Sabtu, 02 Juli 2011

Pertanggungjawaban Pidana

       Pada dasarnya dalam konsepsi teori hukum pidana, yang sering dan terus dibicarakan yaitu mengenai Tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaa. dari ketiga aspek tersebut dikembangkan ilmu hukum pidana baik terkait dengan kebijakan pemidanaan (political criminal) yang todaklah semata-mata berfungsi menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi pemidanaan harus dapat mendidik dan memperbaiki pembuat delik. [1] aspek penting dari hukum pidana yang dibicarakan dalam tulisan ini ialah mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal liability).
       Sebelum sampai kepada syarat-syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan subjek hukum atas tindak pidana, perlu juga dijelaskan mengenai actus reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum, dan juga means rea mencakup unsur-unsur pembuat delik [2]. selanjutnya untuk dapat dipertanggungjawabkan subjek hukum atas tindak pidana yang dilakukan yaitu sebagai berikut :
1. Adanya unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa)
  adanya unsur kesengajaan atau kelalaian merupakan salah satu syarat untuk dapat dipertanggungjawab-nya pembuat delik. perlu diingat bahwa sebagaian besar penulis hukum pidana menagatakan bahwa "sengaja" itu suatu pengertian yang tidak berwarna, artinya tidak perlu pembuat mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang. mengenai tentang kelalaian undang-undang tidak memberi defenisi apakah kelalaian itu, hanya memori penjelasan (memorie van Teolichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja.
       Untuk kesengajaan kemudian dibagi kembali menjadi, yaitu :
  a. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmark)
  b. sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid)
  c. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustijn).
       Untuk kelalaian, Van Hamel membagi culpa atas dua jenis, yaitu :
  a. kurang melihat kedepan yang perlu (jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau samasekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi)
  b. kurang hati-hati yang perlu (misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya)[3].
2. Tidak adanya alasan peniadaan pidana
     Tidak adanya alasan peniadaan pidana merupakan syarat untuk dapat dipertanggungjawabkannya pembuat delik. jika terdapat alasan terhadap peniadaan pidana maka pembuat delik tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-nya. adapaun yang merupakan alasan peniadaan pidana, yaitu sebagai berikut :
  a. Keadaan darurat (Pasal 48 KUHP)
  b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
  c. Menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
  d. menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
  e. Tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP)
  f. daya paksa (Pasal 48 KUHP)
  g. pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP)
  h. menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 2 KUHP)
       Sebagaimana diketahui, alasan peniadaan pidana tersebut ada yang berupa alasan pembenar dan juga berupa alasan pemaaf. untuk huruf a sampai dengan d tersebut merupakan alasan pembenar. dan untuk huruf e sampai dengan huruf h adalah merupakan alasan pemaaf.
3. Melawan Hukum
     "Melawan hukum" itu sendiri banyak pengertiannya. melawan hukum bisa juga diartikan sebagai tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), ada juga yang mengartikan bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht), dan juga ada yang mengartikan dengan, bertentangan dengan hukum objektif (tegen het objectieve recht). yang jelas, Melawan hukum merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya adalah secara jelas dirumuskan dalam rumusan delik. dalam perjalannya melawan hukum dapat dibagi kedalam :
  a. Melawan hukum formil yaitu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
  b. Melawan hukum Materiil yaitu perbuatan perbuatan yang tercela dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
 melawan hukum materil dibagi kembali kedalam :
  1. melawan hukum dalam fungsi negatif yaitu meski perbuatan memenuhi unsur tindak pidana tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana.
  2. melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meski perbuatan tidak memenuhi unsur tindak pidana, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Daftar Pustaka

1. M. Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), Penerbit Rajawali Pers, Jakarta.
2. Andi Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
3. Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar