Kamis, 24 November 2011

Meneropong Calon Pimpinan KPK 2011-2015


Muhammad Nurul Huda
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Menengok kembali calon pimpinan KPK dimasa mendatang sangatlah perlu, mengingat harapan masyarakat sangat terlalu tinggi kepada pimpinan KPK yang akan segera dipilih oleh DPR. Harapan tersebut tidaklah terlalu salah, mengingat gebrakan KPK dalam melakukan penangkapan koruptor-koruptor yang mengambil uang negara secara tidak sah. masih ingat dibenak rakyat, bagaiamana anggota Polisi, Jaksa, Hakim dan mantan menteri yang dilumpuhkan KPK karena telah melakukan pencurian uang negara.
Kembali kepada harapan masyarakat sejatinya menjadi toluk ukur DPR dalam memilih pimpinan KPK untuk 2011-2015. Saya tidak mengatakan benar bahwa calon pimpinan KPK yang berasal dari mantan jaksa dan polri itu buruk, akan tetapi disinyalir nantinya mereka setelah menjadi pimpinan KPK akan terganggu kerjanya mengingat keburukannya selama semasa bertugas dilembaga yang membesarkannya.
Tidak bisa ada yang menyangkal jeruk akan membela jeruk, setidaknya itulah ungkapan yang sering kita jumpai dalam setiap pemikiran ketika berbicara mengenai egoisitas kelembagaan walaupun mereka tersebut telah pensiun. Komitmen yang dilontarkan mereka sebelum menjadi pimpinan KPK lebih manis daripada madu yang datang dari surga, akan tetapi setelah terpilih menjadi pimpinan KPK segera setelah itu madu yang datang dari surga tersebut menjadi gula yang dipenuhi semut-semut yang ingin mencicipi bagaiamana rasanya gula itu. Dengan perkataan lain, madu tetaplah madu dan gula tetaplah gula, sehingga apabila hal ini tidak bisa dipisahkan maka yang terjadi adalah pemberantasan korupsi dengan banyak berbicara tetapi tidak ada hasil dan ini sama saja artinya orang tersebut hanya mencari jabatan dan bukan pengabdian kepada negara.
Penegak hukum sebaiknya tidak usah banyak bicara, cukup saja bekerja dan biarlah humas yang menyampaikan pesan-pesan atau informasi-informasi yang berkaitan dengan penegakan hukum. disini saya melihat seakan-akan pimpinan penegak hukum hanya disibukkan mencari popularitas tetapi hasilnya nol besar. Kenapa saya mengatakan begitu, karena yang ditangkap hanya kasus ecek-ecek, sedangkan kasus yang serius dan merugikan keuangan negara yang sangat besar tidak ditanggapi. Wajar saja kalau ada sebagian masyarakat menyatakan bahwa pimpinan Jaksa dan Kapolri hanya kumis saja yang dapat dibanggakan, sedangkan untuk pimpinan KPK sekarang hanya disibukkan mengeluarkan opini yang tidak jelas dan tidak ubahnya dengan DPR. Lain lagi dengan lembaga yudikatif, antara komisi yudisial dan MA sama-sama disibukkan masalah kewenangan, hal ini tidak ubahnya seperti ‘anak TK’ yang tidak tahu sudah kelas berapa dia belajar di TK.
Terakhir, mengingat ada delapan nama yang telah diluluskan pansel KPK, saya dan masyarakat Indonesia berpesan kepada DPR pilihlah pimpinan KPK yang mempunyai komitmen kuat dalam memberantas korupsi (Bank Centuri, BLBI, dan lain-lain) dan juga jangan terpengaruh oleh peringkat-peringkat (seperti sekolah saja!) yang telah ditetapkan oleh Pansel KPK.

Rabu, 23 November 2011

Tanggapan Atas Pengkritik Positivisme


Muhammad Nurul Huda
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebebasan berpikir terus mengalami perubahan. Perubahan itu tentunya harus disikapi dengan baik dan bijaksana. Begitu juga dengan pandangan terhadap hukum. begitu banyaknya aliran hukum tentunya sangat dipengaruhi ide yang diterima sejak awalnya. Akan tetapi, ide tersebut juga bisa berubah ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu, sebut saja misalnya, pengaruh literatur-literatur yang dibaca.
Tentunya, adanya perbedaan terhadap pemakaian aliran hukum ini harus disikapi secara objektif dan tidak boleh ada mengatakan bahwa aliran tersebut sudah menjawab semuanya. Kesalahan berpikir seperti ini seharusnya tidak pernah ada di dalam negara yang beradab. Setiap waktu tentu saja berputar sehingga ada siang dan malam. Perkembangan aliran hukum juga sangat dipengaruhi oleh postur-postur politik, ekonomi dan budaya  yang ada didalam negara yang beradab.
Postur-postur diatas tentunya akan menjadi bagaimana hukum tersebut ‘berjalan’. Saya akan membahas postur hukum bila ditopang oleh kemauan politik yang baik. politik diatas kertas sangat indah dan juga dapat saya katakana lebih indah dari ‘surga’ yang dijanjikan oleh tuhan. Akan tetapi keindahan tersebut sirna setelah politik tidak lagi dimainkan oleh orang-orang yang secara serampangan memahami politik. Bisa dilihat, politisi yang ada banyak tidak mendapatkan bekal yang memadai, dan juga tidak berasal dari ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah. Keadaan ini tentunya membuat postur politik menjadi semakin tidak mempunyai arah, dan dengan demikian terjadilah ‘penyimpangan politik’. Mengapa saya mengatakan apabila politik baik, maka hukum akan baik, karena hukum adalah merupakan produk politik. Apabila politik hukum yang dilakukan oleh pembuat hukum tidak baik tentunya terjadilah ‘kebingungan hukum’ didalam dunia realitas, sehingga yang terjadilah adalah adanya aliran-aliran hukum yang mengatakan demi kehidupan sosial, membela rasa keadilan peraturan perundangan-undangan tersebut tidak baik dan dianggap gagal dan juga lebih sporadis mengatakan hukum posivistik tidak bisa menjawab rasa keadilan masyarakat. Sebenarnya ini merupakan kegagalan berpikir sepanjang sejarah yang pernah saya jumpai.
Kedua, hukum juga berjalan baik apabila di topang oleh postur ekonomi yang baik dalam suatu negara. Saya menyadari bahwa, globalisasi yang terjadi saat ini tidak mempunyai ketentuan-ketentuan yang baik (dan juga sudah kehilangan arah). oleh karenanya globalisasi harus lebih disikapi dengan baik dan terukur. Kembali kenapa hukum berjalan dengan baik apabila ekonomi dalam suatu negara membaik. Pertumbuhan ekonomi sering dikatakan penyebab terjadinya kejahatan dan yang sering disalahkan adalah adanya perbedaan yang jauh antara dan yang miskin. Saya begitu tidak setuju adanya persamaan ekonomi yang sama diantara ‘mahluk hidup di bumi’. Karena apabila adanya persamaan yang tidak jauh merupakan salah satu masalah besar kemudian hari (masalah besar ini akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan berikutnya). Postur ekonomi tersebut sedemikian rupa harus dapat menyamakan dengan kemajuan ‘perjalanan hukum’ kalau tidak yang terjadi adalah permasalahan baru kembali. Sebut saja misalnya, apabila pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan akan tetapi peraturan ekonomi nya belum baik, maka banyaknya korporasi yang merasa menjadi raja atas diatas negara. Sebagai contoh dapat dilihat ada 150 perusahaan yang diungkapan oleh Gayus H Tambunan. Apa yang terjadi dengan 150 perusahaan tersebut ialah menjadi raja diatas negara. tentunya contoh lain masih banyak, dan cukup untuk dijadikan perbaikan. Selagi saya menyebutkan kesalahan tersebut bukan terletak kepada aliran hukum, tetapi lebih kepada tidak seimbangnya kemajuan antara postur ekonomi dan hukum.
Terakhir, terkait dengan budaya memang memiliki pengaruh, akan tetapi pengaruh dari budaya ini tidak terlalu signifikan, karena pengaruh dari budaya ini merupakan perilaku-perilaku yang tampak langsung. Tentu saja penulis tidak mengesampingkan pengaruh budaya dalam postur hukum. saya tidak bersepakat bahwa budaya tersebut tidak bisa berubah. Budaya tersebut bisa berubah karena dipengaruhi oleh politik dan ekonomi. Tetapi saya lebih cenderung mengatakan budaya lebih cenderung terkikis oleh ekonomi. Aliran hukum juga disini tidak boleh mengatakan bahwa dengan alasan masyarakat dan rasa keadilan masyarakat membenarkan alirannya, akan tetapi lebih baik meninjau kembali alasan untuk membenarkan alirannya dengan membawa alasan masyarakat (yang mana!) dan rasa keadilan (siapa!).
Sehingga, diakhir catatan ini saya dapat mengatakan bahwa, tentu saja kritikan terhadap aliran hukum yang dikatakan tidak baik lagi untuk zaman sekarang sebaiknya ditinjau ulang kembali.