DELIK
EKONOMI[1]
BAB I
KETENTUAN UMUM TINDAK
PIDANA EKONOMI
A.
Pengertian
Hukum Pidana Ekonomi.
Beberapa
Sarjana hukum memberikan pengertian hukum pidana ekonomi sebagai berikut :
1.
Andi Hamzah : Hukum Pidana ekonomi adalah bagian
dari hukum pidana yang merupakan corak tersendiri, yaitu corak ekonomi.
2.
Moch. Anwar:
Hukum Pidana ekonomi adalah sebagai sekumpulan peraturan bidang ekonomi yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang keharusan/kewajiban dan atau larangan yang diancam dengan hukum pidana.
3.
Vervloet M Yusuf: Tindak Pidana ekonomi adalah
perbuatan seseorang yang melanggar peraturan pemerintah dalam lapangan ekonomi.
4.
Mardjono Reksodiputro: Kejahatan Ekonomi adalah
setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang
ekonomi dan di bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana.
5.
Sunaryati Hartono: mengemukakan bahwa economic
crime lebih luas dari bussines crime, karena kerugian yang
ditimbulkan bukan saja secara ekonomi tetapi juga secara sosial bahkan bisa
berdampak politik. Istilah economic cri--me
berbeda dengan istilah economic criminality. Istilah economic crime
menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan atau
aktivitas ekonomi (dalam arti luas). Sedangkan economic criminality
menunjuk kepada kejahatan-kejahatan konvensional yang mencari keuntungan yang
bersifat ekonomis misalnya pencurian, perampokan, pencopetan, pemalsuan, atau
penipuan.
Dalam
karangan Van Poelje yang berjudul “Een nieuw Kleed voor het fiscaal
strafrecht”, hukum pidana ekonomi itu bukan hukum pidana khusus, alasannya
ialah bahwa artikel 91 WvS Belanda ( = 103 KUHP Indonesia ) yang berbunyi:
“aturan kedelapan bab yang pertama dalam buku satu, boleh di berlakukan
terhadap perbuatan yang atasnya ditentukan pidana menurut Undang-Undang,
peraturan umum atau ordonansi kecuali Undang-Undang menentukan lain”.
Selanjutnya Van Poelje mengatakan, peraturan hukum pidana ekonomi tidak ada
yang dengan tegas dan jelas menunjuk asas-asas hukum pidana lain dari buku satu
WvS (KUHP Indonesia) aturan umum.
Ciri
penting dari economic crime ialah proses pemilikan harta benda dan
kekayaan secara licik atau dengan penipuan beroperasi secara diam-diam
(tersembunyi) dan sering dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial
dan memiliki ekonomi yang tinggi.
Membicarakan
suatu konsep kejahatan di bidang ekonomi hanya dengan dasar kehidupan suatu
negara hanya menghasilkan sesuatu yang tidak memuaskan, sebab persoalan ekonomi
merupakan bagian antar bangsa dalam kerangka globalisasi ekonomi. Oleh karena
itu, kejahatan ekonomi sudah di bicarakan dalam Guiding Principles For crime
Prevention and Criminal Justice In the Context of Development and New Economic
Order, yang diadopsi oleh the seventh Crime congress, Milan, September 1985
dan disahkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusinya Nomor 40/32.
B.
Unsur-Unsur
Tindak Pidana Ekonomi
1.
Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi
yang pada dasarnya bersifat normal dan sah.
2.
Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan
kepentingan negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya kepentingan
induvidual.
3.
Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan
bisnis yang merugikan perusahaan lain atau individual lain.
C.
Bentuk-Bentuk
Penyimpangan Ekonomi
Berdasarkan Laporan PBB ke-VI
Tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders
(Pencegahan kejahatan dan Penanggulangan Pelaku Kejahatan) di Caracas Tahun
1980, di identifikasikan bentuk-bentuk penyimpangan ekonomi, yaitu:
1. Mengelakkan Pengenaan
Pajak;
2. Penipuan Bea-Cukai
dan Kredit;
3. Korupsi Dana Publik;
4. Penggelapan dana-dana
Negara;
5. Pelanggaran peraturan
mata uang;
6. Spekulasi dan menipu
dalam transaksi pertahanan;
7. Kejahatan lingkungan;
8. Melampaui batas
penetapan harga;
9. Melebihi batas
faktur;
10. Pemerasan tenaga
kerja;
11. Import dan ekspor
barang mewah di bawah standar dan bahkan berbahaya.
D.
Tolak
Ukur Kriminalisasi Kejahatan Ekonomi.
1. Perbuatan tersebut
bertentangan dengan moral di bidang ekonomi, dan merugikan kehidupan ekonomi
yang merusak sistem ekonomi suatu masyarakat, sudah tentu berdampak secara
individual kepada anggota masyarakat menderita kerugian.
2. Melanggar atau
menyerang kepentingan politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.
3. Pada dasarnya pelaku
dibidang TPE tidak merasa melakukan TPE, karena mereka dalam rangka melakukan
kegiatan bisnis.
4. Didasarkan pada
kesalahan pelakunya, karena melakukan kejahatan yang melebihi batas pelanggaran
etika di bidang ekonomi/bisnis.
E.
Menurut
Supanto, Tindak Pidana Ekonomi dilihat dari bentuknya ada dua, yaitu:
1. Kejahatan yang
dilakukan oleh kalangan pengusaha bersamaan kegiatan bisnis yang biasa
dilakukannya.
2. Perbuatan
perdagangan/produksi barang dan jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang
ilegal/tidak sah.
F.
Perumusan
Kejahatan Ekonomi Dalam KUHP dan UU No. 7 Drt Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana
Ekonomi.
A.
Di Dalam KUHP
Ketentuan KUHP yg dapat dikaitkan
dengan tindak pidana dibidang ekonomi di antaranya adalah :
1. Pasal 202 : membuat
perlengkapan air minum untuk umum membahayakan nyawa atau kesehatan.
2. Pasal 204 dan 205 :
menjual, menawarkan, menyerahkan barang yang membahayakan nyawa atau
keselamatan orang.
3. Pasal 211 : dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa pejabat
4. Pasal 216 : tdk
menuruti perintah UU oleh pejabat.
5. Pasal 244-251 :
pemalsuan mata uang
6. Pasal 253 : pemalsuan
materei
7. Pasal 254, 256, 257 :
Pemalsuan Merek
8. Pasal 255 : Pemalsuan
Tanda tera
9. Pasal 258 : Pemalsuan
ukuran/takaran, anak timbangan.
10. Pasal 263, 264 :
memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, perikatan.
11. Pasal 266 :
memasukkan data palsu ke suatu akta otentik.
12. Pasal 322 : Membuka
rahasia jabatan.
13. Membuka rahasia
mengenai perusahaan dagang, kerajinan.
14. Pasal 362 : Pencurian
15. Pasal 372 -375 :
Penggelapan.
16. Pasal 378, 379 :
Perbuatan curang.
17. Pasal 380 :
memalsukan atau nama atas hasil kesasteraan, keilmuan, kesenian.
18. Pasal 381, 382 :
melakukan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi
19. Pasal 382 bis :
melakukan persaingan curang untuk mendapatkan, memperluas hasil dagang atau
perusahaannya untuk menyesatkan khalayak umum.
20. Pasal 383 : melakukan
perbuatan curang kepada pembeli.
21. Pasal 386 : menjual,
menawarkan makanan, minuman, obat palsu.
22. Pasal 392 :
mengumumkan daftar atau neraca tidak benar.
23. Pasal 393 :
memasukkan atau mengeluarkan barang dari atau ke luar Indonesia berasal dari
bungkus palsu, merek palsu atau milik org lain.
24. Pasal 396-406 :
tindak pidana terkait dengan kepailitan.
25. Pasal 480 :
Penadahan.
Beberapa KUHP Negara asing
menentukan pengaturan secara khusus maupun tidak mengenai tindak pidana
dibidang ekonomi, seperti :
1. Albania : Crime
Againts Economic Activities.
2. Bulgaria : Crime
Againts the Economy.
3. China : Crime
Undermining Order of Socialist Market Economy.
4. Latvia : Criminal
Offence of an Economic Nature.
B.
Di Dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955
Perumusan tindak pidana di bidang
ekonomi secara khusus dalam perundang-undangan Indonesia diatur dalam UU No. 7
Drt Tahun 1955 (UUTPE), sebagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP
secara khusus mengatur TPE. Pengaturan dalam UU tersebut mengenai TPE
dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. TPE berdasarkan Pasal
1 ayat 1e UUTPE, yang menunjuk perbuatan pelanggaran berbagai ordonansi, wet,
UU. Peraturan perundang tersebut berubah-ubah, dan diubah sesuai dengan
perkembangan.
2. TPE berdasarkan Pasal
1 ayat 2e UUTPE yaitu pelanggaran berkaitan dengan pelaksanaan perdailan, dan
hukuman menurut UUTPE.
3. TPE berdasarkan Pasal
1 ayat 3e UUTPE meliputi tindak pidana yang diatur dalam UU di luar UUTPE dan
dinyatakan sebagai TPE oleh UU yang bersangkutan.
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA PELAKU
KEJATAHAN EKONOMI
Perkembangan Sistem Petanggungjawaban Pidana.
Secara teoritis terdapat tiga teori
atau system pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum korporasi, yaitu teori identifikasi, teori stric liability dan teori vicariousliability.
1. Teori identifikasi
Dalam rangka mempertanggung jawabkan
korporasi secara pidana, di Negara Anglo saxon seperti di Inggris dikenal
konsep direct corporatecriminal liability atau pertanggungjawaban pidana
korporasi secara langsung. Menurut doktrin ini, korporasi dapat melakukan
sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat
dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Dalam keadaan
demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu,
pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.
2. Teori Strict Liability
Strict Liability diartikan sebagai
suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada siri
pelaku terhadap satu atau lebih dari actus. Strict Liability merupakan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan ( liability without fault ), yang
dalam hal ini sipelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika ia telah
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam
undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin sipelaku.
3. Teori Vicarious
Liability
Vicarious Liability diartikan oleh Henry
Black sebagai indirect legalresponsibility, the liability of an employer for
the acts of an employee, of a principle for torts and contracts of an agent
( pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung,
pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban
principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak ). Berdasarkan pengertian
ini Vicarious Liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut
harus mempunyai hubungan, yaitu atasan dan bawahan atau hubungan majikan dan
buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja tersebut
harus masih dalam ruang lingkup pekerjaanya. Secara singkat pertanggungjawaban
ini disebut pertanggungjawaban pengganti.
Menurut Supanto, Pertanggungjawaban dari
kejatahan korporasi ada 3 kemungkinan :
1. Orang yang bersalah
dalam tindak pidana, sesuai dengan ajaran tentang kesalahan yakni : asas tiada
pidana tanpa kesalahan. Yang mempertanggungjawabkan tersebut dicari orang yang
bersalah.
2. Korporasi yang
dipertanggungjawabkan, berdasarkan ajaran strict liability. Disini tidak perlu
memperhatikan bentuk kesalahannya kesengajaan atau kelalaian.
3. Baik orangnya maupun
perusahaannya. Orang yang bersalah dimungkinkan dipertanggungjawabkan dan
dipidana sesuai dengan KUHP, sedangkan Perusahaannya dikenai kewajiban
pengganti kerugian.
BAB III
PENETAPAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK
PIDANA EKONOMI
1.
Sanksi Pidana
A.
Pokok
a)
Penjara;
b)
Kurungan;
c)
Denda Kurungan Pengganti denda.
B.
Tambahan
a)
Menunjuk Pasal 10 KUHP;
b)
Pencabutan Izin Usaha;
c)
Larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris;
d)
.Penghentian kegiatan;
e)
Perampasan barang tertentu;
f)
Pembayaran ganti rugi;
g)
Kewajiban penarikan barang yang beredar;
h)
Pengumaman putusan hakim;
i)
Pencabutan usaha izin industri;
j)
Pemusnahan barang.
2.
Sanksi Administratif.
a.
Peringatan tertulis/tertulis;
b.
Denda;
c.
Pembatasan kegiatan usaha, Pembekuan izin usaha,
pencabutan izin usaha,pembatalan persetujua;
d.
Pembatalan pendaftaran;
e.
Ganti rugi;
f.
Sanksi disiplin kepegawaian;
g.
Pembubaran korporasi diikuti likuidasi.
3.
Tindakan Tata Tertib
Menurut Andi Hamzah tindakan tata
tertib yang dimaksud dalam UU Drt No. 7 Tahun 1955 tersebut adalah :
1. Penutupan sebagian
atau seluruh perusahaan si tersangka di mana TPE itu disangka telah dilakukan;
2. Penempatan tersangka
dibawah pengampuan;
3. Pencabutan seluruh
atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka
berhubung dengan perusahaan itu;
4. Supaya tersangka
tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
5. Supaya si tersangka
berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah itu yang dapat disita
dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu.
Perbedaan Sanksi Pidana
dengan Sanksi administrasi:
1.
Sanksi administrasi ditujukan pada perbuatan
pelanggarnya, sedangkan sanksi pidana ditujukan pada si pelanggar dengan
memberi hukuman berupa nestapa.
2.
Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan
pelanggar dihentikan, dan bersifat reparatoir artinya memulihkan pada keadaan
semula.
3.
Sanksi administrasi diterapkan oleh pejabat tata
usaha negara tanpa harus melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana
hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses peradilan.
BAB IV
TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN
A.
Pengertian
Tindak Pidana Penyelundupan
Penyelundupan berasal dari kata
selundup. Dalam kamus besar bahasa indonesia, yang diterbitkan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1989, kata selundup diartikan
menyelunduk, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi atau secara gelap (tidak
sah). Sedangkan penyelundupan diartikan pemasukan barang secara gelap untuk
menghindari bea masuk atau karena menyelundupkan barang terlarang.
dalam kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary kata Smuggle diartikan “to import or exsport secretly contrary to the law
and especially without paying duties import or exsport something in violation
of the customs law”. (mengimpor atau mengekspor secara gelap,
berlawanan/tak sesuai dengan hukum dan khususnya menghindari kewajiban membayar
atas suatu impor atau ekspor yang merupakan pelanggaran peraturan pabean).
Dalam kamus bahasa
Belanda-Indonesia, smokkel diartikan penyelundupan. Pasal 7 Ordonansi Bea (OB) mencantumkan kata
penyelundupan dengan “peagawai-pegawai berwenang jika menyangka seorang
melakukan pelanggaran, hak di luar maupun di tempat kedudukannya, memeriksa
segala alat-alat pengangkutan, barang-barang yang di muat di atasnya atau di
dalamnya dan barang-barang yang sedang diangkut, untuk mana memerintahkan
kapal-kapal berlabuh di sungai-sungai dan di tasik-tasik, memerintahkan
berhenti alat-alat pengangkutan lain atau orang-orang yang sedang mengangkut,
memerintahkan membongkar sesuatu alat pengangkutan atas biaya yang bersalah dan
mempergunakan segala usaha paksa yang berfaedah untuk melakukan pemeriksaan dan
untuk mencegah penyelundupan.
Keppres No. 7 Thn 1967 memuat arti
penyelundupan sebagai berikut : “penyelundupan ialah delik yang berhubungan
dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor),
atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke Indonesia (impor)
B.
Jenis-Jenis
Penyelundupan
1. Penyelundupan Fisik
Umumnya Para sarjana telah sepakat,
bahwa yang dimaksud dengan penyelundupan fisik dalam Pasal 26b RO adalah
“barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor barang-barang atau berupaya
mengimpor atau mengekspor barang-barang tanpa mengindahkan akan
ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini dan dari regelemen-regelemen yang
terlampir padanya atau yang mengangkut ataupun yang menyimpan barang-barang
bertentangan dengan sesuatu ketetuan larangan yang ditetapkan berdasarkan ayat
kedua Pasal 3.
Kata Berupaya (trachten) dalam Pasal
26b RO tersebut bukanlah Poging (mencoba). Upaya dalam kamus besar bahasa
Indonesia diartikan mencari upaya (akal), berusaha, beriktiar.
Sedangkan Pasal 3 ayat (2) OB yang
ditunjuk Pasal 26b berbunyi : “dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dari
ordonansi ini dan regelemen-regelemen yang terlampir padanya tentang
pengangkutan ke dan dari pelabuhan, maka menteri keuangan dengan semufakat
menteri dalam negeri, berhak untuk menunjuk jalan-jalan daratan atay perairan
atau daerah-daerah, di mana barang-barang yang di tunjuknya dilarang diangkut
dan/atau dalam sebuah bangunan atau di pekarangannya, jika tidak dilindungi
dengan dokumen dari pegawai-pegawai bea dan cukai atau dari jawatan-jawatan
lain yang ditunjuknya.
2. Penyelundupan
Administrasi
Yang
dimaksud dengan penyelundupan administrasi adalah yang diatur dalam Pasal 25
ayat (II)c OB yaitu “memberitahukan salah tentang jumlah, jenis atau harga
barang-barang dalam pemberitahuan-pemberitahuan impor, penyimpanan dalam
entreport, pengiriman ke dalam atau ke laur daerah pabean atau pembongkaran
atau dalam sesuatu pemberitahuan tidak menyebutkan barang-barang yang dikemas
dengan barang-barang lain.
Jika
barang-barang tersebut masih di daerha pabean, dikategorikan sebagai
penyelundupa administrasi, karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau
harga barang yang dilaporkan, dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara
utuh kewajiban-kewajiban membayar. Tetapi jika telah ada dipelabuhan, maka
dikategorikan sebagai penyelundupan fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 26b
OB.
C.
Tata
Laksana Ekspor-Impor
1.
Tata
Laksana Ekspor
Umumnya
tata laksana ekspor berlaku secara temporer, artinya dapat selalu berubah
sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat dan kebijaksanaan Pemerintah.Pada
dasarnya barang-barang ekspor dibebaskan dari pemeriksanaan duane.
Barang-barang ekspor dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a)
barang bebas ekspor;
b)
barang yang ekspornya dikendalikan;
c)
barang yang dikenakan pajak ekspor (PE) dan/atau
pajak ekspor tambahan (PET).
2.
Tata
Laksana Impor
a.
Dasar
Hukum
I.
Inpres No 4 tahun 1985;
II.
SKB menteri Keuangan, Perdagangan dan Gubernur BI;
a)
Nomor 656/Kpb/IV/85.
b)
Nomor 329/KMK.05/1985.
c)
Nomor 18/2/KEP/GBI.
III.
KepmenKeu Nomor 337/KMK.01/1985;
IV.
Relegemen A dan reglemen B OB.
b.
Tata
Niaga Impor
1.
Dengan dilampiri invoice
(faktur) dan packing list (perincian
isi tiap koli), diajukan permohonan kepada surveyor di tempat asal barang untuk
pemeriksaan barang-barang.
2.
Setelah barang-barang dimuat ke atas kapal maka
nahkoda menerbitkan B.o.L (bill of
lading), yakni suatu surat bertanggal dan ditandatangani nahkoda kapal
menerangkan bahwa nahkoda telah menerima barang-barang tertentu (tercantum
dalam surat) untuk diangkut ke tempat tujuan tertentu (disebut kota tujuan),
dan akan menyerahkan kepada orang yang tertera dalam surat.
3.
Dari semua B.o.L nakhkoda kapal memuat manifest yang
memuat semua barang dagangan yang ada dalam kapal.
4.
Setelah kapal tiba di daerah pelabuhan tujuan,
nakhoda menyerahkan AA (Algemene
Aangifte) atau PU (pemberitahuan umum).
5.
Dalam hal impor menggunakan L/C:
a.
Bank di luar negeri mengirimkan B.o.L dan LKP
(laporan keuangan Perusahaan)
kepada bank devisa di dalam negeri.
b.
Pada L/C divantumkannya syarat tambahan bahwa bank
di luar negeri hanya dibenarkan
membayar pada eksportir setelah bank memperoleh LKP yang diterbitkan surveyor.
c.
Setelah AA diserahkan dan mendapat persetujuan untuk
bongkar, barulah barang dapat diturunkan
dari kapal.
6.
Dalam hal Impor tidak menggunakan L/C:
a.
Importir memberitahukan kepada eksportir dan
surveyor tentang kewajiban
pemeriksaan atas barang-barang yang akan di impor.
b.
Surveyor menyerahkan LKP kepada bank devisa dalam
negeri
c.
LKP berisi keterangan tentang jenis dan mutu barang,
volume barang, harga, biaya
pengangkutan, nomor pos tarif, tarif bea masuk,
dan PPN.
d.
Importir menghitung sendiri besarnya bea masuk, PPN,
PPh, dan pungutan sah lainnya serta
melunasi pada bank devisa.
e.
Setelah menerima pembayaran dari importir, maka bank
devisa menyerahkan B.o.L., LKP,
serta bukti pembayaran bea masuk dan PE (pajak ekspor)/PET (pajak ekspor tambahan)
kepada si importir.
f.
Pada waktu barang diangkut dari pelabuhan,
barang-barang tersebut harus
dilengkapi dengan dokumen-dokumen, yakni : daftar bongkar, PPUD (pemberitahuan pemasukan barang untuk dipakai) dan lain-lain tersebut diatas.
g.
Barang penumpang yang tidak diangkut bersama-sama
dengan penumpang disamakan dengan
barang niaga.
h.
Barang-barang khusus memerlukan sertifikat
impor/ekspor dari berwenang.
Misalnya mengimpor barang narkotika, memerlukan izin Menteri kesehatan dan menteri perdagangangan.
c.
Entrepot
Entrepot diatur dalam
Bab IV reglemen A (lampiran OB) mulai Pasal 19 sampai dengan Pasal 26.
Pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang-barang impor ke/dari entrepot
umum (pasal 19) dan entrepot partikelir (pasal 25) yang telah mendapat izin
untuk itu, merupakan tugas dan tanggungjawab Kepala Bidang entrepot Bea dan
Cukai.
Pengeluran dari
entrepot dilakukan dengan jalan:
1.
Impor untuk dipakai, maka diajukan PPUD;
2.
Pengiriman keluar daerah pabean (diangkut terus atau
diekspor).
d.
Perdagangan
Lintas Batas
Berdasarkan Basuc
Arrangement on Border Crossing (dasar persetujuan lintas batas), yang
ditandatangani pada tanggal 26 Mei 1967, bagi penduduk berbatasan dengan
Malaysia dapat diberikan Pas Lintas Batas
oleh Imigrasi.
Pasal II persetjuan
tersebut mengatur perdagangan lintas
batas di daratan dan perdagangan melalui pos pengawasan lintas batas yang
didirikan. Setiap orang diperkenankan membawa barang-barang dengan batas
seharaga M$ 600.
Pasal III persetujuan
tersebut mengatur lintas batas dilautan,
antara lain:
1.
Daerah perbatasan mengenai Indonesia, yakni
daerah-daerah Kubu, Banko, Rupat, Bengkalis, Bukit Batu, Merbau, Rengsang,
Kampar, sebagian daerah kepulauan Riau, Pulau Tambelan, dan daerah Nunukan.
2.
Daerah perbatasan mengenai Malaysia, yakni daerah
Jahore Bahru, Batu pakat, Malcca, Port Swetterha, Penang, Sematan, Kuching,
Lindu, Tawan.
3.
Mengenai daerah lainnya, atas persetujuan kedua
belah pihak dapat ditetapkan sebagai daerah lintas batas.
Lintas batas di
lautan ini menetapkan batas harga barang-barang yang dapat dibawa setiap perahu
setiap kali pelayaran, yakni M$ 600. Persetujuan tersebut di atas kemudian
diberi petunjuk pelaksanaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan Surat
Nomor KBT/DDBT/CHZ/RUU/335/75, tanggal 25 Maret 1975, yang pada dasarnya
mengatur antara lain :
1.
Pas lintas batas diberikan oleh Pejabat Imigrasi.
2.
Barang-barang yang boleh diperdagangkan, yakni :
a.
Barang Indonesia : hasil-hasil pertanian, hasil
lainnya yang dihasilkan daerah lintas batas;
b.
Barang Malaysia : barang-barang kebutuhan
sehari-hari, barang yang dibutuhkan.
3.
Perahu yang dapat dipergunakan tidak boleh melebihi
20 Meter kubik.
4.
Barang-barang yang dilarang inpor/ekspor tetap
berlaku.
5.
Jika melebihi batas harga M$ 600, maka akan dipungut
bea dengan memperhatikan surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 19 Mei 1970,
Nomor Kep-287/MK/III/5/1970. Mengenai batas barang bawaan seharga US$ 25 setiap
orang atau US$ 100 untuk setiap keluarga dibebaskan dari pungutan bea masuk.
e.
Perkecualian
Dalam Tata Laksana Impor
Barang-barang
impor yang mendapat perkecualian ialah:
1.
Barang diplomatic;
2.
Barang pindahan;
3.
Minyak bumi mentah;
4.
Bahan peledak dan lain-lain;
5.
Barang-barang impor berdasarkan Pasal 23 )B;
6.
Barang-barang hibah;
7.
Barang dagangan yang mempunyai nilai f.o.b. (free on
board = bebas sampai di atas kapal) kurang dari US$ 5,00.00. tetapi batas
barang-barang tersebut masih berlaku ketentuan pemeriksaan oleh Bea dan Cukai).
BAB V
TINDAK PIDANAPENYELUNDUPAN
Tindak pidana
penyelundupan diatur dalam Pasal 25 OB ayat (I) dan Pasal 26b jo. Pasal 3 ayat
(2) OB. Pasal 25 OB mengatur antara lain :
1.
Dapat dipidana, nakhoda yang dengan sengaja atau
bersalah karena kelalaian:
a.
Tidak atau terlambat memenuhi peraturan tentang
penyerahan dokumen-dokumen pada waktu keadaan kapal.
b.
Tidak menyebut barang-barang pada pemberitahuan atau
daftar pemberitahuan yang dimaksud huruf a, termasuk didalamnya:
I.
Memberitahukan kurang jumlah barang-barang yang
dikemas lebih dari 10%;
II.
Tidak menyelesaikan PU/AA atau bukti-bukti pindah
kapal dibongkar dalam duane terrain (daerah pabean)
III.
Sebelum berangkat ke daerah pabean, pada tuntutan
pertama, tidak menunjukkan barang-barang menurut PU/AA atau bukti-bukti pindah
kapal;
IV.
Mempunyai kekurangan atas jumlah bekal kapal yang
diberitahukan, menurut pertimbangan melebihi pemakaian.
c.
Memuat barang-barang tanpa dokumen
2.
Dapat dipidana, barangsiapa dengan sengaja atau
bersalah karena kelalaian:
a.
Pertama, Tidak memenuhi ketentuan tentang
perlindungan pengangkutan, kecuali ketentuan yang dibuat berdasarkan Pasal 3
ayat (2) OB; Kedua, tidak memasukkan barang-barang kedalam entrepot atau tidak
menyerahkan untuk diperiksa dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Ketiga,
tidak memberikan bukti pengangkutan barang-barang ke luar daeah pabean dalam
jangka waktu yang telah ditentukan.
Barangsiapa melakukan ketiga hal tersebut di atas
atau atas nama siapa dilakukan, yang menyebabkan pemberian waktu itu, dianggap
sebagai pelanggaran.
b.
Merintangi, mempersulit, atau tidak memungkinkan
pemeriksaan atau pekerjaan lain-lain yang boleh atau dijalankan
pegawai-pegawai.
c.
Memberitahukan salah tentang jumlah, jenis, atau
harga barang-barang dalam PU/AA, penyimpanan dalam entrepot, pengiriman ke
dalam/luar daerah pabean, atau pembongkaran, atau dalam PU/AA tidak menyebutkan
barang-barang yang dikemas dengan barang lain.
d.
Merusak materai atau timah atau membuat perubahan,
coretan-coretan, atau tambahan-tambahan di dalam dokumen-dokumen yang telah
ditandatangani pegawai, maka barangsiapa yang mengusai, atau yang menyerahkan
barang-barang atau dokumen-dokumen itu, dianggap sebagai pelaku delik.
e.
Tidak menyerahkan dokumen pada tuntutan pertama,
atau menyerahkan dokumen yang tidak sah, disamakan dengan tidak mempunyai
dokumen.
Pasal 3 ayat (2) )B
yang disebut dalam Pasal 25 ayat (II)a diatas berbunyi :
“dengan
tidak mengurangi ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan regelemen-regelemen yang
terlampir padanya tentang pengangkutan ked an dari pelabuhan, maka menteri
keuangan dengan semufakat menteri dalam negeri, berhak untuk menunjuk
jalan-jalan daratan atau perairan atau daerah-daerah, di mana barang-barang
yang ditunjuknya dilarang diangkut dan/atau berada dalam sebuah bengunan atau
pekarangannya, jika tidak dilindungi dengan dokumen dari pegawai-pegawai bead
an cukai atau dari jawatan-jawatan lain yang ditunjukknya”.
Perlu pengamatan lebih lanjut terhadap Pasal 25 ayat
(II)c dan Pasal 26b OB.
Pasal 25 ayat (II)c OB : “dapat dihukum, barangsiapa
dengan sengaja atau karena kelalaian memberitahukan yang tidak
benar tentang jumlah, jenis, atau harga barang-barang dalam pemberitahuan
pemasukan barang, penyimpanan dalam entrepot, pengiriman ke dalam atau ke luar
daerah pabean atau pembongkaran, atau tidak memberitahukan barang-barang yang
dikemas dengan barang lain”.
Pasal 26b OB : barangsiapa yang mengimpor atau
mengekspor barang-barang atau berupaya mengimpor atau mengekspor barang-barang
tanpa mengindahkan akan ketentuan-ketentua dari ordonansi ini dan dari
regelemen-regelemen yang terlampir padanya atau yang mengangkut ataupun
menyimpan barang-barang bertentangan dengan sesuatu ketentuan larangan yang
ditetapkan berdasarkan ayat kedua Pasal 3, dihukum… dan seterusnya.
Untuk lebih
memudahkan, sebagian ahli melakukan pembagian atas delik yang tercantum dalam
Pasal26b OB, yaitu :
1.
Menimpor atau mengekspor barang-barang atau berupaya
mengimpor atau mengekspor barang-barang tanpa mengindahkan ketentuan OB dan
regelemen-regelemen yang terlampir padanya.
2.
Mengangkut atau menyimpan barang-barang bertentangan
dengan suatu ketentuan larangan yang ditetapkan berdasarkan Pasal 3 ayat (2)
OB.
Pada
butir 1, yang selalu dipermasalahkan adalah kata trachten. Hoge Raad (HR) pada tanggal 8 Februari 1932, (N) 1932,
1609 W 12501 menafsirkan trachten
sebagai berikut:
“Bahwa
dalam pengertian trachten tidaklah menjadi persoalan apakah betul-betul terjadi
pengeluaran barang, sehingga dengan demikian masih dapat tercakup perbuata yang
belum merupakan percobaan”
Berdasarkan
Pasal 26c OB, tindak pidana yang dimaksud Pasal 26b dianggap sebagai kejahatan.
Sedangkan yang disebut dalam Pasal 25 ayat (II)c OB, yakni memberi laporan atau pemberitahuan yang salah dikategorikan sebagai
pelanggaran. Pengertian pemberitahuan
sangat luas. Dapat diartikan jumlah yang salah, timbangan yang salah, atau
kualitas yang salah, bahkan dokumen berbeda dengan kenyataan barang. Untuk
memcahkan masalah ini, perlu pengamatan lebih cermat terhadap Pasal 2 ayat (1)
UU No 7 Drt 1955 tentang TPE , yang mengatur bahwa tindak pidana ekonomi yang
dilakukan dengan sengaja adalah kejahatan, yang dilakukan dengan tidak sengaja
adalah pelanggaran. Yang perlu diperhatikan adalah,jika tertangkap di daerah
peredaran bebas atau di tempat penimbunan di luar pelabuhan (dalam hal impor)
atau telah dimuat ke dalam kapal (dalam hal ekspor), maka dikategorikan penyelundupan. Jadi melanggar Pasal 26b
OB. Jika barang-barang masih masih dalam duane terrain (daerah pabean), masih
dianggap penyelundupan administrasi,
jadi melanggar Pasal 25 ayat (II)c OB. Terhadap barang-barang yang dilarang di
impor/ekspor, tidak ada permsalahan dokumen, karena jelas telah terjadi tindak
pidana penyelundupan yang melanggar pasal 26b OB.
BAB VI
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
PENYELUNDUPAN
Berdasarkan UU No.
8/Drt/1958, tindak pidana penyelundupan termasuk tindak pidana ekonomi.
Penyidikan tindak pidana penyelundupan diatur dalam Pasal 25 UU TPE yang
berbunyi sebagai berikut :
“terhadap pengusutan tindak pidana
ekonomi untuk selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam “Het
Herziene Indonesische Reglement” (HIR) kecuali jika Undang-Undang darurat ini
menentukan lain”.
HIR telah dicabut dan
digantikan dengan KUHAP. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
penyidikan/pengusutan tindak penyelundupan berdasarkan ketentuan penyidikan
tindak pidana ekonomi dan KUHAP.
Penyidikan/pengusutan tindak pidana ekonomi diatur didalam beberapa
Pasal, yaitu:
1. Pasal 18 ayat (1) :
penyidik setiap waktu berwenang menyita atau menuntut penyerahan barang-barang
untuk disita :
a. Barang-barang yang
dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan;
b. Barang-barang yang
dapat dirampas;
c. Barang-barang yang
dapat dimusnahkan menurut ketentuan Undang-Undang.
2. Pasal 18 ayat (2) :
barang-barang tersebut hanya dapat disita jika disetujui oleh jaksa.
3. Pasal 19 ayat (1) :
pengusut setiap waktu dapat menuntut diperlihatkannya segala surat.
4. Pasal 20 ayat (1) :
pengusut setiap waktu dapat berhak memasuki setiap tempat yang menurut
pendapatnya perlu dimasuki untuk menjalankan tugasnya.
5. Pasal 19 ayat (2) :
bila bertentangan dengan kemauan penghuni, pengusut tidak akan masuk ke dalam
sebuah rumah selain untuk mengusut suatu tindak pidana ekonomi dan disertai
seorang komisaris, polisi, atau atas perintah tertulis jaksa. Berita acara
dibuat dalam waktu dua kali 24 jam Pasal 19 ayat (3).
6. Pasal 22 ayat (1) : Pengusut
berwenang menuntut supaya bungkusan barang-barang dibuka.
7. Pasal 23 ayat (1) :
Pengusut dapat menghentikan kendaraan dan melakukan pemeriksaan.
Beberapa Hal dalam
Penyidikan Tindak Pidana Penyelundupan.
1.
Barang tak bertuan
Jika ternyata ada
barang-barang yang tertimbun dipantai, sedangkan hubungan lancar, maka dapat
dituntut dengan tuduhan percobaan penyelundupan, karena mengangkut ke pantai
telah merupakan perbuatan pelaksanaan. Barang tak bertuan (aanbeherde goederen)
yang diatur dalam Pasal 15 OB, adalah barang yang telah masuk ke dalam gudang
pelabuhan tetapi telah lama dibiarkan pemiliknya.
2.
Pengangkutan kayu log
Begitu keluar dari logpot, pengangkut kayu wajib
dilengkapi dengan surat-surat.
3.
Schikking
Schikking diatur dalam dalam Pasal 29 OB.
Sehari-hari schikking diterjemahkan dengan denda koreksi, denda damai, denda
ganti. Schikking ini tidak berlaku jika tindak pidana tersebut dianggap
kejahatan. Pendelegasian wewenang Schikking kepada Menteri keuangan atas
pelanggaran administrasi yang tidak melebihi Rp. 50.000,-. Batas Schikking oleh
Menteri Keuangan ditetapkan sebesar 5.000.000,- dengan terlebih dahulu
dibicarakan dengan kejaksaan setempat.
4.
Premi
Pemberian Premi diberikan kepada orang yang berjasa
dalam pengusutan/penyelesaian perkara tindak pidana penyelundupan diberikan
ganjaran/premi, berupa :
a.
Maksimum 20% dari jumlah nilai barang hukuman.
b.
Maksimum 20% dari jumlah hasil bersih penjualan
barang-barang pelanggar tak dikenal.
c.
Maksimum 50% dari jumlah denda damai.
d.
Informasi maksimum Rp. 100.000,-.
e.
Pelapor maksimum Rp 50.000,-.
BAB VII
ANCAMAN HUKUMAN
Ancaman hukuman
(sanksi) yang tercantum dalam UU TPE beruapa tindakan tata tertib atau pidana.
A.
Tindakan
Tata Tertib
Tindakan tata tertib dapat dikenakan sebelum sidang
pengadilan dimulai, biasanya disebut tindakan tata tertib sementara, dapat
diterapkan oleh jaksa (Pasal 27 UUTPE) dan hakim (Pasal 28 UUTPE), yaitu:
1. Penutupan sebagian/seluruh
perusahaan si tersangka di mana TPE itu disangka dilakukan;
2. Penempatan perusahaan
si tersangka dimana tindak pidana ekonomi yang disangkakan dilakukan, dibawah
pengampuan;
3. Pencabutan seluruh
atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka
berhubung dengan perusahaan itu;
4. Supaya tersangka
tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
5. Barang perusahaan
tempat tersangka berusaha disita dan disimpan di tempat yang ditunjuk surat
perintah.
Tindakan
tata tertib tersebut dapat diperlakukan jika dader penyelundupan adalah badan
hukum/badan usaha. Terhadap tindakan tata tertib ini, si tersangka dapat
mengajakun bandingan kepada Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 3 (tiga) hari
setelah tindakan tata tertib tersebut (Pasal 30 UUTPE).
Selain
tindakan tata tertib yang dilakukan jaksa/hakim sebelum persidangan, dpat juga
tindakan tata tertib yang dijatuhkan hakim dalam putusan (Pasal 18 UUTPE),
yakni:
1.
Penempatan perusahaan si terhukum dibawah pengampuan
selama-lamanya 3 tahun jika kejahatan, dan 2 tahun jika pelanggaran.
2.
Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebesar Rp.
100.000,- jika kejahatan, dan Rp. 50.000,- jika pelanggaran.
3.
Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan
keuantungan yang diperoleh dari penyelundupan tersebut.
4.
Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak.
B.
Pidana.
Ancaman
pidana terhadap pelanggaran UUTPE diatur dalam Pasal 6 yang antara lain sebagai
berikut:
1. Kejahatan diancam
dengan maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1.000.000,-;
2. Pelanggaran diancam
dengan maksimal 2 tahun penjara dan denda Rp 100.000,-.
Berdasarkan
UU No. 21/Prp/1959, tanggal 16 November 1959, ancaman tersebut diatas
diperberat, yakni:
1. Pasal 1 ayat (1):
hukuman denda setingi-tingginya tiga puluh kali yang ditetapkan UUTPE.
2. Pasal 1 ayat (2): jika
tindak pidana tersebut menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam
masyarakat, maka ancaman hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20
tahun. Kekacauan ekonomi dalam masyarakat harus dibuktikan terlebih dahulu.
Jadi,
dakwaan dan putusan bagi Tindak pidana penyelundupan adalah berdasarkan UU No.
7/Drt/1955 jo. UU No. 8/Drt/1958 o. Pasal 1 UU No. 21/Prp/1959 jo. Pasal 26b
OB. Perlu diperhatikan penjelasan resmi UU No. 21/Prp/1959 yang berbunyi :
Menurut Undang-Undang
darurat Nomor 7 Tahun 1955, ada kemungkinan untuk hakim memilih antara hukuman
badan atau menjatuhkan kedua-duanya hukuman itu, menurut Peraturan pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini hakim harus menjatuhkan kedua-dua hukuman itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi Hamzah, 1994, Asas-asas Hukum Pidana Edisi
Revisi, Bandung, Rineka Cipta.
---------------,
1977, Hukum Pidana ekonomi, Jakarta, Erlangga.
Baharudin Lopa, 1980, Tindak Pidana Ekonomi
Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan, Jakarta, Pradnya Paramita.
Edi Setiadi, 2010, Hukum Pidana Ekonomi Cetakan
Pertama, Yogyakarta, Graha Ilmu
Loebby Loqman, 2002, Kapita Selekta Tindak Pidana di
Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom.
Philpus M. Hadjon, et.al, 1993, Pengantar Hukum
Administrasi di Indonesia, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global Dan
Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang
Tindak Pidana Ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar