Sabtu, 02 Juli 2011

Teknik-Teknik Pencucian Uang Menurut Egmount Group

Teknik-Teknik Pencucian Uang Menurut Egmount Group
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru, akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan asyarakat termasuk kejahatan pencucian uang. Sehubungan dengan masalah itu sudah tercatat lebih dari 80 kalai konferensi internasional yang dimulai tahun 1825 hingga tahun 1970. Konferensi-konferensi tersebut membahas upaya-upaya unuk mengatasi persoalan kejahatan[2].
Kecenderungan merebaknya praktik pencucian uang dinegara atau territory yang dikatakan sebagai pusat keuangan bebbas pajak (tax haven country) merupakan suatu fenomena yang sangat actual sampai saat ini. tendensi yang demikian itu tidak terlepas dari kondisi yang berkembang dimasing-masing Negara, terutama semakin meningkat dan meluasnya tindak kejahatan yang memungkinkan tersedianya dana yang dapat dimanfaatkan oleh perorangan, korporasi, ataupun pihak-pihak lain yang memerlukannya[3].
Adapun proses pencucian uang pada dasarnya mempunyai beberapa tahap, yaitu Placement, Layering, dan Integration.
Muahmmad Yusuf, Edi M Yunus, dkk dalam National Legal Reform Program (NLRP) menyatakan Bahwa[4], Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana kedalam sistem keuangan. Layering, adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transasksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyemarkan asal-ususl dana. Dan  terakhir yaitu, Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan kedalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali tindak pidana.
Money laundering telah menjadi permasalahan yang menarik bagi dewan Eropa (Council of Europe) yang merupakan organisasi internasional pertama, dalam rekomendasi Komite Para Menteri pada tahun 1980 telah mengingatkan masyarakat internasional akan bahaya-bahayanya terhadap Demokrasi dan Role of Law[5]. Nampaknya selain berbahaya bagi demokrai dan role of law juga berdampak pada perekonomian. Berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank-bank diperkirakan mencapai nilai sebesar US $1.500 milliyar per tahun[6]. Sementara menurut Associated Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya sebagian besar diprosesmelalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 milliar per tahun[7]. Ini berarti sama dengan 5% GDP seluruh dunia[8]. Pencucian uang adalah, dimana suatu proses dengan mana satu penyembunyian atau penyamaran sumber, disposisi, pergerakan, atau uang kepemilikan untuk alasan apapun juga[9].
Berhubung money laundering merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa dan Negara maka pada gilirannya, sifat money laundering menjadi universal dan menembus batas-batas yurisdiksi Negara, sehingga masalahnya bukan saja bersifat nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional[10].
Bukan saja perlu, tetapi juga sangat menarik untuk menarik untuk mengetahui bagaimana para launderers melakukan cara-caranya dalam mengubah uang ‘haram’ menjadi uang seolah-olah ‘halal’. Pada tahun 1999, Egmount Training Working Group mengambil prakarsa untuk mengumpulkan kasus-kasus terpilih berkenaan dengan pemberantasan pencucian uang oleh para anggotanya yang terdiri atas Financial Intelligence Unit (FIU) di seluruh dunia[11].
Kompilasi tersebut dibuat dalam rangka peringatan hari ulang tahun Egmount Group pada tahun 2000. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus-kasus keberhasilan para FIU yang menkontribusikan kasus-kasus tersebut kepada Egmount Group[12].
Terhadap kasus-kasus tersebut The Egmount Group Membagai Kedalam lima Tipe yaitu[13] :
1.          Penyembunyian ke dalam struktur bisnis (Concealment Within Business Structure)
2.          Penyalahgunaan bisnis yang sah (Misuse of Legitimate Businesses)
3.          Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu, atau perantara (Use of False Identities, Document’s, or Straw Men)
4.          Pengekploitasian masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi internasional ( Exploiting International Jurisdictional Issue)
5.          Penggunaan tipe-tipe harta kekayaan tanpa nama (Use of Anonymous Asset Types)
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini Mengemukan bahwa masing-masing tipe tersebut memberikan keuntungan maupun kerugian bagi para pencucian uang, yaitu sebagai berikut[14] :
1.          Penyembunyian ke dalam struktur bisnis
Melalui tipe pertama ini, pencuci uang berupaya untuk menyembunyikan dana kejahatan mereka kedalam kegiatan normal dari bisnis atau kedalam perusahaan yang telah ada yang dikendalikan oleh organisasi kejahatan yang dimaksud. Upaya untuk memindahkan dana tersebut melalui sistem keuangan dengan mencampur dana tersebut dengan transaksi-transaksi dari bisnis yang telah ada itu, memberikan keuantungan bagi pencuci uang yang bersangkutan.
Menurut the Egmount Group dalam laporannya itu, terdapat 6 (enam) keuntungan bagi para pencuci uang apabila kegiatan pencucian uang dengan menempuh tipe ini. keuangtungan yaitu :
Pertama ialah, bahwa dengan cara ini penajahat yang bersangkutan dapat memiliki kendali terhadap perusahaan yang digunakan untuk melakukan kegiatan penccian uang itu, baik melalui Benefecial ownership atau melalui terjalinnya hubungan yang dekat dengan pemilik yang sebenaranya dari perusahaan tersebut. Kedua, bahwa lemabaga keuangan yang digunakan untuk mentranfer dana itu akan kurang curiga apabila kemudian mengetahui adanya fluktuasi yang demikian besar didalam rekening perusahaan tersebut dibandingkan apabila kegiatan yang serupa dilakukan melalui rekening pribadi. Ketiga, bahwa kegiatan bisnis memiliki alasan-alasan sah bagi pelaksanaan transfer dana kepada atau penerimanaan transfer dana dari yurisdiksi lain, dan dalam berbagai mata uang, sehingga hal demikian itu dapat menurangi tingkat kecurigaan dari lembaga-lembaga keuangan yang bersangkutan. Keempat, bahwa beberapa bisnis—seperti kelab malam (night-clubs) dan rumah makan (restaurant)—bertransaksi terutama dengan uang tunai dan lemabaga-lembaga keuangan akan kurang curiga apabila melihat ada pihak yang melakukan penyimpangan uang tunai yang besar. Kelima, hubungan antara para penjahat dengan perusahaan yang bersangkutan dapat disembunyikan melalui struktur kepemilikan perusahaan, karena apabila rekening tersebut berbentuk personal bank accunt, maka dokumen-dokumen identifikasi khusus dari pribadi-pribadi pembuka rekening tersebut akan diminta oleh lembaga-lembaga keuangan dimana rekenig itu dibuka. Keuantungan Terakhir, adalah bahwa di beberapa Negara biaya untuk mendirikan perusahaan tidak mahal, yaitu hanya beberapa dollar saja.
2.          Penyalahgunaan Bisnis Yang Sah
Dalam tipe ini, pencuci uang menggunakan bisnis yang telah ada atau perusahaan yang telah berdiri untuk menjalankan proses pencucian uang tanpa perusahaan yang bersangkutan mengetahui kejahatan yang menjadi sumber dana tersebut.
Keuantungan utama yang diperoleh dari pencuci uang dari bisnis lain yang tidak mengetahui asal usul dana yang digunakan dalam kegiatan itu, adalah bahwa dana tersebut akan terlihat sekan-akan memang berasal dari perusahaan yang bersangkutan, dan bukan berasal dari pemiliki yang sesungguhnya yang adalah penjahat. Dalam kegiatan ini sering digunakan tenaga professional seperti lawyers dan accountans.
3.          Penggunaan Identitas palsu, Dokumen Palsu, dan Penggunaan Perantara
Penggunaan dokumen-dokumen identitas yang palsu untuk membuka rekening-rekening bank atau melaksanakan transaksi-transaksi yang dapat digunakan untuk maksud meniadakan dapat terlihat adanya hubungan antara asset itu dengan penjahat yang bersangkutan. Dokumen palsu dapat pula digunakan oleh para pencuci uang untuk menunjang upaya-upaya pencucian yang mereka lakukan. Dokumentasi palsu yang dimaksud antara lain berupa pembuatan faktur (false invoicing), tanda terima (receips) palsu, dan dokumen perjalanan (travel documentation) palsu yang digunakan untuk membuktikan kebenaran mengenai dana yang disetorkan kepada lembaga-lembaga keuangan yang bersangkuta.
4.          Pengekploitasian Masalah-Masalah yang Menyangkut Yurisdiksi Internasional
Pencucian uang dapat pula dilakukan dengan mengekploitasi perbedaan-perbedaan peraturan dan persyaratan yang berlaku antara Negara satu dengan Negara lain. Perbedaan tersebut menyangkut ketentuan mengenai rahasia bank, persyaratan identifikasi (untuk membuka rekening di bank), persyaratan transpransi (disclosure requirements), ketentuan perpajakan, persyaratan pendirian perusahaan, dan pembatasan lalu lintas devisa (currency restrictions). Makin berhasil pencuci uang membuat investigator (petugas penyelidik dan penyidik) sulit untuk dapat membuktikan hubungan antara penjahat dengan asset mereka, maka makin sulit penyelidikan yang dilakukan oleh penegak hukum untuk berhasil. Ketidaklaziman yurisdiksi bagi para penyidik, kesulitan bahasa, pembatasan-pembatasan untuk dapat memperoleh informasi yang tersedia, dan baiaya yang mahal untuk melakukan investigasi diluar negeri, dapat menjadi factor penghalang bagi para investigator. Sekalipun letak yurisdiksi luar negeri yang bersangkutan adalah sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan bagi investigator yang bersangkutan melakukan investigasi keuangan (financial investigation), namun pada umumnya berlarut-larutnya proses investigasi itu dapat memberikan keuntungan kepada para pencuci uang yang bersangkutan untuk dapat menggunakan kelambatan untuk membingungkan jejak pemeriksaan (audit trail).
5.          Pengunaan Harta Kekayaan Tanpa nama
Tipe yang terakhir ini adalah yang paling sederhana. Para penjahat menaydari bahwa makin sedikit para pencuci uang meninggalkan jejak pemeriksaan (audit trail) yang dapat dilacak oleh para investigator, yaitu jejak yang ditinggalkan oleh kegiatan pencuci uang yang dilakukan oleh para penjahat itu, maka makin kecil kemungkinan investigasi keuangan (financial investigation) dapat berhasil mengungkapkan atau membuktikan hubungan antara penajahat itu dengan asetnya.
Contoh baik yang dapat dikemukakan sehubungan dengan asset yang anonim itu ialah asset yang berupa uang tunai, barang konsumsi (consumers goods), perhiasan, logam mulia, beberapa jenis sistem pembayaran elektronik (electronic payment system), dan beberapa produk finansial (financial product) seperti rekening bank yang dibuka tanpa nama tetapi dengan kode nomor.





[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
[2] M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, BayuMedia Publishing Cetakan Kedua, Malang, 2004
[3] Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tigalima Cet 1, Jakarta, 2008
[4] Muahmmad Yusuf, Edi M Yunus, dkk, Ikhtisar Ketentuan dan Penceahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Editor: Sebastian Pompe, Gregory Churcil, dkk, The Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, 2011
[5] Ibid
[6] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika Cetakan ketiga, Jakarta, 2010,
[7] Loc.Cit
[8] Loc.Cit
[9] Harmadi, Kejahatan Pencucian Uang Modus-Modus Pencucian Uang di Indonesia (Money Laundering), Setara Press, Malang, 2011
[10] N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan Edisi Revisi, Jala Permata Cetakan Ketiga, Jakarta, 2008
[11] Sutan remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti Cetakan II, Jakarta, 2007
[12] Loc.Cit
[13] Ibid
[14] Ibid

Pertanggungjawaban Pidana

       Pada dasarnya dalam konsepsi teori hukum pidana, yang sering dan terus dibicarakan yaitu mengenai Tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaa. dari ketiga aspek tersebut dikembangkan ilmu hukum pidana baik terkait dengan kebijakan pemidanaan (political criminal) yang todaklah semata-mata berfungsi menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi pemidanaan harus dapat mendidik dan memperbaiki pembuat delik. [1] aspek penting dari hukum pidana yang dibicarakan dalam tulisan ini ialah mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal liability).
       Sebelum sampai kepada syarat-syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan subjek hukum atas tindak pidana, perlu juga dijelaskan mengenai actus reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum, dan juga means rea mencakup unsur-unsur pembuat delik [2]. selanjutnya untuk dapat dipertanggungjawabkan subjek hukum atas tindak pidana yang dilakukan yaitu sebagai berikut :
1. Adanya unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa)
  adanya unsur kesengajaan atau kelalaian merupakan salah satu syarat untuk dapat dipertanggungjawab-nya pembuat delik. perlu diingat bahwa sebagaian besar penulis hukum pidana menagatakan bahwa "sengaja" itu suatu pengertian yang tidak berwarna, artinya tidak perlu pembuat mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang. mengenai tentang kelalaian undang-undang tidak memberi defenisi apakah kelalaian itu, hanya memori penjelasan (memorie van Teolichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja.
       Untuk kesengajaan kemudian dibagi kembali menjadi, yaitu :
  a. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmark)
  b. sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid)
  c. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustijn).
       Untuk kelalaian, Van Hamel membagi culpa atas dua jenis, yaitu :
  a. kurang melihat kedepan yang perlu (jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau samasekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi)
  b. kurang hati-hati yang perlu (misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya)[3].
2. Tidak adanya alasan peniadaan pidana
     Tidak adanya alasan peniadaan pidana merupakan syarat untuk dapat dipertanggungjawabkannya pembuat delik. jika terdapat alasan terhadap peniadaan pidana maka pembuat delik tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-nya. adapaun yang merupakan alasan peniadaan pidana, yaitu sebagai berikut :
  a. Keadaan darurat (Pasal 48 KUHP)
  b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
  c. Menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
  d. menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
  e. Tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP)
  f. daya paksa (Pasal 48 KUHP)
  g. pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP)
  h. menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 2 KUHP)
       Sebagaimana diketahui, alasan peniadaan pidana tersebut ada yang berupa alasan pembenar dan juga berupa alasan pemaaf. untuk huruf a sampai dengan d tersebut merupakan alasan pembenar. dan untuk huruf e sampai dengan huruf h adalah merupakan alasan pemaaf.
3. Melawan Hukum
     "Melawan hukum" itu sendiri banyak pengertiannya. melawan hukum bisa juga diartikan sebagai tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), ada juga yang mengartikan bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht), dan juga ada yang mengartikan dengan, bertentangan dengan hukum objektif (tegen het objectieve recht). yang jelas, Melawan hukum merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya adalah secara jelas dirumuskan dalam rumusan delik. dalam perjalannya melawan hukum dapat dibagi kedalam :
  a. Melawan hukum formil yaitu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
  b. Melawan hukum Materiil yaitu perbuatan perbuatan yang tercela dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
 melawan hukum materil dibagi kembali kedalam :
  1. melawan hukum dalam fungsi negatif yaitu meski perbuatan memenuhi unsur tindak pidana tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana.
  2. melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meski perbuatan tidak memenuhi unsur tindak pidana, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Daftar Pustaka

1. M. Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), Penerbit Rajawali Pers, Jakarta.
2. Andi Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
3. Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.

Tindak Pidana Materiil dan Tindak Pidana Formil

       Umumnya rumusan-rumusan tindak pidana didalam KUHP merupakan rumusan-rumusan dari apa yang disebut voltooid delict, yaitu tindak pidana yang telah selesai dilakukan oleh pelakunya. berkaiatan dengan itu maka dibagi-lah tindak pidana itu kedalam tindak pidana materiil dan tindak pidana formil. 
    
       Adapun P.A.F. Lamintang memberikan pengertian dengan : 
1. Tindak Pidana Materiil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. [1]

       Sedangkan Sudarto, memberikan pengertian dari tindak pidana materiil dan tindak pidana formil, yaitu sebagai berikut :
1. Tindak Pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). tindak pidana ini baru dianggap selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki (dilarang) tersebut benar-benar terjadi.
2. Tindak Pidana Formil adalah merupakan tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana tersebut (tanpa Melihat akibatnya) [2].

Daftar Pustaka
1. P.A.F. Lamintang, 1997,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
2. Sudarto, 1989, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.

Equality Before The Law

       Istilah Equality before the law sesungguhnya lazim digunakan dalam hukum tata negara. alasannya, karena hampir setiap negara mencantumkan masalah ini dalam konstitusinya. Adapun alasan mencantumkan equality before the law dalam konstitusi adalah karena hal ini merupakan suatu norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara. jika dalam konstitusi hal ini dicantumkan, maka konsekwensi logisnya penguasaha dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara, sebab bila asas ini tidak dilaksanakan berarti terjadi penyelewengan dari konstitusi meskipun tampaknya bukan merupakan pelanggaran yang terang-terangan, namun sangat dirasakan rakyat betapa ketimpangan hukum merupakan siksa batin yang berkepanjangan.
       Lebih Lanjut, Persamaan itu terdiri dari :
1. Persamaan Alamiah (natural equality) : adalah persamaan yang dibawa dari lahir yang dimiliki oleh manusia. manusia punya rasio, sehingga natural equality berarti bahwa manusia adalah sama karena memiliki akal/rasio yang membedakan manusia dan binatang.
2. Persamaan Hak Sipil (civil equality) : adalah hak sipil yang sama bag semua anggota masyarakat. pengakuan akan persamaan ini bahwa setiap warga negara diperlakukan sama dalam menikmati hak-hak dan perlindungan. Contohnya persamaan dihadapan hukum.
3. Persamaan Politik (political equality) : adalah hak yang sama bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan negara. misalnya memberikan hak untuk ikut memilih dalam pemilihan umum. persamaan politik ini dapat dikatakan merupakan basis dmokrasi (political equality is the basic of democracy)
4. Persamaan Ekonomi (economic equality) : adalah persamaan hak dalam meningkatkan taraf perekonomiannya. persamaan ini dititik beratkan pada persamaan kesempatan dan bukan pembagian hasil sebab sedikitnya banyak hasil bergantung pada usaha setiap orang dalam menggunakan kesempatan yang digunakan dalam meningkatkan taraf ekonomi.
       Namun bagi J.E Sahetapy, bentuk equality tersebut masih harus dilengkapi dengan :
1. Social Equality  sendiri meliputi
    a. ethnic equality; dan
    b. cultural equality.
2. Religious Equality


Sumber : Prof. Dr. H. Heri Tahir, S.H., M.H. dalam Bukunya, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem    Peradilan Pidana Indonesia. 2010.

Jumat, 01 Juli 2011

Alasan Peniadaan Pidana

1. Alasan Peniadaan Pidana dengan menggunakan alasan pembenar
    a. Keadaan Darurat (pasal 48 KUHP)
    b. Pembelaan Terpaksa (pasal 49 ayat 1 KUHP)
    c. Menajalankan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 50 KUHP)
    d. Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP)

2. Alasan Peniadaan Pidana dengan menggunakan Alasan Pemaaf.
    a. Tak Mampu Bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP)
    b. Daya Paksa (Pasal 48 KUHP)
    c. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP)
    d. Menajalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah (Pasal 51 ayat 2 KUHP)

Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berganda

1. Tindak Pidana Tunggal yaitu tindak pidana yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau tindak pidana-tindak pidana yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang dalam undang-undang.

2. Tindak Pidana Berganda yaitu tindak pidana yang baru merupakan tindak pidana, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan atau tindak pidana-tindak pidana yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut suatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulang kali melakukan tindakan (yang sama) yang dilarang oleh undang-undang.

Tindak Pidana terhadap Larangan-larangan

1. Tindak Pidana Commisionis yaitu : tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang.

2. Tindak Pidana Ommisionis yaitu : tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang.

3. Tindak Pidana Commisionis Per Ommisionis Commisa yaitu : tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang, tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat.