Kamis, 22 Desember 2011

Benarkah Jujur Itu dilarang !!



Benarkah Jujur Itu Dilarang !!
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Kedaulatan ditangan rakyat, dan rakyatlah menentukan segala-segalanya. Jika rayat tidak diberikan lagi menentukan arah dan kebijakan negara kedepannya, yang terjadi ialah rakyat akan menyusun strategi untuk dirinya sendiri, maka demikian tidak harus ada yang dipersalahkan jika rakyat membuat agenda-agenda sendiri yang menyimpang dari kekuasaan yang sah.
Sebenarnya kekuasaan yang sah itu memang demikian dimonopoli oleh negara. tidaklah mengherankan jika negara mengeluarkan aturan-aturan yang cendrung melindungi dirinya sendiri. Tidaklah dapat dikatakan salah jika negara melindungi dirinya dengan berbagai aturan yang sifatnya memaksa. Yang sering dipermasalahkan ialah apakah aturan untuk melindungi rakyat itu tidak di monopoli oleh oknum-oknum tertentu atas pesanan orang-orang tertentu pula.
Tidaklah salah jika rakyat menggugat aturan yang tidak mencerminkan kejujuran. Memang demikian, kejujuran di manapun sangat sulit ditemukan, akan tetapi, di Negara Indonesia kejujuran lebih sulit lagi ditemukan. Sebagai contoh, didalam sidang pengadilan banyak sekali sumpah ecek-ecek. Sumpah ecek-ecek ini rela di utarakan oleh para terdakwa korupsi (mungkin juga dalam perkara lain) untuk melepaskan dirinya dari perkara hukum yang sedang menggigitnya.
Belum lagi, ‘pendekar-pendekar hukum’ sering ‘cakar-cakaran’ dalam sidang pengadilan. Tidak jarang ‘cakar-cakaran’ didalam sidang pengadilan tersebut menghilangkan subsantasi dari permasalan hukum tersebut. Hal ini juga diperparah dengan semangat tidak adanya sifat kejujuran dalam hati manusia itu sendiri. sederet peristiwa penting dalam ketidakjujuran memang perlu diperhatikan oleh setiap mahluk yang hidup di alam dunia manapun.
Contoh lain yang sulit didapatkan dari kejujuran tersebut ialah, banyaknya rakyat yang mempertanyakan kebijakan yang negara terkesan tidak jujur dalam mengatasi berbagai persoalan rakyat, kasus Mesuji, kasus papua, pelanggaran HAM (dan masih banyak contoh yang lainnya). Jika pemerintah jujur membuka sebenarnya yang terjadi, rakyat akan selalu membantu mencarikan solusi yang terbaik untuk negara tercinta yaitu Negara Indonesia. Namun apa boleh dikata, rakyat di suruh untuk jujur sedangkan pemerintah tidak. Sungguh suatu yang tidak diperlukan dalam kesepakatan membangun negara ini.
Belum lagi, kejujuran yang paling sulit untuk dijumpai ialah di Legislatif, bagaimana tidak politikus-politikus yang ada disenayan (tidak hanya disenayan) tidak jarang saling tuduh-menuduh dalam menyelesaikan suatu masalah. Tidak jarang saling tuduh menuduh tersebut tidak diselesaikan dengan kejujuran, akan tetapi lebih diselesaikan dengan cara ‘berbisik-bisik’. Effendi Gazali mengatakan bahwa rakyat jangan mengaharapakan kejujuran dari politikus, apabila rakyat mengharapkan kejujuran dari politikus maka yang didapatkan hanyalah kekesalan. Namun demikian, saya masih berkeyakinan ada politikus yang jujur, tapi mereka-mereka ini tidak diberikan kesempatan untuk menjadi orang nomor satu ditempatnya.
Jika demikian, Tidaklah mengherankan jika rakyat bertanya, Bila demikian, apakah mungkin kejujuran itu tiba-tiba datang dari langit!! atau kejujuran enak didengar sambil minum kopi!!, atau apakah kejujuran berapakah harga yang pantas untuk setiap kejujuran tersebut!! Atau pertanyaan, apakah memang didunia ini kita tidak perlu lagi memikirkan kejujuran!! Atau Benarkah Jujur Itu Dilarang !!. semua pertanyaan patut menjadi tempat yang utama yang sistem kehidupan yang ada saat ini.
Akan tetapi, Yang terbaik untuk saat ini ialah, kejujuran itu harus dimulai dari setiap orang, akan tetapi, akan lebih baik kejujuran tersebut dimulai dari mereka-mereka yang menjadi pemimpin saat ini, akan datang dan seterusnya.
Akhirnya tulisan ini ditutup dengan perkataan, Prof. Broom, yaitu ‘bila cahaya tidak ada lagi, maka kegelapanlah yang menang’.

Mungkin saya keliru, makanya saya menulis.




[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Senin, 19 Desember 2011

Pemerintah Yang Bersandiwara


Pemerintah Yang Bersandiwara.
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
“Saya tidak bermaksud menyembunyikan fakta yang tidak saya sukai …tentang kemegahan semua hal yang dipenuhi kebijaksanaan, seperti yang menjadi kecendrungan masa kini”[2]. Disaat masyarakat sedang taat kepada pemerintah dan tunduk kepada hukum ternayata pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan yang bisa disebut tidak bisa diakui dalam dunia beradab.
Pemerintah yang dimaksud di sini ialah eksekutif, tentu saja, karena pemerintah dibidang ini-lah yang sering membuat keputusan-keputusan yang tidak jarang keputusan tersebut banyak yang merugikan masyarakat. Keputusan yang merugikan terhadap masyarakat tersebut terkadang bersifat massif dan sistematis dan ini terus dibiarkan menjadi lalat yang busuk. Apakah ini patut dipertanyakan, ya!! Tentu harus dipertanyakan karena mereka-mereka tersebut di gaji dengan pajak yang dibayar oleh rakyat. Jelas ketika telah mendapatkan gaji dari rakyat mengapa mereka tidak ‘tunduk’ kepada kepentingan rakyat.
Seringkali kepentingan-kepentingan rakyat tidak dibuat ‘manusiawi’ oleh mereka (Pemerintah) yang bekerja di instansi/lembaga-lembaga yang katanya berpendidikan, punya pengalaman dan sebagainya. Pemerintah dalam tataran ideal sudah sangat dijelaskan dalam pelajaran-pelajaran akan tetapi tataran ideal tersebut hanya dikonsumsi untuk saat studi saja, layakkah apa yang telah di didapat tidak diterapkan di dalam masyarakat atau di tempat kerja (jika anda masih berpikir tentu saja pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab oleh orang yang waras).
Contoh ketidakmampuan pemerintah yang terbaru ialah antara masyarakat dan korporasi dalam kasus Mesuji[3]. Bagaimana tidak, masyarakat di Mesuji[4] dianggap oleh pemerintah tidak mempunyai hak atas tanah apapun di tempat nenek moyang mereka. Pengeyampingan atas hak tanah masyarakat Mesuji[5] jelas-jelas menodai negara hukum yang berjiwa pancasila.
Belum lagi, terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pemerintah, adanya ‘aksi koboi’[6] terhadap rakyat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ialah sudah tidak bisa dibantah lagi oleh manusia yang mempunyai akal sehat. Bahwa yang mati di dalam kasus Mesuji[7] itu bukanlah nyamuk tapi manusia yang masih mempunyai harkat dan martabat. Tindak pidana yang dilakukan oleh oknum pihak kepolisian tersebut seharusnya tidak hanya sidang disiplin, tetapi juga harus dibawa ke peradilan umum.
Apapun itu, kasus Mesuji[8] telah terjadi. Penyelasian kasus Mesuji harus melalui jalan hukum, walaupun ada TPGF[9] Mesuji yang kurang begitu yakin ini akan diselaikan secara hukum, akan tetapi TPGF di bentuk karena menyenangkan hati rakyat saja. Seharusnya kejadian di Mesuji[10] itu tidak harus terjadi bila, Dep. Kehutanan memberikan rekomendasi kepada pemda untuk mencabut izin perusahaan yang sedang bersengketa, kedua, Pemda Sumsel dan Lampung segera mngkin mencabut izin perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat. Pihak Kepolisian seharusnya menjadi bagian terdepan dalam membela masyarakat dengan perusahaan.
Terakhir penutup dari tulisan ini, pemerintah yang bersandiwara selama ini sudah-lah, saatnya pemerintah harus bersikap tegas kepada siapapun yang bersalah. Rakyat tidak ingin penyelesaian kasus Mesuji dengan acara ‘Mencla-Mencle’.


[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
[2] Karl R. Popper, Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya. 1950

Sabtu, 03 Desember 2011

Menimang Janji Abraham Samad


Menimang Janji Abraham Samad
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Hiruk-pikuk pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberansan Korupsi (KPK) sudah usai, yaitu dengan terpilihnya Abraham Samad mendapat 55 suara, Adnan Pandu Praja 51 suara, Zulkarnain 37 suara , dan Bambang Widjojanto 55 suara[2]. Selang beberapa saat setelah itu diadakankan pemilihan ketua KPK tidak disangka-sangka akhirnya terpilihlah Abraham Samad. Ucapan selamat untuk ketua KPK baru pun berdatangan, dari ICW[3], bahkan Presiden SBY sampaikan selamat untuk ketua KPK terpilih[4].
Yang mengejutkan ialah adanya kekecewaan yang sangat tidak sepantasnya dilontarkan oleh pansel capim KPK, sikap in dapat dilihat yaitu dengan mengatakan "Kita sudah mempertimbangkan, KPK perlu orang perbankan dan keuangan, makanya ada Handoyo Sudrajat dan Yunus Husein,"[5]. Apapun itu, kekesalan tersebut adalah merupakan hak berbicara tersendiri dan itu sah-sah saja.
Janji sudah terucap, Ketika janji tersebut sudah terucap saat itu pula menjadi harga yang harus diperhitungkan. Menurut saya, janji tersebut sangatlah tidak perlu, akan tetapi karena masyarakat sudah terbiasa dengan janji-janji palsu dan menyakini janji seketika itu pula rakyat melalui DPR melihat janji tersebut menjadi pemicu terpilihnya Abraham Samad sebagai pimpinan KPK dan sekaligus menjadi Ketua KPK.
Sebenarnya, untuk jabatan publik, janji-janji untuk bekerja maksimal untuk rakyat tidaklah perlu. Ketika anda tidak berhasil secara moral (bukan ukuran statistik seperti tentang turunya angka kemiskinan dan pengangguran untuk Indonesia semasa Pemerintahan SBY) sektika itu pula anda harus turun dengan, mengingat ketika tetap duduk dibangku kekuasaan, sektika itu pula masyarakat melihat orang tersebut ttidak ubahnya sebagai kotoran yang duduk di singgasana (Nietzsche). Sebut saja misalnya, di Korea Selatan, salah satu menteri mengundurkan diri ketika terjadinya mati lampu dalam beberapa jam saja, karena kesalahan anak buahnya.
Kembali kepada janji Ketua KPK saat fit&profer Test di DPR, ‘jika tidak berhasil menuntaskan kasus century dalam satu tahun akan turun dari pimpinan KPK’. Tentu saja banyak pihak yang terkejut, karena kasus century menurut laporan DPR dari opsi C melibatkan Budiono (wapres) dan Sri Mulyani (saat ini bekerja Word Bank). Yang lebih penting dari itu ialah, sekiranya janji itu tidak terbukti (tentunya tidak diharapkan) dalam jangka waktu satu tahun untuk menuntaskan kasus century terhitung saat janji diucapkan, tidak usah diingatkan untuk turun sebagai pimpinan KPK, secara moral anda (Abraham Samad) harus turun dengan hormat.

Perlukah Akal Sehat Dalam Suksesi

Perlukah Akal Sehat Dalam Suksesi
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Martin Jay, mengatakan ‘tidak semua diatur oleh langit’. Dengan ungkapan itu, maka akan dicoba untuk mengoreksi terhadap beberapa sikap yang kurang sempurna dilakukan oleh beberapa pengkritisi terhadap wacana yang ingin ‘membuang’ salah satu calon peserta pemilukada Kota Pekanbaru. Tentu saja, wacana ini sangatlah baik. mengapa sangat baik, karena dengan wacana ini berkembang pula pola-pola pengkritisi arah dan tujuan kemana wacana tersebut dilemparkan. Lagipula, sejauh ini, yang saya lihat adalah berkembangnya wacana tersebut tidak toleran, akan tetapi lebih banyak yang ‘menyerang’ sesuatu yang diluar akal sehat manusia. Tentu saja, hal tersebut semestinya dihindari agar kesesatan berpikir lebih lanjut tidak menghinggapi dalam cara berpikir selanjutnya.
Cara berpikir selanjutnya, apakah wacana untuk ‘membuang’ salah satu calon itu sah dalam politik!! Tentu saja, ini sangat mungkin, karena, dalam politik semuanya tidak dapat diukur dengan rasional, akan tetapi yang irasional (Karl R. Popper) itu harus mendapatkan perhitungan yang lebih banyak dari yang rasional.
Tentu saja, yang irasional ini juga harus diukur dengan irasional, bagaimana cara mengukurnya!! Cara mengukurnya tentu saja tidak mudah, akan tetapi keptusan irasional ini baru bisa diketahui setelah semuanya terjadi dan menjadi fakta yang tidak terbantahkan, yaitu dengan tidak adanya lagi saingan yang utuh dalam perebutan kekuasaan tersebut.
Namun demikian, seringkali keputusan-keputusan yang irasional sering menyalahi sistem pemikiran yang dangkal. Sistem pemikiran yang dangkal inilah nantinya tidak menerima keputusan politik yang diambil, hal ini diakibatkan oleh rasa kebencian ‘yang hitam’, rasa ‘permusuhan’ dan ‘ketidaksukaan’, dan keberpihakan untuk memenangkan salah satu calon (walaupun mereka tidak sebagai tim dalam salah satu calon).
Banyaknya kesalahan berpikir dan keberpihakan sejak awal, tentu saja tidak salah, akan tetapi seketika keberpihakan anda sudah gagal, maka tentu saja anda harus mengatakan bahwa cara berpikir yang selama ini ada adalah salah. Pengakuan bersyarat ini tentu saja harus diakui secara diam-diam, ketika pengakuan tersebut anda buka ke umum yang terjadi pada saat tersebut ialah bahwa memang anda perlu membuka kembali lembaran-lembaran catatan sejarah penting dalam perebutan kekuasaan yang terjadi dibelahan dunia lain. Membuka lembaran-lembaran yang ada di dunia lain ini adalah penting. Seketika anda sudah cukup membuka lembaran-lembaran sejarah yang ada di dunia lain, dan menemukan sesuatu yang yang tidak jauh beda, dengan demikian anda sudah mulai mengatakan bahwa yang terjadi seperti itu sangat mungkin dan mungkin sekali.
Apapun itu, yang selalu membuat negara jadi neraka di bumi ini adalah manusia yang justru ingin mengubahnya jadi surga baginya (F. Hoelderlin). Terakhir, penutup dalam tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa, sesungguhnya apa yang terjadi di dalam Pemilukada Kota Pekanbaru (dan mungkin saja di Pemilu/kada yang lain) adalah sesuatu yang irasional. Tentunya ‘permainan’ (politik) irasional dimana pun ada, akan tetapi cara-nya saja yang mungkin berbeda.


[1] Managing Director Research Institute and Study of Riau Society

Kamis, 01 Desember 2011

Setgab Yang Bersandiwara

Setgab Yang Bersandiwara
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]

Rakyat Indonesia pada hari ini akan menaruh harapan kepada anggota parlemen. harapan tersebut tentunya harus disikapi dengan bijaksana oleh para wakil rakyat di Senayan. Akan tetapi menurut informasi sementara ternyata setgab ternyata telah memilih 3 (tiga) nama yang tentunya sudah ‘tidak disenangi’ oleh sejumlah LSM dan masyarakat.
Informasi yang penulis dapat, di internal Setgab koalisi menyebutkan sejumlah anggota Setgab koalisi menghendaki Yunus Husein, Aryanto Sutadi, dan Jaksa Zulkarnain, menjadi pimpinan KPK. "Sementara Bambang itu hanya bonus, supaya dikatakan mendengarkan masukan publik"[2]. Bila melihat Profil capim KPK yang di ‘jagokan’ setgab tersebut sangat controversial. Hal ini dapat dilihat dari Puluhan aktivis antikorupsi dari ICW, MTI, PSHK, TII yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan melakukan aksi treatrikal di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai cermin penolakan mereka terhadap salah seorang calon pimpinan yakni Aryanto Sutadi[3]. Penolakan terhadap Sutedi tersebut bukan tidak beralasan, Sutedi menyebutkan bahwa Gratifikasi itu sah dan tidak melanggar hukum, dan juga Sutedi tidak secara jujur melaporkan harta kekayaannya, dan terakhir sewaktu menjabat Sutedi juga menjadi cosultan hukum.
Tidak kalah controversialnya dengan Sutedi, Zulkarnain yang dianggap cukup mumpuni oleh anggota Setgab juga melalui keputusannya telah men-SP3 kan kasus lumpur Lapindo. Demikian juga dengan Yunus Husein sebagai anggota PHM (Pemberantasan Anti Mafia Hukum) yang dibuat oleh Presiden tidak mempunyai prestasi apa-apa oleh masyarakat Indonesia kecuali hanya pencitraan, dan juga Abdullah Hehamahua yang membuat sesuatu keputusan keliru terkait masalah keptusan kode etiknya yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Keputusan ini kode etik tersebut seharusnya menyebutkan bahwa Pimpinan KPK tidak pantas menjumpai seseorang yang sedang/akan berpekara terhadap KPK.
Tentunya, melihat beberapa Profil yang di ‘agung-agungkan’ oleh Setgab sangat tidak beralasan dan tidak diterima oleh akal sehat manusia yang beradab. Dengan kata lain, sebaiknya Setgab mengurungkan niatnya untuk memilih capim KPK terhadap Sutedi, Zulkarnain, Yunus Husein dan Abdullah Hehamahua. Penutup terhadap tulisan ini ialah bahwa, apabila ternyata Setgab/DPR tetap mempertahankan dan memilih nama-nama tersebut masyarakat sesungguhnya telah melihat sandiwara yang usang.

[1] Managing Director Research Institute and Study of Riau Society dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.