Kamis, 03 Mei 2012

Delik Ekonomi



DELIK EKONOMI[1]

BAB I
KETENTUAN UMUM TINDAK
PIDANA EKONOMI
A.           Pengertian Hukum Pidana Ekonomi.
Beberapa Sarjana hukum memberikan pengertian hukum pidana ekonomi sebagai berikut :
1.             Andi Hamzah : Hukum Pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang merupakan corak tersendiri, yaitu corak ekonomi.
2.             Moch. Anwar:  Hukum Pidana ekonomi adalah sebagai sekumpulan peraturan bidang  ekonomi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang keharusan/kewajiban dan atau larangan yang diancam dengan hukum pidana.
3.             Vervloet M Yusuf: Tindak Pidana ekonomi adalah perbuatan seseorang yang melanggar peraturan pemerintah dalam lapangan ekonomi.
4.             Mardjono Reksodiputro: Kejahatan Ekonomi adalah setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi dan di bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana.
5.             Sunaryati Hartono: mengemukakan bahwa economic crime lebih luas dari bussines crime, karena kerugian yang ditimbulkan bukan saja secara ekonomi tetapi juga secara sosial bahkan bisa berdampak politik. Istilah economic           cri--me berbeda dengan istilah economic criminality. Istilah economic crime menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas). Sedangkan economic criminality menunjuk kepada kejahatan-kejahatan konvensional yang mencari keuntungan yang bersifat ekonomis misalnya pencurian, perampokan, pencopetan, pemalsuan, atau penipuan.
Dalam karangan Van Poelje yang berjudul “Een nieuw Kleed voor het fiscaal strafrecht”, hukum pidana ekonomi itu bukan hukum pidana khusus, alasannya ialah bahwa artikel 91 WvS Belanda ( = 103 KUHP Indonesia ) yang berbunyi: “aturan kedelapan bab yang pertama dalam buku satu, boleh di berlakukan terhadap perbuatan yang atasnya ditentukan pidana menurut Undang-Undang, peraturan umum atau ordonansi kecuali Undang-Undang menentukan lain”. Selanjutnya Van Poelje mengatakan, peraturan hukum pidana ekonomi tidak ada yang dengan tegas dan jelas menunjuk asas-asas hukum pidana lain dari buku satu WvS (KUHP Indonesia) aturan umum.
Ciri penting dari economic crime ialah proses pemilikan harta benda dan kekayaan secara licik atau dengan penipuan beroperasi secara diam-diam (tersembunyi) dan sering dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial dan memiliki ekonomi yang tinggi.
Membicarakan suatu konsep kejahatan di bidang ekonomi hanya dengan dasar kehidupan suatu negara hanya menghasilkan sesuatu yang tidak memuaskan, sebab persoalan ekonomi merupakan bagian antar bangsa dalam kerangka globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, kejahatan ekonomi sudah di bicarakan dalam Guiding Principles For crime Prevention and Criminal Justice In the Context of Development and New Economic Order, yang diadopsi oleh the seventh Crime congress, Milan, September 1985 dan disahkan oleh Majelis Umum  Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusinya Nomor 40/32.

B.            Unsur-Unsur Tindak Pidana Ekonomi
1.             Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada dasarnya bersifat normal dan sah.
2.             Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan kepentingan negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya kepentingan induvidual.
3.             Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang merugikan perusahaan lain atau individual lain.

C.           Bentuk-Bentuk Penyimpangan Ekonomi
            Berdasarkan Laporan PBB ke-VI Tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders (Pencegahan kejahatan dan Penanggulangan Pelaku Kejahatan) di Caracas Tahun 1980, di identifikasikan bentuk-bentuk penyimpangan ekonomi, yaitu:
1.      Mengelakkan Pengenaan Pajak;
2.      Penipuan Bea-Cukai dan Kredit;
3.      Korupsi Dana Publik;
4.      Penggelapan dana-dana Negara;
5.      Pelanggaran peraturan mata uang;
6.      Spekulasi dan menipu dalam transaksi pertahanan;
7.      Kejahatan lingkungan;
8.      Melampaui batas penetapan harga;
9.      Melebihi batas faktur;
10.  Pemerasan tenaga kerja;
11.  Import dan ekspor barang mewah di bawah standar dan bahkan berbahaya.

D.           Tolak Ukur Kriminalisasi Kejahatan Ekonomi.
1.      Perbuatan tersebut bertentangan dengan moral di bidang ekonomi, dan merugikan kehidupan ekonomi yang merusak sistem ekonomi suatu masyarakat, sudah tentu berdampak secara individual kepada anggota masyarakat menderita kerugian.
2.      Melanggar atau menyerang kepentingan politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.
3.      Pada dasarnya pelaku dibidang TPE tidak merasa melakukan TPE, karena mereka dalam rangka melakukan kegiatan bisnis.
4.      Didasarkan pada kesalahan pelakunya, karena melakukan kejahatan yang melebihi batas pelanggaran etika di bidang ekonomi/bisnis.

E.            Menurut Supanto, Tindak Pidana Ekonomi dilihat dari bentuknya ada dua, yaitu:
1.      Kejahatan yang dilakukan oleh kalangan pengusaha bersamaan kegiatan bisnis yang biasa dilakukannya.
2.      Perbuatan perdagangan/produksi barang dan jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang ilegal/tidak sah.

F.            Perumusan Kejahatan Ekonomi Dalam KUHP dan UU No. 7 Drt Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi.
A.                Di Dalam KUHP
            Ketentuan KUHP yg dapat dikaitkan dengan tindak pidana dibidang ekonomi di antaranya adalah :
1.      Pasal 202 : membuat perlengkapan air minum untuk umum membahayakan nyawa atau kesehatan.
2.      Pasal 204 dan 205 : menjual, menawarkan, menyerahkan barang yang membahayakan nyawa atau keselamatan orang.
3.      Pasal 211 : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa pejabat
4.      Pasal 216 : tdk menuruti perintah UU oleh pejabat.
5.      Pasal 244-251 : pemalsuan mata uang
6.      Pasal 253 : pemalsuan materei
7.      Pasal 254, 256, 257 : Pemalsuan Merek
8.      Pasal 255 : Pemalsuan Tanda tera
9.      Pasal 258 : Pemalsuan ukuran/takaran, anak timbangan.
10.  Pasal 263, 264 : memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, perikatan.
11.  Pasal 266 : memasukkan data palsu ke suatu akta otentik.
12.  Pasal 322 : Membuka rahasia jabatan.
13.  Membuka rahasia mengenai perusahaan dagang, kerajinan.
14.  Pasal 362 : Pencurian
15.  Pasal 372 -375 : Penggelapan.
16.  Pasal 378, 379 : Perbuatan curang.
17.  Pasal 380 : memalsukan atau nama atas hasil kesasteraan, keilmuan, kesenian.
18.  Pasal 381, 382 : melakukan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi
19.  Pasal 382 bis : melakukan persaingan curang untuk mendapatkan, memperluas hasil dagang atau perusahaannya untuk menyesatkan khalayak umum.
20.  Pasal 383 : melakukan perbuatan curang kepada pembeli.
21.  Pasal 386 : menjual, menawarkan makanan, minuman, obat palsu.
22.  Pasal 392 : mengumumkan daftar atau neraca tidak benar.
23.  Pasal 393 : memasukkan atau mengeluarkan barang dari atau ke luar Indonesia berasal dari bungkus palsu, merek palsu atau milik org lain.
24.  Pasal 396-406 : tindak pidana terkait dengan kepailitan.
25.  Pasal 480 : Penadahan.
            Beberapa KUHP Negara asing menentukan pengaturan secara khusus maupun tidak mengenai tindak pidana dibidang ekonomi, seperti :
1.      Albania : Crime Againts Economic Activities.
2.      Bulgaria : Crime Againts the Economy.
3.      China : Crime Undermining Order of Socialist Market Economy.
4.      Latvia : Criminal Offence of an Economic Nature.

B.                Di Dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955
            Perumusan tindak pidana di bidang ekonomi secara khusus dalam perundang-undangan Indonesia diatur dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955 (UUTPE), sebagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP secara khusus mengatur TPE. Pengaturan dalam UU tersebut mengenai TPE dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1.      TPE berdasarkan Pasal 1 ayat 1e UUTPE, yang menunjuk perbuatan pelanggaran berbagai ordonansi, wet, UU. Peraturan perundang tersebut berubah-ubah, dan diubah sesuai dengan perkembangan.
2.      TPE berdasarkan Pasal 1 ayat 2e UUTPE yaitu pelanggaran berkaitan dengan pelaksanaan perdailan, dan hukuman menurut UUTPE.
3.      TPE berdasarkan Pasal 1 ayat 3e UUTPE meliputi tindak pidana yang diatur dalam UU di luar UUTPE dan dinyatakan sebagai TPE oleh UU yang bersangkutan. 


BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU
KEJATAHAN EKONOMI
Perkembangan Sistem Petanggungjawaban Pidana.
            Secara teoritis terdapat tiga teori atau system pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum korporasi, yaitu teori identifikasi, teori stric liability dan teori vicariousliability.
1.      Teori identifikasi
            Dalam rangka mempertanggung jawabkan korporasi secara pidana, di Negara Anglo saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporatecriminal liability atau pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Menurut doktrin ini, korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.   
2.      Teori Strict Liability
            Strict Liability diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada siri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus. Strict Liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan ( liability without fault ), yang dalam hal ini sipelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin sipelaku.
3.      Teori Vicarious Liability
            Vicarious Liability diartikan oleh Henry Black sebagai indirect legalresponsibility, the liability of an employer for the acts of an employee, of a principle for torts and contracts of an agent ( pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak ). Berdasarkan pengertian ini Vicarious Liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan, yaitu atasan dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaanya. Secara singkat pertanggungjawaban ini disebut pertanggungjawaban pengganti.
Menurut Supanto, Pertanggungjawaban dari kejatahan korporasi ada 3 kemungkinan :
1.      Orang yang bersalah dalam tindak pidana, sesuai dengan ajaran tentang kesalahan yakni : asas tiada pidana tanpa kesalahan. Yang mempertanggungjawabkan tersebut dicari orang yang bersalah.
2.      Korporasi yang dipertanggungjawabkan, berdasarkan ajaran strict liability. Disini tidak perlu memperhatikan bentuk kesalahannya kesengajaan atau kelalaian.
3.      Baik orangnya maupun perusahaannya. Orang yang bersalah dimungkinkan dipertanggungjawabkan dan dipidana sesuai dengan KUHP, sedangkan Perusahaannya dikenai kewajiban pengganti kerugian.

BAB III
PENETAPAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK
PIDANA EKONOMI
1.             Sanksi Pidana
A.           Pokok
a)             Penjara;
b)            Kurungan;
c)             Denda Kurungan Pengganti denda.
B.            Tambahan
a)             Menunjuk Pasal 10 KUHP;
b)            Pencabutan Izin Usaha;
c)             Larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris;
d)            .Penghentian kegiatan;
e)             Perampasan barang tertentu;
f)             Pembayaran ganti rugi;
g)            Kewajiban penarikan barang yang beredar;
h)            Pengumaman putusan hakim;
i)              Pencabutan usaha izin industri;
j)              Pemusnahan barang.

2.             Sanksi Administratif.
a.              Peringatan tertulis/tertulis;
b.             Denda;
c.              Pembatasan kegiatan usaha, Pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha,pembatalan persetujua;
d.             Pembatalan pendaftaran;
e.              Ganti rugi;
f.              Sanksi disiplin kepegawaian;
g.             Pembubaran korporasi diikuti likuidasi.


3.             Tindakan Tata Tertib
            Menurut Andi Hamzah tindakan tata tertib yang dimaksud dalam UU Drt No. 7 Tahun 1955 tersebut adalah :
1.      Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka di mana TPE itu disangka telah dilakukan;
2.      Penempatan tersangka dibawah pengampuan;
3.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka berhubung dengan perusahaan itu;
4.      Supaya tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
5.      Supaya si tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah itu yang dapat disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu.


Perbedaan Sanksi Pidana dengan Sanksi administrasi:
1.             Sanksi administrasi ditujukan pada perbuatan pelanggarnya, sedangkan sanksi pidana ditujukan pada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa.
2.             Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggar dihentikan, dan bersifat reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula.
3.             Sanksi administrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses peradilan.


BAB IV
TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN
A.           Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan
            Penyelundupan berasal dari kata selundup. Dalam kamus besar bahasa indonesia, yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1989, kata selundup diartikan menyelunduk, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi atau secara gelap (tidak sah). Sedangkan penyelundupan diartikan pemasukan barang secara gelap untuk menghindari bea masuk atau karena menyelundupkan barang terlarang.
            dalam kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary kata Smuggle diartikan “to import or exsport secretly contrary to the law and especially without paying duties import or exsport something in violation of the customs law”. (mengimpor atau mengekspor secara gelap, berlawanan/tak sesuai dengan hukum dan khususnya menghindari kewajiban membayar atas suatu impor atau ekspor yang merupakan pelanggaran peraturan pabean).
            Dalam kamus bahasa Belanda-Indonesia, smokkel diartikan penyelundupan. Pasal 7 Ordonansi Bea (OB) mencantumkan kata penyelundupan dengan “peagawai-pegawai berwenang jika menyangka seorang melakukan pelanggaran, hak di luar maupun di tempat kedudukannya, memeriksa segala alat-alat pengangkutan, barang-barang yang di muat di atasnya atau di dalamnya dan barang-barang yang sedang diangkut, untuk mana memerintahkan kapal-kapal berlabuh di sungai-sungai dan di tasik-tasik, memerintahkan berhenti alat-alat pengangkutan lain atau orang-orang yang sedang mengangkut, memerintahkan membongkar sesuatu alat pengangkutan atas biaya yang bersalah dan mempergunakan segala usaha paksa yang berfaedah untuk melakukan pemeriksaan dan untuk mencegah penyelundupan.
            Keppres No. 7 Thn 1967 memuat arti penyelundupan sebagai berikut : “penyelundupan ialah delik yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor), atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke Indonesia (impor)

B.            Jenis-Jenis Penyelundupan

1.      Penyelundupan Fisik
            Umumnya Para sarjana telah sepakat, bahwa yang dimaksud dengan penyelundupan fisik dalam Pasal 26b RO adalah “barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor barang-barang atau berupaya mengimpor atau mengekspor barang-barang tanpa mengindahkan akan ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini dan dari regelemen-regelemen yang terlampir padanya atau yang mengangkut ataupun yang menyimpan barang-barang bertentangan dengan sesuatu ketetuan larangan yang ditetapkan berdasarkan ayat kedua Pasal 3.
            Kata Berupaya (trachten) dalam Pasal 26b RO tersebut bukanlah Poging (mencoba). Upaya dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan mencari upaya (akal), berusaha, beriktiar.
            Sedangkan Pasal 3 ayat (2) OB yang ditunjuk Pasal 26b berbunyi : “dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini dan regelemen-regelemen yang terlampir padanya tentang pengangkutan ke dan dari pelabuhan, maka menteri keuangan dengan semufakat menteri dalam negeri, berhak untuk menunjuk jalan-jalan daratan atay perairan atau daerah-daerah, di mana barang-barang yang di tunjuknya dilarang diangkut dan/atau dalam sebuah bangunan atau di pekarangannya, jika tidak dilindungi dengan dokumen dari pegawai-pegawai bea dan cukai atau dari jawatan-jawatan lain yang ditunjuknya.
2.      Penyelundupan Administrasi
Yang dimaksud dengan penyelundupan administrasi adalah yang diatur dalam Pasal 25 ayat (II)c OB yaitu “memberitahukan salah tentang jumlah, jenis atau harga barang-barang dalam pemberitahuan-pemberitahuan impor, penyimpanan dalam entreport, pengiriman ke dalam atau ke laur daerah pabean atau pembongkaran atau dalam sesuatu pemberitahuan tidak menyebutkan barang-barang yang dikemas dengan barang-barang lain.
Jika barang-barang tersebut masih di daerha pabean, dikategorikan sebagai penyelundupa administrasi, karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau harga barang yang dilaporkan, dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara utuh kewajiban-kewajiban membayar. Tetapi jika telah ada dipelabuhan, maka dikategorikan sebagai penyelundupan fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 26b OB.

C.           Tata Laksana Ekspor-Impor

1.      Tata Laksana Ekspor
Umumnya tata laksana ekspor berlaku secara temporer, artinya dapat selalu berubah sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat dan kebijaksanaan Pemerintah.Pada dasarnya barang-barang ekspor dibebaskan dari pemeriksanaan duane. Barang-barang ekspor dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a)             barang bebas ekspor;
b)             barang yang ekspornya dikendalikan;
c)             barang yang dikenakan pajak ekspor (PE) dan/atau pajak           ekspor tambahan (PET).

2.      Tata Laksana Impor
a.      Dasar Hukum
                                 I.              Inpres No 4 tahun 1985;
                              II.              SKB menteri Keuangan, Perdagangan dan Gubernur BI;
a)             Nomor 656/Kpb/IV/85.
b)             Nomor 329/KMK.05/1985.
c)             Nomor 18/2/KEP/GBI.
                           III.              KepmenKeu Nomor 337/KMK.01/1985;
                           IV.              Relegemen A dan reglemen B OB.

b.      Tata Niaga Impor
1.             Dengan dilampiri invoice (faktur) dan packing list (perincian isi tiap koli), diajukan permohonan kepada surveyor di tempat asal barang untuk pemeriksaan barang-barang.
2.             Setelah barang-barang dimuat ke atas kapal maka nahkoda menerbitkan B.o.L (bill of lading), yakni suatu surat bertanggal dan ditandatangani nahkoda kapal menerangkan bahwa nahkoda telah menerima barang-barang tertentu (tercantum dalam surat) untuk diangkut ke tempat tujuan tertentu (disebut kota tujuan), dan akan menyerahkan kepada orang yang tertera dalam surat.
3.             Dari semua B.o.L nakhkoda kapal memuat manifest yang memuat semua barang dagangan yang ada dalam kapal.
4.             Setelah kapal tiba di daerah pelabuhan tujuan, nakhoda menyerahkan AA (Algemene Aangifte) atau PU (pemberitahuan umum).
5.             Dalam hal impor menggunakan L/C:
a.         Bank di luar negeri mengirimkan B.o.L dan LKP (laporan keuangan            Perusahaan) kepada bank devisa di dalam negeri.
b.         Pada L/C divantumkannya syarat tambahan bahwa bank di luar negeri        hanya dibenarkan membayar pada eksportir setelah bank memperoleh   LKP yang diterbitkan surveyor.
c.         Setelah AA diserahkan dan mendapat persetujuan untuk bongkar, barulah   barang dapat diturunkan dari kapal.
6.             Dalam hal Impor tidak menggunakan L/C:
a.         Importir memberitahukan kepada eksportir dan surveyor tentang      kewajiban pemeriksaan atas barang-barang yang akan di impor.
b.         Surveyor menyerahkan LKP kepada bank devisa dalam negeri
c.         LKP berisi keterangan tentang jenis dan mutu barang, volume          barang, harga, biaya pengangkutan, nomor pos tarif, tarif bea        masuk, dan PPN.
d.        Importir menghitung sendiri besarnya bea masuk, PPN, PPh, dan     pungutan sah lainnya serta melunasi pada bank devisa.
e.         Setelah menerima pembayaran dari importir, maka bank devisa         menyerahkan B.o.L., LKP, serta bukti pembayaran bea masuk dan PE       (pajak ekspor)/PET (pajak ekspor tambahan) kepada si importir.
f.          Pada waktu barang diangkut dari pelabuhan, barang-barang             tersebut harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen, yakni : daftar     bongkar, PPUD (pemberitahuan pemasukan barang untuk dipakai) dan lain-lain tersebut diatas.
g.         Barang penumpang yang tidak diangkut bersama-sama dengan        penumpang disamakan dengan barang niaga.
h.         Barang-barang khusus memerlukan sertifikat impor/ekspor dari        berwenang. Misalnya mengimpor barang narkotika, memerlukan     izin Menteri kesehatan dan menteri perdagangangan.

c.       Entrepot
Entrepot diatur dalam Bab IV reglemen A (lampiran OB) mulai Pasal 19 sampai dengan Pasal 26. Pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang-barang impor ke/dari entrepot umum (pasal 19) dan entrepot partikelir (pasal 25) yang telah mendapat izin untuk itu, merupakan tugas dan tanggungjawab Kepala Bidang entrepot Bea dan Cukai.
Pengeluran dari entrepot dilakukan dengan jalan:
1.         Impor untuk dipakai, maka diajukan PPUD;
2.         Pengiriman keluar daerah pabean (diangkut terus atau diekspor).

d.      Perdagangan Lintas Batas
Berdasarkan Basuc Arrangement on Border Crossing (dasar persetujuan lintas batas), yang ditandatangani pada tanggal 26 Mei 1967, bagi penduduk berbatasan dengan Malaysia dapat diberikan Pas Lintas Batas oleh Imigrasi.
Pasal II persetjuan tersebut mengatur perdagangan lintas batas di daratan dan perdagangan melalui pos pengawasan lintas batas yang didirikan. Setiap orang diperkenankan membawa barang-barang dengan batas seharaga M$ 600.
Pasal III persetujuan tersebut mengatur lintas batas dilautan, antara lain:
1.         Daerah perbatasan mengenai Indonesia, yakni daerah-daerah Kubu, Banko, Rupat, Bengkalis, Bukit Batu, Merbau, Rengsang, Kampar, sebagian daerah kepulauan Riau, Pulau Tambelan, dan daerah Nunukan.
2.         Daerah perbatasan mengenai Malaysia, yakni daerah Jahore Bahru, Batu pakat, Malcca, Port Swetterha, Penang, Sematan, Kuching, Lindu, Tawan.
3.         Mengenai daerah lainnya, atas persetujuan kedua belah pihak dapat ditetapkan sebagai daerah lintas batas.
Lintas batas di lautan ini menetapkan batas harga barang-barang yang dapat dibawa setiap perahu setiap kali pelayaran, yakni M$ 600. Persetujuan tersebut di atas kemudian diberi petunjuk pelaksanaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan Surat Nomor KBT/DDBT/CHZ/RUU/335/75, tanggal 25 Maret 1975, yang pada dasarnya mengatur antara lain :
1.         Pas lintas batas diberikan oleh Pejabat Imigrasi.
2.         Barang-barang yang boleh diperdagangkan, yakni :
a.              Barang Indonesia : hasil-hasil pertanian, hasil lainnya yang dihasilkan daerah lintas batas;
b.             Barang Malaysia : barang-barang kebutuhan sehari-hari, barang yang dibutuhkan.
3.         Perahu yang dapat dipergunakan tidak boleh melebihi 20 Meter kubik.
4.         Barang-barang yang dilarang inpor/ekspor tetap berlaku.
5.         Jika melebihi batas harga M$ 600, maka akan dipungut bea dengan memperhatikan surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 19 Mei 1970, Nomor Kep-287/MK/III/5/1970. Mengenai batas barang bawaan seharga US$ 25 setiap orang atau US$ 100 untuk setiap keluarga dibebaskan dari pungutan bea masuk.
e.       Perkecualian Dalam Tata Laksana Impor
Barang-barang impor yang mendapat perkecualian ialah:
1.        Barang diplomatic;
2.        Barang pindahan;
3.        Minyak bumi mentah;
4.        Bahan peledak dan lain-lain;
5.        Barang-barang impor berdasarkan Pasal 23 )B;
6.        Barang-barang hibah;
7.        Barang dagangan yang mempunyai nilai f.o.b. (free on board = bebas sampai di atas kapal) kurang dari US$ 5,00.00. tetapi batas barang-barang tersebut masih berlaku ketentuan pemeriksaan oleh Bea dan Cukai).

BAB V
TINDAK PIDANAPENYELUNDUPAN
Tindak pidana penyelundupan diatur dalam Pasal 25 OB ayat (I) dan Pasal 26b jo. Pasal 3 ayat (2) OB. Pasal 25 OB mengatur antara lain :
1.             Dapat dipidana, nakhoda yang dengan sengaja atau bersalah karena kelalaian:
a.              Tidak atau terlambat memenuhi peraturan tentang penyerahan dokumen-dokumen pada waktu keadaan kapal.
b.             Tidak menyebut barang-barang pada pemberitahuan atau daftar pemberitahuan yang dimaksud huruf a, termasuk didalamnya:
                                 I.          Memberitahukan kurang jumlah barang-barang yang dikemas lebih dari 10%;
                              II.          Tidak menyelesaikan PU/AA atau bukti-bukti pindah kapal dibongkar dalam duane terrain (daerah pabean)
                           III.          Sebelum berangkat ke daerah pabean, pada tuntutan pertama, tidak menunjukkan barang-barang menurut PU/AA atau bukti-bukti pindah kapal;
                           IV.          Mempunyai kekurangan atas jumlah bekal kapal yang diberitahukan, menurut pertimbangan melebihi pemakaian.
c.              Memuat barang-barang tanpa dokumen
2.             Dapat dipidana, barangsiapa dengan sengaja atau bersalah karena kelalaian:
a.              Pertama, Tidak memenuhi ketentuan tentang perlindungan pengangkutan, kecuali ketentuan yang dibuat berdasarkan Pasal 3 ayat (2) OB; Kedua, tidak memasukkan barang-barang kedalam entrepot atau tidak menyerahkan untuk diperiksa dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Ketiga, tidak memberikan bukti pengangkutan barang-barang ke luar daeah pabean dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Barangsiapa melakukan ketiga hal tersebut di atas atau atas nama siapa dilakukan, yang menyebabkan pemberian waktu itu, dianggap sebagai pelanggaran.
b.             Merintangi, mempersulit, atau tidak memungkinkan pemeriksaan atau pekerjaan lain-lain yang boleh atau dijalankan pegawai-pegawai.
c.              Memberitahukan salah tentang jumlah, jenis, atau harga barang-barang dalam PU/AA, penyimpanan dalam entrepot, pengiriman ke dalam/luar daerah pabean, atau pembongkaran, atau dalam PU/AA tidak menyebutkan barang-barang yang dikemas dengan barang lain.
d.             Merusak materai atau timah atau membuat perubahan, coretan-coretan, atau tambahan-tambahan di dalam dokumen-dokumen yang telah ditandatangani pegawai, maka barangsiapa yang mengusai, atau yang menyerahkan barang-barang atau dokumen-dokumen itu, dianggap sebagai pelaku delik.
e.              Tidak menyerahkan dokumen pada tuntutan pertama, atau menyerahkan dokumen yang tidak sah, disamakan dengan tidak mempunyai dokumen.
Pasal 3 ayat (2) )B yang disebut dalam Pasal 25 ayat (II)a diatas berbunyi :
       “dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan regelemen-regelemen yang terlampir padanya tentang pengangkutan ked an dari pelabuhan, maka menteri keuangan dengan semufakat menteri dalam negeri, berhak untuk menunjuk jalan-jalan daratan atau perairan atau daerah-daerah, di mana barang-barang yang ditunjuknya dilarang diangkut dan/atau berada dalam sebuah bengunan atau pekarangannya, jika tidak dilindungi dengan dokumen dari pegawai-pegawai bead an cukai atau dari jawatan-jawatan lain yang ditunjukknya”.
Perlu pengamatan lebih lanjut terhadap Pasal 25 ayat (II)c dan Pasal 26b OB.
Pasal 25 ayat (II)c OB : “dapat dihukum, barangsiapa dengan sengaja atau karena kelalaian memberitahukan yang tidak benar tentang jumlah, jenis, atau harga barang-barang dalam pemberitahuan pemasukan barang, penyimpanan dalam entrepot, pengiriman ke dalam atau ke luar daerah pabean atau pembongkaran, atau tidak memberitahukan barang-barang yang dikemas dengan barang lain”.
Pasal 26b OB : barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor barang-barang atau berupaya mengimpor atau mengekspor barang-barang tanpa mengindahkan akan ketentuan-ketentua dari ordonansi ini dan dari regelemen-regelemen yang terlampir padanya atau yang mengangkut ataupun menyimpan barang-barang bertentangan dengan sesuatu ketentuan larangan yang ditetapkan berdasarkan ayat kedua Pasal 3, dihukum… dan seterusnya.
Untuk lebih memudahkan, sebagian ahli melakukan pembagian atas delik yang tercantum dalam Pasal26b OB, yaitu :
1.             Menimpor atau mengekspor barang-barang atau berupaya mengimpor atau mengekspor barang-barang tanpa mengindahkan ketentuan OB dan regelemen-regelemen yang terlampir padanya.
2.             Mengangkut atau menyimpan barang-barang bertentangan dengan suatu ketentuan larangan yang ditetapkan berdasarkan Pasal 3 ayat (2) OB.
Pada butir 1, yang selalu dipermasalahkan adalah kata trachten. Hoge Raad (HR) pada tanggal 8 Februari 1932, (N) 1932, 1609 W 12501 menafsirkan trachten sebagai berikut:
“Bahwa dalam pengertian trachten tidaklah menjadi persoalan apakah betul-betul terjadi pengeluaran barang, sehingga dengan demikian masih dapat tercakup perbuata yang belum merupakan percobaan
Berdasarkan Pasal 26c OB, tindak pidana yang dimaksud Pasal 26b dianggap sebagai kejahatan. Sedangkan yang disebut dalam Pasal 25 ayat (II)c OB, yakni memberi laporan atau pemberitahuan yang salah dikategorikan sebagai pelanggaran. Pengertian pemberitahuan sangat luas. Dapat diartikan jumlah yang salah, timbangan yang salah, atau kualitas yang salah, bahkan dokumen berbeda dengan kenyataan barang. Untuk memcahkan masalah ini, perlu pengamatan lebih cermat terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No 7 Drt 1955 tentang TPE , yang mengatur bahwa tindak pidana ekonomi yang dilakukan dengan sengaja adalah kejahatan, yang dilakukan dengan tidak sengaja adalah pelanggaran. Yang perlu diperhatikan adalah,jika tertangkap di daerah peredaran bebas atau di tempat penimbunan di luar pelabuhan (dalam hal impor) atau telah dimuat ke dalam kapal (dalam hal ekspor), maka dikategorikan penyelundupan. Jadi melanggar Pasal 26b OB. Jika barang-barang masih masih dalam duane terrain (daerah pabean), masih dianggap penyelundupan administrasi, jadi melanggar Pasal 25 ayat (II)c OB. Terhadap barang-barang yang dilarang di impor/ekspor, tidak ada permsalahan dokumen, karena jelas telah terjadi tindak pidana penyelundupan yang melanggar pasal 26b OB.


BAB VI
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
PENYELUNDUPAN

Berdasarkan UU No. 8/Drt/1958, tindak pidana penyelundupan termasuk tindak pidana ekonomi. Penyidikan tindak pidana penyelundupan diatur dalam Pasal 25 UU TPE yang berbunyi sebagai berikut :
            “terhadap pengusutan tindak pidana ekonomi untuk selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam “Het Herziene Indonesische Reglement” (HIR) kecuali jika Undang-Undang darurat ini menentukan lain”.
HIR telah dicabut dan digantikan dengan KUHAP. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penyidikan/pengusutan tindak penyelundupan berdasarkan ketentuan penyidikan tindak pidana ekonomi dan KUHAP.  Penyidikan/pengusutan tindak pidana ekonomi diatur didalam beberapa Pasal, yaitu:
1.      Pasal 18 ayat (1) : penyidik setiap waktu berwenang menyita atau menuntut penyerahan barang-barang untuk disita :
a.       Barang-barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan;
b.      Barang-barang yang dapat dirampas;
c.       Barang-barang yang dapat dimusnahkan menurut ketentuan Undang-Undang.
2.      Pasal 18 ayat (2) : barang-barang tersebut hanya dapat disita jika disetujui oleh jaksa.
3.      Pasal 19 ayat (1) : pengusut setiap waktu dapat menuntut diperlihatkannya segala surat.
4.      Pasal 20 ayat (1) : pengusut setiap waktu dapat berhak memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya perlu dimasuki untuk menjalankan tugasnya.
5.      Pasal 19 ayat (2) : bila bertentangan dengan kemauan penghuni, pengusut tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah selain untuk mengusut suatu tindak pidana ekonomi dan disertai seorang komisaris, polisi, atau atas perintah tertulis jaksa. Berita acara dibuat dalam waktu dua kali 24 jam Pasal 19 ayat (3).
6.      Pasal 22 ayat (1) : Pengusut berwenang menuntut supaya bungkusan barang-barang dibuka.
7.      Pasal 23 ayat (1) : Pengusut dapat menghentikan kendaraan dan melakukan pemeriksaan.
Beberapa Hal dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyelundupan.
1.             Barang tak bertuan
Jika ternyata ada barang-barang yang tertimbun dipantai, sedangkan hubungan lancar, maka dapat dituntut dengan tuduhan percobaan penyelundupan, karena mengangkut ke pantai telah merupakan perbuatan pelaksanaan. Barang tak bertuan (aanbeherde goederen) yang diatur dalam Pasal 15 OB, adalah barang yang telah masuk ke dalam gudang pelabuhan tetapi telah lama dibiarkan pemiliknya.
2.             Pengangkutan kayu log
Begitu keluar dari logpot, pengangkut kayu wajib dilengkapi dengan surat-surat.

3.             Schikking
Schikking diatur dalam dalam Pasal 29 OB. Sehari-hari schikking diterjemahkan dengan denda koreksi, denda damai, denda ganti. Schikking ini tidak berlaku jika tindak pidana tersebut dianggap kejahatan. Pendelegasian wewenang Schikking kepada Menteri keuangan atas pelanggaran administrasi yang tidak melebihi Rp. 50.000,-. Batas Schikking oleh Menteri Keuangan ditetapkan sebesar 5.000.000,- dengan terlebih dahulu dibicarakan dengan kejaksaan setempat.
4.             Premi
Pemberian Premi diberikan kepada orang yang berjasa dalam pengusutan/penyelesaian perkara tindak pidana penyelundupan diberikan ganjaran/premi, berupa :
a.              Maksimum 20% dari jumlah nilai barang hukuman.
b.             Maksimum 20% dari jumlah hasil bersih penjualan barang-barang pelanggar tak dikenal.
c.              Maksimum 50% dari jumlah denda damai.
d.             Informasi maksimum Rp. 100.000,-.
e.              Pelapor maksimum Rp 50.000,-.

BAB VII
ANCAMAN HUKUMAN
Ancaman hukuman (sanksi) yang tercantum dalam UU TPE beruapa tindakan tata tertib atau pidana.
A.           Tindakan Tata Tertib
Tindakan tata tertib dapat dikenakan sebelum sidang pengadilan dimulai, biasanya disebut tindakan tata tertib sementara, dapat diterapkan oleh jaksa (Pasal 27 UUTPE) dan hakim (Pasal 28 UUTPE), yaitu:
1.      Penutupan sebagian/seluruh perusahaan si tersangka di mana TPE itu disangka dilakukan;
2.      Penempatan perusahaan si tersangka dimana tindak pidana ekonomi yang disangkakan dilakukan, dibawah pengampuan;
3.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka berhubung dengan perusahaan itu;
4.      Supaya tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
5.      Barang perusahaan tempat tersangka berusaha disita dan disimpan di tempat yang ditunjuk surat perintah.
Tindakan tata tertib tersebut dapat diperlakukan jika dader penyelundupan adalah badan hukum/badan usaha. Terhadap tindakan tata tertib ini, si tersangka dapat mengajakun bandingan kepada Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah tindakan tata tertib tersebut (Pasal 30 UUTPE).
Selain tindakan tata tertib yang dilakukan jaksa/hakim sebelum persidangan, dpat juga tindakan tata tertib yang dijatuhkan hakim dalam putusan (Pasal 18 UUTPE), yakni:
1.             Penempatan perusahaan si terhukum dibawah pengampuan selama-lamanya 3 tahun jika kejahatan, dan 2 tahun jika pelanggaran.
2.             Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebesar Rp. 100.000,- jika kejahatan, dan Rp. 50.000,- jika pelanggaran.
3.             Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuantungan yang diperoleh dari penyelundupan tersebut.
4.             Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.

B.            Pidana.
Ancaman pidana terhadap pelanggaran UUTPE diatur dalam Pasal 6 yang antara lain sebagai berikut:
1.      Kejahatan diancam dengan maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1.000.000,-;
2.      Pelanggaran diancam dengan maksimal 2 tahun penjara dan denda Rp 100.000,-.
Berdasarkan UU No. 21/Prp/1959, tanggal 16 November 1959, ancaman tersebut diatas diperberat, yakni:
1.      Pasal 1 ayat (1): hukuman denda setingi-tingginya tiga puluh kali yang ditetapkan UUTPE.
2.      Pasal 1 ayat (2): jika tindak pidana tersebut menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat, maka ancaman hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. Kekacauan ekonomi dalam masyarakat harus dibuktikan terlebih dahulu.
Jadi, dakwaan dan putusan bagi Tindak pidana penyelundupan adalah berdasarkan UU No. 7/Drt/1955 jo. UU No. 8/Drt/1958 o. Pasal 1 UU No. 21/Prp/1959 jo. Pasal 26b OB. Perlu diperhatikan penjelasan resmi UU No. 21/Prp/1959 yang berbunyi :
Menurut Undang-Undang darurat Nomor 7 Tahun 1955, ada kemungkinan untuk hakim memilih antara hukuman badan atau menjatuhkan kedua-duanya hukuman itu, menurut Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang ini hakim harus menjatuhkan kedua-dua hukuman itu.


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1994, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Bandung, Rineka Cipta.
---------------, 1977, Hukum Pidana ekonomi, Jakarta, Erlangga.
Baharudin Lopa, 1980, Tindak Pidana Ekonomi Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan, Jakarta, Pradnya Paramita.
Edi Setiadi, 2010, Hukum Pidana Ekonomi Cetakan Pertama, Yogyakarta, Graha Ilmu
Loebby Loqman, 2002, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom.
Philpus M. Hadjon, et.al, 1993, Pengantar Hukum Administrasi di Indonesia, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi.





[1] Muhammad Nurul Huda, Materi Kuliah Delik Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, 2012