain disalurkan sebagai kredit, baik untuk komersial (commercial loans) maupun konsumsi (consumer loans). Namun, dalam perbankan bayangan, dana pihak ketiga (DPK) dari para deposan diputar dalam investasi produk – produk derivatif yang beraneka ragam, seperti RMBS, ABS, CMBS, dan berbagai produk lain seperti CDO, SIV, dan CDS.
Lewat sistem perbankan bayangan inilah sektor finansial berkembang pesat melebihi sektor riil. Transaksi keuangan tak lagi membutuhkan jaminan asset. Di atas kertas, instrument keuangan ini diciptakan dalam rangka risk sharing management. Namun, dalam praktik, mereja itu pada dasarnya menyembunyikan risiko transaksi dari transaksi lama dan menciptakan risiko dengan transaksi baru yang jauh lebih besar. Dalam sebuah sistem yang kompleks seperti itu, siapa yang harus bertanggung jawab? Masing – masing pihak lainlah yang harus bertanggung jawab.
Di Indonesia, perbankan bayangan belum terlalu rumit, namun masih sederhana. Masih terbatas dalam surat utang negara, walaupun akhir – akhir ini pemerintah mulai mengeluarkan model secondary mortgage fund untuk pendanaan perumahan rakyat. Perusahaan sekuritas di Indonesia, sampai sekarang masih terbatas melakukan pergerakan dalam pengumpulan modal untuk membawa hot money (modal jangka pendek) ke pasar modal. Belum sampai ke menjual instrumen derivatif sebagaimana terjadi di AS.
Situasi di AS sekarang, bisa dikata tidak terjadi di Indonesia sekarang. Namun, di tengah perkembangan ekonomi keuangan dan masyarakat yang semakin konsumtif. Boleh jadi krisis AS yang disebabkan subprime mortgage (kredit perumahan berkualitas rendah) dapat terjadi. Jika benar terjadi, langkah apa yang seharusnya dilakukan Bank Indonesia sebagai pengawas otoritas jasa keuangan, sebelum UU OJK terbentuk. Serta langkah antisipasi apa yang seharusnya dilakukan BI agar sistem perbankan bayangan tidak merusak sistem perbankan konvensional.

Instrumen hukum yang harus digunakan BI untuk mengatasi gejolak keuangan yang ditimbulkan oleh sistem perbankan bayangan.
Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.. BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Untuk periode 2008-2013, Darmin Nasution menjabat posisi sebagai Gubernur BI menggantikan Boediono yang menjadi Wakil Presiden[7].
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya[8]. Berkaitan dengan itu, perbankan sangat mempengaruhi kegiatan suatu Negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bankmdisuatu Negara dapatmpula dijadikan ukuran kemajuan suatu Negara yang bersangkutan.semakin maju suatu Negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan Negara tersebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.
Lain halnya dengan dinegara-negara berkembang, seperti Indonesia, pemahaman tentang bank dinegeri ini baru sepotong-potong. Sebagian masyarakat hanya memahami bank sebatas tempat memindahkan jam dan menyimpang uang belaka. Bahkan terkadang sebagian masyarakat sama-sekali belum memahami bank sering diartikan secara keliru. Selebihnya banyak masyarakat yang tidak paham sama sekali tentang dunia perbankan. Semua ini dapat dipahami karena pengenalan dunia perbankan secara utuh terhadap masyarakat sangatlah minim, sehingga tidaklah mengherankan keruntuhan dunia perbankanpun tidak terlepas dari kurang pahamnya pengelola perbankan ditanah air dalam memahami dunia perbankan secara utuh[9].
Dalam dunia modern saat sekarang ini, peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu Negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu saat ini dan dimasa yang akan datang tidak akan dapat dilepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalankan aktivitas keuangan, baik perorangan maupun lembaga, baik sosial maupun perusahaan.
Begitu pentingnya dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan nyawa untuk menggerakkan roda perekonomian suatu Negara. Anggapan ini tentunya tidak salah, karena fungsi bank sebagai lembaga keuangan sangatlah vital, misalnya dalam penciptaan uang, mengdarkan uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainnya.
Bank juga disebut sebagai lembaga perantara keuangan atau Finacial Intermediary. Sebagai lembaga perantara keuangan, artinya bank menjebatani kebutuhan dua nasabah yang berbeda, satu pihak, merupakan nasabah yang memiliki dana dan pihak lainnya merupakan nasabah yang membutuhkan dana. Bank menghimpun dana dari masyakarat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Produk simpanan yang ditawarkan oleh bank antara lain simpanan giro, tabungan, deposito, dan produk penghimpunan dana lainnya. Fungsi lainnya adalah penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk penempatan dana lainnya. Sebagia besar penayaluran dana pihak ketiga ialah dalam bentuk kredit. Kredi yang diberikan oleh bank secara garis besar dilihat dari segi tujuan penggunaan dapat dibagi menjadi kredit investasi, kredit modal kerja, dan komsumsi. Kredit investasi merupakan jenis kredit yang diberikan oleh bank untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pengadaan barang modal. Kredit modal kerja merupakan kerja perusahaan. Kredit konsumsi merupakan jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan barang konsumsi yang habispakai dan digunakan untuk keperluan pribadi[10].
Sistem keuangan juga menjadi perhatian daripada perbankan itu sendiri, sistem keuangan dinegara-negara asia, termasuk Indonesia, telah mengalami perubahan yang berarti selama decade 80-an sampai sekarang. Hampir semua Negara asia melakukan liberalisasi sistem keuangan yang pada umumnya disertai kelonggaran arus modal asing dan pengawasan devisa. Perubahan tersebut mendorong perubahan arah kebijakan moneter, memengaruhi hubungan antara permintaan uang, pendapatan dan suku bungan dan mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang instrumen-instrumen moneter yang tepat untuk menentukan kebijaksanaan yang dikeluarkan. Meskipun leiberalisasi tersebut diikuti oleh paket-paket kebijakan lainnya yang disempurnakan, namun belum dapat mengurangi kelemahan diberbagai sektor perekonomian yang ada.
Beranjak dari apa apa yang diuraikan diatas jelaslah bahwa sistem keuangan memegang perranan yang sangat penting dalam perekonomian seiiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) kepada pihak yang membutuhkan dana (lack of funds). Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi pihak tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai[11].
Selanjutnya, Perbankan adalah sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya[12]. Indonesia sampai saat ini hanya menyandarkan diri pada dua peraturan umum, yaitu Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan yang mengatur bahwa industri keuangan antara bank dan nonbank harus dipisahkan sampai sekarang belum ada. Pada Pasal 7 Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan Bank Umum dapat melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya ketentuan ini, beberapa bank nasional dan bank swasta ramai – ramai mendirikan perusahaan sekuritas, seperti BNI Securities (Bank BNI), Mandiri Securities (Bank Mandiri), dan Bhakti Investama Securities (Grup BCA).
Sampai sekarang Indonesia belum mempunyai peraturan yang melarang bank dan nonbank bersatu. Bank – bank sendiri dalam menjalankan kegiatan usaha bank dan nonbank secara bersamaan hanya mendasarkan diri pada prinsip kehati-hatian. Artinya, jika bank tidak hati – hati maka krisis perbankan dapat terjadi; sehingga meruntuhkan sistem perbankan. Dari penelitian penulis, instrumen yang bisa dipakai oleh Bank Indonesia agar tidak terjadi sistem perbankan bayangan di Indonesia adalah Basel Record II.
Dalam Basel II dinyatakan bahwa setiap otoritas pengawas perlu mempertimbangkan aspek prioritas sebelum mengadopsi Basel II.  Melalui implementasi Basel II, Bank Indonesia pada dasarnya ingin meningkatkan aspek manajemen risiko agar bank semakin resisten terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri, regional maupun internasional. Dalam Basel II, bank diminta untuk mengalokasikan modal yang lebih kecil untuk counterparty yang memiliki peringkat lebih tinggi dan modal yang lebih besar untuk yang lebih berisiko. Framework tersebut disusun dalam tiga pilar, yaitu:
1)          Pilar 1 yang terkait dengan persyaratan modal minimum yang harus disediakan oleh masing-masing bank untuk mengcover eksposur kredit, pasar dan operasional.
2)          Pilar 2 khusus terkait dengan proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa tingkat permodalan bank mencukupi untuk mengcover risiko bank secara keseluruhan.
3)          Pilar 3 terkait dengan disiplin pasar dan rincian mengenai batas minimum untuk pengungkapan kepada publik.
Perbankan bayangan muncul karena perbankan konvensional tidak memperhitungkan risiko kredit. Dalam Basel II, risiko kredit dari pemberi pinjaman dimitigasi jika debitur memberikan agunan atau pihak ketiga menjamin kewajiban debitur, ketika bank membeli proteksi kredit, sebagai contoh melalui derivatif kredit, dan lain-lain. Basel II memberikan pengakuan yang lebih luas terhadap teknik-teknik mitigasi risiko kredit dibandingkan Accord 1988. Basel II memungkinkan bank untuk mengakui agunan-agunan sebagai berikut.
1.          Kas
2.          Surat utang tertentu yang diterbitkan oleh pemerintah, public sector entities, bank, perusahaan dan perusahaan sekuritas.
3.          Sekuritas ekuitas tertentu yang dapat diperdagangkan.
4.          Reksadana tertentu.
5.          Emas[13].
Untuk bank yang menggunakan standardised approach untuk menghitung risiko kredit, Basel II menetapkan dua kemungkinan pendekatan, yaitu:
1.          Simple approach yang memungkinkan tagihan yang dijamin menerima bobot risiko yang dikenakan kepada instrumen agunan dengan batasan terendah sebesar 20%.
2.          Comprehensive approach terfokus pada nilai tunai dari agunan. Pendekatan ini menggunakan haircut untuk memperhitungkan volatilitas nilai agunan. Haircut dapat berupa haircut standar yang telah ditetapkan (ditetapkan oleh Basel Committee) atau menggunakan estimasi volatilitas agunan yang disusun oleh bank[14].
Di Basel II ini, sistem perbankan juga diadopsi namun dengan ketentuan yang ketat. Menurut Sigit Pramono, sekuritisasi yang berlaku di Indonesia hanya terjadi satu kali saja, bukan dua kali atau lebih. Misalnya dari residential mortgage menjadi residential mortgage backed securities, sehingga masih berkecimpung di pasar modal saja. Bukan lagi masuk ke dana lindung (hedging) atau instrumen investasi lainnya. Situasi ini masih menguntungkan bagi kondisi perekonomian dan mendongkrak inovasi perbankan. Pola ini juga dipakai pemerintah dalam pembentukan infrastructure fund, di mana perbankan bayangan ala Indonesia tidak hanya bergeliat di sektor finansial.
Adapun pengertian sekuritisasi adalah teknik yang digunakan bank untuk antara lain memindahkan risiko dan mendapatkan likuiditas. Dalam bentuk tradisional, aset bank dimasukkan dalam satu kelompok yang selanjutnya dijual dengan menerbitkan sekuritas yang dijamin dengan kelompok aset tersebut. Dalam Basel II, bank harus menerapkan kerangka sekuritisasi dalam menetapkan kebutuhan modal terhadap eksposur yang berasal dari sekutitisasi tradisional dan sintetis atau struktur yang sama yang memuat fitur-fitur tersebut[15].
Oleh karena sekuritisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, penetapan modal dalam eksposur sekuritisasi harus ditetapkan berdasarkan muatan ekonomis dibandingkan bentuk legalnya. Hal yang sama, pengawas akan lebih menitikberatkan perhatiannya pada muatan ekonomis dari transaksi untuk menetapkan apakah hal tersebut mengacu pada kerangka sekuritisasi dalam kaitannya dengan penetapan kebutuhan permodalan.  Dalam sekuritisasi, bank dapat berperan sebagai kreditur asal atau investor dari aset yang disekuritisasi dan peran yang sebenarnya dari dua kategori ini sangat bervariasi. Bagaimanapun bentuknya, Basel II menekankan bahwa bank harus mengalokasikan modal terhadap berbagai bentuk sekuritisasi.
Sistem perbankan bayangan tidak begitu berkembang di Indonesia, karena masih susahnya masyarakat Indonesia mengakses kredit di bank umum, bukan di bank perkreditan rakyat atau koperasi. Jadi, proporsi utang yang ditimbulkan household masih sangat rendah. Namun, proporsi utang yang ditimbulkan oleh sektor bisnis menjadi sangat besar. Seperti yang terjadi di masa lalu, krisis ekonomi 1997/1998 pola rembetannya tidak berasal dari kegagalan pribadi/orang membayar likuiditasnya atau membayar utangnya. Namun berasal dari sektor bisnis yang gagal membayar utangnya (terutama yang masih terafiliasi) serta perilaku moral hazard dari bankir yang melarikan modal bank atau menukar rupiah dengan mata uang, terutama dollar AS kala itu.
Pemerintah dan Bank Indonesia juga sudah mempunyai cara untuk menangani bank yang gagal bayar lagi dengan mengaturnya pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Dalam perppu tersebut pokok – pokoknya antara lain:
1.          Jaring  Pengaman  Sistem  Keuangan  adalah  suatu mekanisme  pengamanan  sistem  keuangan  dari  krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
2.          Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal  secara  efektif  menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.
3.          Berdampak  Sistemik  adalah  suatu  kondisi  sulit  yang ditimbulkan oleh suatu bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar  keuangan  yang  apabila  tidak  diatasi  dapat menyebabkan  kegagalan  sejumlah  bank  dan/atau LKBB  lain  sehingga  menyebabkan  hilangnya kepercayaan  terhadap  sistem  keuangan  dan perekonomian nasional.
4.          Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD,  adalah  fasilitas  pembiayaan  dari Bank  Indonesia yang  dijamin  oleh  Pemerintah  kepada  bank  yang mengalami  kesulitan  likuiditas  yang  Berdampak Sistemik  dan  berpotensi  Krisis  namun  masih memenuhi tingkat solvabilitas.
5.          Bank  Gagal  adalah  bank  yang  mengalami  kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
6.          Pencegahan Krisis sebagaimana tindakan mengatasi permasalahan:
a.          Bank yang mengalami kesulitan likuiditas  yang Berdampak Sistemik;
b.          Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan  pelunasan  FPD  yang  Berdampak Sistemik; dan
c.          LKBB yang mengalami  kesulitan  likuiditas  dan masalah solvabilitas yang Berdampak Sistemik
7.          Penanganan Krisis meliputi tindakan mengatasi permasalahan: 
a.          Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau solvabilitas yang  secara  individu  Berdampak Sistemik  atau  bank yang secara  individu  tidak Berdampak  Sistemik  tetapi  secara bersama-sama dengan bank lain Berdampak  Sistemik,  pada kondisi krisis; dan
b.          LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang Berdampak Sistemik.
8.          Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dibentuk Komite  Stabilitas  Sistem  Keuangan,  yang selanjutnya  disebut KSSK yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota.
9.          KSSK  berfungsi  menetapkan  kebijakan  dalam  rangka pencegahan dan penanganan krisis.
10.       Dalam  rangka melaksanakan  fungsi penetapan kebijakan pencegahan  dan  penanganan  krisis KSSK mempunyai tugas:
a.          mengevaluasi  skala  dan  dimensi  permasalahan likuiditas  dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai Berdampak Sistemik;
b.          menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah  solvabilitas bank/LKBB Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik; dan
c.          menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam  rangka pencegahan dan penanganan krisis. 
Antisipasi apa yang bisa diambil oleh Bank Indonesia dalam rangka pencegahan sebagaimana yang digariskan oleh Basel Record II. Salah satu cara yang bisa diambil oleh BI adalah memperbesar kecukupan modal bank (CAR) hingga mencapai 8 persen. Permodalan bagi bank sebagaimana perusahaan pada umumnya berfungsi sebagai penyangga terhadap  kemungkinan terjadinya  kerugian. Selain itu modal juga berfungsi untuk menjaga kepercayaan terhadap aktivitas perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. 
Merupakan tugas pengawas bank yang memberikan aturan mengenai modal. Regulatory Capital merupakan modal yang dipersyaratkan oleh otoritas pengawas untuk disiapkan dalam rangka mengatasi kerugian potensial. Persyaratan  Regulatory Capital  merupakan salah satu komponen utama dari pengawasan bank yang  tercermin dalam definisi modal regulatory dan rasio kecukupan modal (CAR).
Rasio ini bertujuan untuk memastikan bahwa bank dapat menyerap kerugian yang timbul dari aktivitas yang dilakukan. Rasio regulatory yang sudah dikenal adalah rasio minimum sebesar 8%. Hal ini menghubungkan modal bank dengan bobot risiko dari aset yang dimiliki. Beberapa bank telah menggunakan pendekatan penilaian kebutuhan modal sebagai fungsi dari manajemen risiko. Umumnya, bank akan menilai jumlah modal yang dibutuhkannya untuk menutupi kerugiannya hingga suatu probabilitas tertentu. Modal merupakan sumber daya dari bank yang sangat mahal sehingga bank harus memiliki insentif yang kuat untuk mengaturnya seefektif mungkin. Sejak pertengahan 1990, beberapa intitusi yang besar dan paling  sophisticated telah mengembangkan berbagai macam ukuran economic capital dan secara spesifik menyatukan sistem manajemen risiko untuk mengelola risiko dan modal lebih efisien. Tujuan dari pengawasan bank  adalah untuk memastikan bahwa bank beroperasi dengan aman dan sehat. Untuk kepentingan ini maka bank harus menjaga modal dan cadangan yang cukup untuk mendukung risiko yang timbul dari dari bisnisnya. Prinsip utama dari The Basel Committee on Banking Supervision’s (BCBS) menyatakan bahwa pengawas bank harus menetapkan persyaratan modal minimum yang  aman dan tepat untuk semua bank.
Persyaratan minimum regulatory capital dibentuk berdasarkan 2 komponen:
1.          Definisi dari regulatory capital adalah daftar dari elemen yang termasuk modal untuk tujuan regulatory capital dan kondisi-kondisi dari yang harus dipenuhi oleh elemen-elemen tersebut agar dapat diperhitungkan sebagai modal.
2.          Bobot risiko dari asset, yaitu semua eksposur setelah dikonversi menjadi aset dan telah mendapatkan bobot risiko dari pengawas berdasarkan tingkat risikonya.
Terhadap fenomena sistem perbankan bayangan dan Basel Record ada beberapa hal yang harus dicermati terus menerur. Pertama, perbankan Indonesia akan terus mengalami konsolidasi, baik modal maupun produknya. Penerapan Basel Record akan sedikit banyak memaksa bank untuk tidak terlalu agresif dulu dalam memasarkan kreditnya dan produk derivatifnya. Kedua, struktur kepemilikan perbankan Indonesia akan semakin disemarakan oleh konglomerasi asing. Menjadi hal yang urgen adalah jika konglomerasi asing itu di negara asalnya terbiasa melakukan perbankan bayangan. Supervisi dari BI harus lebih ditingkatkan. Ketiga, akan terus muncul regulasi perbankan yang ketat dan tambah ketat, sehingga bank sendiri akan kesulitan menyalurkan kreditnya pada sektor riil. Namun, kondisi ini harus dicermati apakah juga akan berimbas pada sektor konsumtif. Jika yang terjadi kebalikannya, sektor konsumtif lebih melesat dari sektor riil. Tentunya risiko default lebih sering terjadi.
Indonesia sudah “relatif” lepas dari krisis ganda: moneter dan keuangan. Tantangan ke depannya adalah mengatur sektor keuangan agar tidak lagi menjadi penyebab krisis. Namun sektor keuangan dapat kembali ke khittahnya sebagi penyokong sistem riil, kredit – kredit pun dapat mengalir ke sektor riil dan pada akhirnya akan menggairahkan perekonomian domestik. Namun, kebijakan sektor keuangan sekarang belum menunjukkan kesinkronan antara bank dan nonbank (pasar modal atau pasar uang). Jika di bank, kebijakan cenderung ketat. Adapun di pasar uang atau pasar modal cenderung longgar. Hal ini bisa terlihat dari IHSG kita yang terus meroket dan mencetak rekor baru, berada pada kisaran 1200-an. Pertanyaan pentingnya: apakah kenaikan IHSG itu disebabkan karena bergerak naiknya harga – harga saham sektor riil atau lebih karena pasokan hot money yang ingin keuntungan cepat. Pasar modal dan pasar uang memang sering diwarnai kegairahan yang berlebihan (irrational exuberance).
Bank Indonesia dalam menghadapi hal ini, tidak bisa lagi mengibaratkan dirinya sebagai seorang tua yang anaknya cenderung nakal, tetapi tidak pernah berusaha menghentikannya, sehingga kebiasaan buruk anaknya yang berfoya – foya terbawa terus, sampai musibah merontokkannya.
Instrumen hukum sampai sekarang yang digunakan BI dalam mengatasi gejolak sistem keuangan yang ditimbulkan oleh sistem perbankan bayangan sampai saat ini yaitu masih disandarkan kepada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan dan Peraturan BI yang terkait baik itu dari segi pengawasan bank nasional maupun bank internasional, dan juga yang terkait dengan peraturan-peraturan menteri keuangan yang juga dalam hal penyaluran kredit untuk usaha-usaha tentang perbankan.



[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret
[2] Abdul latief dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
[3] Soehino, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Pertama, Penerbit BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
[4] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Revisi, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
[5] Supanto, Kejahatan Ekonomi Global Dan Kebijakan Hukum Pidana Cetakan Ke-1, Penerbit Alumni, Bandung, 2010
[6] Alan Greenspan dalam Arianto Patunru, Otobografi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
[8] http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/19/hukum-perbankan-seputar-pengertian-perbankan/
[9] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
[10] Ismail, Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi, Pranada Media Cetakan Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta, 2010
[11] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Revisi, Pranada Media, 2011
[12] Jamal Wiwoho, Hukum Perbankan Indonesia, Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2011
[13] Purbaya Yudhi Sadewa, Implementasi Basel Record II di Indonesia, Seminar Good Govermance di Sektor Perbankan yang diselenggarakan oleh INFOBank bekerjasama dengan BNI, 2008
[14] Ibid
[15] Fauzi Ichsan, Macam-Macam Produk Derivatif, Kumpulan makalah dalam seminar ekonomi keuangan sebagai disiplin baru dalam ekonomi, yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi UI bekerja sama dengan Perbanas, 2004