Jumat, 13 April 2012

'GUBRI, Kamu di Mana'


‘GUBRI, Kamu di Mana’
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]

KPK mencekal Gubernur Riau M Rusli Zainal terkait penyidikan kasus suap pembangunan venue PON 2012. Politisi Golkar itu dicekal karena dianggap banyak mengetahui mengenai kasus yang berawal dari proses tangkap tangan dua anggota DPRD Riau ini. Rusli bersama dengan Kadispora Riau Lukman Abbas dicekal KPK selama 6 bulan ke depan. "Pencegahan diminta melalui surat KPK nomor R-1380/01-23/04/2012, tertanggal 10 April 2012. Pencegahan sudah efektif dan dilakukan untuk 6 bulan hingga 10 Oktober 2012," lanjut Denny. Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka kasus suap pembangunan venue tembak untuk PON XVIII. Mereka adalah, M Faisal Aswan, anggota Dewan yang tertangkap tangan menerima uang Rp 900 juta dari PT PP dan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau. Tersangka kedua adalah Muh Dunir, selaku ketua tim pansus. Dua orang lagi masing-masing Eka dari Dispora dan Rahmad dari PT PP. Mereka kini ditahan di Mapolda Riau[2].
Namun demikian tidak lantas kehilangan muka, GUBRI Rusli Zainal langsung menyatakan siap membantu KPK dalam mengusut Tindak Pidana Korupsi untuk pembangunan salah satu infrasrtuktur PON nantinya. Dalam siaran Persnya GUBRI Rusli Zainal mengatakan “"Saya justru mendukung penuh, apapun langkah KPK untuk menuntaskan kasus dugaan suap pada proyek PON. Karena pada dasarnya, sejak awal saya sudah menjanjikan bahwa PON akan terselenggara secara transparan dan taat aturan. Jadi dengan status pencekalan ini, artinya keterangan saya dibutuhkan oleh negara dan untuk itu saya siap membantu KPK mengusut kasus ini hingga tuntas,"[3].
Jika disimak dari pernyataan GUBRI tersebut bahwa, GUBRI mendukung penuh segala tindakan KPK dalam ‘memberesi’ kasus dugaan suap yang terjadi pada proyek PON di Riau. Pertanyaan saelanjutnya ialah, jika hanya berhenti terhadap, M Dunir dan M Faisal Aswan dua anggota dewan Faisal Aswan Dispora Riau dan Rahmat dari PT Pembangunan Perumahan, adalah sungguh menjadi pertanyaan besar.  Memang yang tertangkap tangan adalah 4 (empat) orang tersebut, jika hanya itu saja disini yang hanya diduga melakukan TIPIKOR sangat sulit untuk diterima secara akal akal sehat. Setidaknya langkah cerdas yang harus dilakukan KPK ialah memanggil seluruh anggota DPRD Provinsi Riau untuk dimintakan keterangannya, karena dugaan suap itu terjadi karena adanya Revisi PERDA  Nomor 6 Tahun 2012. Selanjutnya ‘GUBRI, Kamu DI Mana’, jika GUBRI merasa yakin tidak ikut-ikutan dalam dugaan suap tersebut segera langsung datang KPK untuk memberikan keterangan terhadap kasus suap dugaan proyek PON tersebut. Sebagai contoh bahwa Pemimpin yang taat terhadap hukum, jangan nantinya ketika akan dipanggil pleh KPK untuk dimintai keterangan beralasan sakit dan sabagainya. KPK, Masyarakat Riau menunggu Anda untuk mengusut tuntas dugaan suap Proyek PON.
Akhirnya, Tulisan ini memang tidak lengkap, akan tetapi, anda telah  menjalankan kewajiban sebagai pembaca yang baik.

Mengejar Aset 'Dhana'


Mengejar Aset 'Dhana'
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]

Setelah uang negara yang dikorupsi oleh  ‘gayus tambunan’ lebih kurang 100 Miliar lebih di Direktorat Jendral Pajak, kini giliran ‘dhana yang diduga menerima aliran uang haram tidakkurang dari 97 Milliar. Uang yang ditilap  oleh dhana widiyatmika tersebut merupakan suatu bentuk penghianatan terhadap rakyat dan terlebih lagi sudah sangat melanggar janjinya sebagai pegawai negeri (PNS). Apapun itu, ketika uang tersebut telah ‘ditilap’ dengan secara melawan hukum dan jelas-jelas sudah diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dan juga tindak pidana pencucian uang.
Kepala pusat penerangan hukum Kejaksaan Agung menyatakan, bahwa telah menemukan ada aliran duit yang masuk ke salah satu rekening milik dhana senilai Rp. 97 Miliar. Kapuspenkum Kejagung juga menyatakan aliran duit tersebut masuk dalam beberapa kali transaksi, namun, duit tersebut tidak sepenuhnya masih ada karena hanya berlalu –lalang ke rekening dhana[2].
Seperti diketahui, apabila memang benar-benar dhana yang seorang PNS yang mempunyai Golongan III.C bisa menilap uang rakyat di Direktorat Jendral Pajak lebih dari Rp. 97 M, bagaimana dengan golngan/atasan dhana, apakah memenag tidak pernah/melakukan perbuatan seperti ‘gayus’ dan dhana (yang diduga mengkorupsi uang pajak rakyat) di Direktorat Jendral Pajak?
Pada  dasarnya, modus yang dilakukan dhana dan juga gayus tambunan itu memiliki banyak Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan juga mereka menggunakan istrinya untuk menyalurkan uang haram[3].
Mengejar Uang Dhana Melalui UU P&PTPPU (Pencegahan&Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Seperti diketahui, salah satu cara untuk mengejar aset dhana yaitu dengan menggunakan UU No. 8 Thn 2010 tentang Pencegahan&Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kelebihan yang paling utama dari UU P7PTTPU ini ialah siapaun yang menikmati hasil dari tindak pidana pencucian uang harus turut serta mempertanggungjawabkannya. Dalam hal ini dhana sudah selayaknya terhadap dhana sudah pantas dan layak diterapkan UU P&PTPPU. Pada akhirnya, masyarakat akan menunggu, apakah dhana akan ‘dineraka-kan’?
Tulisan ini memang tidak lengkap, akan tetapi, anda telah  menjalankan kewajiban sebagai pembaca yang baik.


[1] Muhammad Nurul Huda, Pemerhati Masalah Hukum Dan Tindak Pidana Pencucian Uang
[2] Tempo, 28 Maret 2012
[3] Vivanews, 28 Maret 2012

Kamis, 12 April 2012

Penjara Paling Menakutkan Di Dunia

Penjara Paling Menakutkan Di Dunia
oleh
Muhammad Nurul Huda

Pada Dasarnya, Penjara adalah tempat pembinaan para narapidana agar nantinya setelah dibina bisa berguna bagi masyarakat. akan tetapi, penjara nampaknya adalah tempat yang menakutkan bagi narapidana. adapun 7 (tujuh) penjara paling menakutkan di dunia (versi On The Spot TRANS 7 12/4/2012), adalah :
1. Bang Kwang (Thailand).
2. Adx Florence Supermax (Colorado- Amerika Serikat).
3. Carandiru (Brasil) ditutup Pada tahun 2002.
4. Lasabaneta (Venezuela).
5. Lasante (Prancis).
6. Al Catraz Island (San Fransisco-Amerika Serikat. dibangun tahun 1920 ditutup pada tahun 1963).
7. Tadmor (Suriah. ditutup sementara pada tahun 2001 dan dibuka kembali Juni 2011)

"Wakil Rakyat, Wakil Korupsi"

"Wakil Rakyat, Wakil Korupsi"
oleh
Muhammad Nurul Huda

Adanya wakil rakyat dalam sistem pemerintahan baru tampak setelah abad ke-19. pada mulanya, wakil rakyat hadir sebagai penyambung lidah rakyat yang tertindas oleh penguasa yang zholim dan tidak memperhatikan nasib-nasib rakyat. kenyataan tersebutlah maka rakyat menuntut ada perwakilannya didalam sistem pemerintahan. sebenarnya, sistem pemerintahan yang membagi kekuasaan tersebut telah ditaran oleh Montesque yang membagi kekuasaan kedalam eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Dalam perjalanannya, ternyata pembagian kekuasaan tersebut tidak lagi murni seperti yang diajarkan oleh Montesque, karena masing-masing negara-negara telah memodifikasi pembagian kekuasaan tersebut sesuai dengan kebutuhan negara yang bersangkutan. tidaklah mengherankan jika pembagian kekuasaan ersebut sering tumpang tindih antara kewenangan satu dengan yang lainnya.

Wakil rakyat yang dikenal selama ini (konteks Indonesia) adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Provinsi/Kota/Kabupaten) yang sering mengatakan dirinya sebagai orang yang terhormat dan mempunyai martabat. pengakuan anggota dewan tersebut berbanding terbalik baik dilihat dari kinerjanya, fungsinya, dan perilakunya. adalah sangat disayangkan apabila ada wakil rakyat yang setiap kali berpidato sering mengatakan bahwa akan memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa ini demi negara?...

Tidak mengherankan, apbila banyak wakil rakyat rakyat yang beribu janji akan memperjuangkan nasib rakyat, akhirnya sibuk dengan memperjuangkan dirinya dari jerat hukum yang menghinggapinya, adalah tidak lain karena wakil rakyat telah melakukan tindak pidana korupsi secara individu maupun bersama-sama dalam setiap kesempatan yang ada. kenyataan ini bisa dilihat dari kasus suap pemilihan Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia, dan Korupsi dana-dana pembangunan. Jika demikian, Pantaskah wakil rakyat disebut Perpanjangan lidah rakyat, atau Wakil Rakyat, wakil Korupsi?

Kamis, 22 Desember 2011

Benarkah Jujur Itu dilarang !!



Benarkah Jujur Itu Dilarang !!
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Kedaulatan ditangan rakyat, dan rakyatlah menentukan segala-segalanya. Jika rayat tidak diberikan lagi menentukan arah dan kebijakan negara kedepannya, yang terjadi ialah rakyat akan menyusun strategi untuk dirinya sendiri, maka demikian tidak harus ada yang dipersalahkan jika rakyat membuat agenda-agenda sendiri yang menyimpang dari kekuasaan yang sah.
Sebenarnya kekuasaan yang sah itu memang demikian dimonopoli oleh negara. tidaklah mengherankan jika negara mengeluarkan aturan-aturan yang cendrung melindungi dirinya sendiri. Tidaklah dapat dikatakan salah jika negara melindungi dirinya dengan berbagai aturan yang sifatnya memaksa. Yang sering dipermasalahkan ialah apakah aturan untuk melindungi rakyat itu tidak di monopoli oleh oknum-oknum tertentu atas pesanan orang-orang tertentu pula.
Tidaklah salah jika rakyat menggugat aturan yang tidak mencerminkan kejujuran. Memang demikian, kejujuran di manapun sangat sulit ditemukan, akan tetapi, di Negara Indonesia kejujuran lebih sulit lagi ditemukan. Sebagai contoh, didalam sidang pengadilan banyak sekali sumpah ecek-ecek. Sumpah ecek-ecek ini rela di utarakan oleh para terdakwa korupsi (mungkin juga dalam perkara lain) untuk melepaskan dirinya dari perkara hukum yang sedang menggigitnya.
Belum lagi, ‘pendekar-pendekar hukum’ sering ‘cakar-cakaran’ dalam sidang pengadilan. Tidak jarang ‘cakar-cakaran’ didalam sidang pengadilan tersebut menghilangkan subsantasi dari permasalan hukum tersebut. Hal ini juga diperparah dengan semangat tidak adanya sifat kejujuran dalam hati manusia itu sendiri. sederet peristiwa penting dalam ketidakjujuran memang perlu diperhatikan oleh setiap mahluk yang hidup di alam dunia manapun.
Contoh lain yang sulit didapatkan dari kejujuran tersebut ialah, banyaknya rakyat yang mempertanyakan kebijakan yang negara terkesan tidak jujur dalam mengatasi berbagai persoalan rakyat, kasus Mesuji, kasus papua, pelanggaran HAM (dan masih banyak contoh yang lainnya). Jika pemerintah jujur membuka sebenarnya yang terjadi, rakyat akan selalu membantu mencarikan solusi yang terbaik untuk negara tercinta yaitu Negara Indonesia. Namun apa boleh dikata, rakyat di suruh untuk jujur sedangkan pemerintah tidak. Sungguh suatu yang tidak diperlukan dalam kesepakatan membangun negara ini.
Belum lagi, kejujuran yang paling sulit untuk dijumpai ialah di Legislatif, bagaimana tidak politikus-politikus yang ada disenayan (tidak hanya disenayan) tidak jarang saling tuduh-menuduh dalam menyelesaikan suatu masalah. Tidak jarang saling tuduh menuduh tersebut tidak diselesaikan dengan kejujuran, akan tetapi lebih diselesaikan dengan cara ‘berbisik-bisik’. Effendi Gazali mengatakan bahwa rakyat jangan mengaharapakan kejujuran dari politikus, apabila rakyat mengharapkan kejujuran dari politikus maka yang didapatkan hanyalah kekesalan. Namun demikian, saya masih berkeyakinan ada politikus yang jujur, tapi mereka-mereka ini tidak diberikan kesempatan untuk menjadi orang nomor satu ditempatnya.
Jika demikian, Tidaklah mengherankan jika rakyat bertanya, Bila demikian, apakah mungkin kejujuran itu tiba-tiba datang dari langit!! atau kejujuran enak didengar sambil minum kopi!!, atau apakah kejujuran berapakah harga yang pantas untuk setiap kejujuran tersebut!! Atau pertanyaan, apakah memang didunia ini kita tidak perlu lagi memikirkan kejujuran!! Atau Benarkah Jujur Itu Dilarang !!. semua pertanyaan patut menjadi tempat yang utama yang sistem kehidupan yang ada saat ini.
Akan tetapi, Yang terbaik untuk saat ini ialah, kejujuran itu harus dimulai dari setiap orang, akan tetapi, akan lebih baik kejujuran tersebut dimulai dari mereka-mereka yang menjadi pemimpin saat ini, akan datang dan seterusnya.
Akhirnya tulisan ini ditutup dengan perkataan, Prof. Broom, yaitu ‘bila cahaya tidak ada lagi, maka kegelapanlah yang menang’.

Mungkin saya keliru, makanya saya menulis.




[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Senin, 19 Desember 2011

Pemerintah Yang Bersandiwara


Pemerintah Yang Bersandiwara.
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
“Saya tidak bermaksud menyembunyikan fakta yang tidak saya sukai …tentang kemegahan semua hal yang dipenuhi kebijaksanaan, seperti yang menjadi kecendrungan masa kini”[2]. Disaat masyarakat sedang taat kepada pemerintah dan tunduk kepada hukum ternayata pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan yang bisa disebut tidak bisa diakui dalam dunia beradab.
Pemerintah yang dimaksud di sini ialah eksekutif, tentu saja, karena pemerintah dibidang ini-lah yang sering membuat keputusan-keputusan yang tidak jarang keputusan tersebut banyak yang merugikan masyarakat. Keputusan yang merugikan terhadap masyarakat tersebut terkadang bersifat massif dan sistematis dan ini terus dibiarkan menjadi lalat yang busuk. Apakah ini patut dipertanyakan, ya!! Tentu harus dipertanyakan karena mereka-mereka tersebut di gaji dengan pajak yang dibayar oleh rakyat. Jelas ketika telah mendapatkan gaji dari rakyat mengapa mereka tidak ‘tunduk’ kepada kepentingan rakyat.
Seringkali kepentingan-kepentingan rakyat tidak dibuat ‘manusiawi’ oleh mereka (Pemerintah) yang bekerja di instansi/lembaga-lembaga yang katanya berpendidikan, punya pengalaman dan sebagainya. Pemerintah dalam tataran ideal sudah sangat dijelaskan dalam pelajaran-pelajaran akan tetapi tataran ideal tersebut hanya dikonsumsi untuk saat studi saja, layakkah apa yang telah di didapat tidak diterapkan di dalam masyarakat atau di tempat kerja (jika anda masih berpikir tentu saja pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab oleh orang yang waras).
Contoh ketidakmampuan pemerintah yang terbaru ialah antara masyarakat dan korporasi dalam kasus Mesuji[3]. Bagaimana tidak, masyarakat di Mesuji[4] dianggap oleh pemerintah tidak mempunyai hak atas tanah apapun di tempat nenek moyang mereka. Pengeyampingan atas hak tanah masyarakat Mesuji[5] jelas-jelas menodai negara hukum yang berjiwa pancasila.
Belum lagi, terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pemerintah, adanya ‘aksi koboi’[6] terhadap rakyat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ialah sudah tidak bisa dibantah lagi oleh manusia yang mempunyai akal sehat. Bahwa yang mati di dalam kasus Mesuji[7] itu bukanlah nyamuk tapi manusia yang masih mempunyai harkat dan martabat. Tindak pidana yang dilakukan oleh oknum pihak kepolisian tersebut seharusnya tidak hanya sidang disiplin, tetapi juga harus dibawa ke peradilan umum.
Apapun itu, kasus Mesuji[8] telah terjadi. Penyelasian kasus Mesuji harus melalui jalan hukum, walaupun ada TPGF[9] Mesuji yang kurang begitu yakin ini akan diselaikan secara hukum, akan tetapi TPGF di bentuk karena menyenangkan hati rakyat saja. Seharusnya kejadian di Mesuji[10] itu tidak harus terjadi bila, Dep. Kehutanan memberikan rekomendasi kepada pemda untuk mencabut izin perusahaan yang sedang bersengketa, kedua, Pemda Sumsel dan Lampung segera mngkin mencabut izin perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat. Pihak Kepolisian seharusnya menjadi bagian terdepan dalam membela masyarakat dengan perusahaan.
Terakhir penutup dari tulisan ini, pemerintah yang bersandiwara selama ini sudah-lah, saatnya pemerintah harus bersikap tegas kepada siapapun yang bersalah. Rakyat tidak ingin penyelesaian kasus Mesuji dengan acara ‘Mencla-Mencle’.


[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
[2] Karl R. Popper, Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya. 1950

Sabtu, 03 Desember 2011

Menimang Janji Abraham Samad


Menimang Janji Abraham Samad
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1]
Hiruk-pikuk pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberansan Korupsi (KPK) sudah usai, yaitu dengan terpilihnya Abraham Samad mendapat 55 suara, Adnan Pandu Praja 51 suara, Zulkarnain 37 suara , dan Bambang Widjojanto 55 suara[2]. Selang beberapa saat setelah itu diadakankan pemilihan ketua KPK tidak disangka-sangka akhirnya terpilihlah Abraham Samad. Ucapan selamat untuk ketua KPK baru pun berdatangan, dari ICW[3], bahkan Presiden SBY sampaikan selamat untuk ketua KPK terpilih[4].
Yang mengejutkan ialah adanya kekecewaan yang sangat tidak sepantasnya dilontarkan oleh pansel capim KPK, sikap in dapat dilihat yaitu dengan mengatakan "Kita sudah mempertimbangkan, KPK perlu orang perbankan dan keuangan, makanya ada Handoyo Sudrajat dan Yunus Husein,"[5]. Apapun itu, kekesalan tersebut adalah merupakan hak berbicara tersendiri dan itu sah-sah saja.
Janji sudah terucap, Ketika janji tersebut sudah terucap saat itu pula menjadi harga yang harus diperhitungkan. Menurut saya, janji tersebut sangatlah tidak perlu, akan tetapi karena masyarakat sudah terbiasa dengan janji-janji palsu dan menyakini janji seketika itu pula rakyat melalui DPR melihat janji tersebut menjadi pemicu terpilihnya Abraham Samad sebagai pimpinan KPK dan sekaligus menjadi Ketua KPK.
Sebenarnya, untuk jabatan publik, janji-janji untuk bekerja maksimal untuk rakyat tidaklah perlu. Ketika anda tidak berhasil secara moral (bukan ukuran statistik seperti tentang turunya angka kemiskinan dan pengangguran untuk Indonesia semasa Pemerintahan SBY) sektika itu pula anda harus turun dengan, mengingat ketika tetap duduk dibangku kekuasaan, sektika itu pula masyarakat melihat orang tersebut ttidak ubahnya sebagai kotoran yang duduk di singgasana (Nietzsche). Sebut saja misalnya, di Korea Selatan, salah satu menteri mengundurkan diri ketika terjadinya mati lampu dalam beberapa jam saja, karena kesalahan anak buahnya.
Kembali kepada janji Ketua KPK saat fit&profer Test di DPR, ‘jika tidak berhasil menuntaskan kasus century dalam satu tahun akan turun dari pimpinan KPK’. Tentu saja banyak pihak yang terkejut, karena kasus century menurut laporan DPR dari opsi C melibatkan Budiono (wapres) dan Sri Mulyani (saat ini bekerja Word Bank). Yang lebih penting dari itu ialah, sekiranya janji itu tidak terbukti (tentunya tidak diharapkan) dalam jangka waktu satu tahun untuk menuntaskan kasus century terhitung saat janji diucapkan, tidak usah diingatkan untuk turun sebagai pimpinan KPK, secara moral anda (Abraham Samad) harus turun dengan hormat.