Kamis, 07 Juli 2011

Problem Penegakan Hukum


Problem Penegakan Hukum
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].

Perjalanan penegakan hukum di Indonesia yang saat ini kita perhatikan masih dalam keadaan carut-marut dalam setiap proses penegakan hukum itu sendiri. Carut-marutnya penegakan hukumdi Indonesia disebabkan antara lain karena wacana penegakan hukum ternyata masih keliru cara pencapaiannya. Hal ini tentunya terllihat dari landasannya berpikirnya adalah proses penegakan hukum yang berlandaskan pada pemikiran hukum itu sendiri, dan juga hanya dilandaskan pada undang-undang sebagai manifestasi dari hukum tanpa melihat teori-teori yang bersesuaian dengan keadaan yang seharusnya.
Undang-Undang itu sebagai penerjemahan dari pikiran-pikiran (mindset) hukum, ide-ide hukum. dengan demikian, undang-undang tidak boleh berdiri sendiri tanpa dilandasi oleh pemikiran-pemikiran atau konsep yang dibutuhkan oleh hukum. Akan tetapi tidak lucunya bangsa Indonesia sekarang ini adalah masih syndrome dengan berhukum yang politis, atau juga dapat dikatakan berhukum dengan cara “akal-akalan”, artinya ialah banyaknya perkara tidak diselesaikan dengan hukum yang telah ada tetapi dikerjakan dengan “asal dapat bagian yang sama”.
Setelah berlalunya rezim otoriter mantan Presiden Soeharto dengan lahirnya reformasi, ternyata cara berhukum tidak lebih baik dengan apa yang dipertonton saat sekarang ini, yakni banyaknya penegak hukum sebagai pengatur pemenang perkara daripada berhukum apa yang telah disepakati bersama dalam artian apa yang telah dirumuskan oleh masyarakat melalui perwakilannya.  Ironisnya sekarang, hukum itu sendiri telah dijadikan permainan oleh mereka-mereka yang mengerti hukum, hal ini terlihat banyaknya hukum didominasi oleh mereka sendiri yang mengerti hukum. bahkan jauh dari itu lagi perilaku pelanggar hukum dilakukan dengan cara memayungi perbuatannya itu dengan media politik, antara lain dapat dilihat banyaknya “uang rakyat yang di Ranpok” dengan cara membuatkan “perda-perda” dan dianggaplah sah uang tersebut padahal perda itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, hal ini terjadi dikarenakan para politikus memanfaatkan “kebodohan” masyarakatnya.
Sadjipto Rahardjo mengatkan bahwa hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum salah satunya adalah bergesernya hukum menjadi “permainan” dan “bisnis”, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya derajad hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing Justice)[2]. Sebenarnya, hukum adalah kajian ilmu yang selalu berubah, (hal tersebut bisa dilihat banyaknya undang-undang yang belum sempat berulang tahun) dengan perubahan-perubahan itu mengharuskan hukum harus selalu eksis menyesuaikan diri dengan bergesernya pradigma kehidupan manusia, akan tetapi kenyataannya hukum dalam perkembangannya selalu mengikuti langkah nyata kehidupan manusia.
Dapat dikatakan bahwa, seharusnya hukum diartikan sebagai perwujudan perikehidupan manusia, perilaku manusia yang baik, hukum tidak selalu harus ditempatkan pada posisi belakang dari setiap langkah manusia yang beradab. Sebagaima yang kita ketahui bahwa, Indonesia telah membukukan dirinya sebagai Negara hukum, artinya semua sendi-sendi kehidupan Negara harus didasarkan pada keselarasan etika dan moral. Keselarasan tersebut dapat dikatakan sebagai semua sendi kehidupan harus teratur atau tunduk kepada keteraturan yang baik dan terukur, keteraturan itu harus didasarkan kepada rumusan-rumusan keseimbangan, rumusan keseimbangan itu seyogyanyadapat diartikan sebagai sebuah keadilan dan pernghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang sempurna, yang harus pula didasarkan pula pada postulat-postulat yang ada dalam hati sanubari manusia sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya dimuka bumi dan jugasebagai peletak dasar nilai-nilai dan ide-ide yang baik yang ada dalam jiwa manusia yang paling dalam.
Tidak demikian halnya yang terlihat, justru kenyataannya sampai sekarang hukum yang sesungguhnya belum mampu menyentuh sendi kehidupan bangsa Indonesia sebagai tuan rumah yang baik. “Hukum” yang dilihat sekarang juga masih sering kita temukan keberpihakannya, sehingga hukum (peraturan perundang-undangan) masih berada pada lapisan masyarakat diwilayah tertentu atau dengan kata lain belum semua yang memahami dengan baik.
Bila kita lihat, Problem Penegakan hukum di Indonesia masih sering ditandai dengan ketidakpuasaan subjek hukum ketika hukum itu “dijalankan” pada tahap awal sampai dengan finalisasi hukum itu sendiri. Karena masalah penegakan hukum di Indonesia masih sangat kental denagn warna bahwa penegakan hukum itu belum terlaksana, penegakan hukum baru berada dan berhenti pada penegakan peraturan perundang-undangan belaka atau berhenti pada pintu masuk peraturan hukum tanpa mau masuk lebih jauh lagi kedalam dunia hukum yang sebenarnya. Peraturan perundang-undangan sangat kental dengan aroma politis, sehingga akan berpengaruh kepada pencapaian cita-cita pada sebuah tujuan yang sangat terpuji, yaitu penegakan hukum, yaitu yan baru hanya dapat bersandar kepada bentuk penegakan hukum dengan mengandalkan koneksi tanpa mengetahui peraturan itu sesungguhnya dan diperparah lagi dengan adanya saling “dapat untung dari perkara yang dibawa ke pengadilan”. Hal ini dikatakan oleh Sadjipto Rahardjo bahwa Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa[3], maka jadilah Problem Penegakan Hukum menjadi carut-marut.
Terakhir penulis hanya dapat mengatakan bahwa, bawalah ilmu yang sudah baik kamu dapatkan dari sekolah-sekolah hukum tempat kamu mendapatkannya. Semoga.




[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011
[2] Sadjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, Januari 2006
                   [3] Sadjipto Rahardjo, “Berhukum Dengan Akal Sehat”, Kompas, 19 Desember 2008

Antisipasi Bank Indonesia Dalam Rangka Menghadapi Risiko Perbankan Bayangan Di Indonesia


Antisipasi Bank Indonesia Dalam Rangka Menghadapi Risiko
Perbankan Bayangan Di Indonesia
Oleh
Muhammad Nurul Huda[1].

Tidak akan dapat diketahui dengan tepat terstruktur Negara Indonesia dengan hanya menyelidiki Undang-Undang dasar 1945. Undang- undang Dasar 1945 hanya rangka dasar formil Negara Indonesia. Untuk mengetahuinya Negara Indonesia yang sebenarnya harus diselidiki kenyataan-kenyataan sosio politi secara kesluruhan[2].
Kehidupan masyarakat pasti dan selalu menimbulkan fenomena dan gejala, dengan demikian politik hukum sangat diperlukan bagi kehidupan masyarakat, pemerintah, atau Negara yang sedang berubah, atau membangun atau berkembang. Pembahsan Negara hukum, sistem demokrasi, dan politik hukum sejak lahir dan berdirinya Negara Republik Indonesia, atas dasar Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia pada hari dan tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan satu kesatuan dengan pidato Proklamasi, hingga saat ini tak kunjung dapat diselesaikan dengan tuntan[3].
Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembiatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif[4]. Sementara itu, berhadapan dengan perkembangan dunia, bangunan ekonomi Indonesia yang ingin dibangun lemah, dan telah mengalami krisis[5]. Berkaitan dengan itu maka dibutuhkan pembengunan hukum yang kokoh untuk Indonesia yang lebih maju.
Pembangunan hukum itu sendiri diarahkan untuk mengahasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintahan dan penyelenggraan pembangunan nasional, maka penyusunan rencana strategi pembangunan hukum sangat diperlukan guna mendudkung pembangunan nasional, yang secara mendasar memerlukan pula hukum yang lebih mantap.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa untuk berhasilnya pembangunan hukum haruslah terlebih dahulu disiapkan lembaga-lembaga, mekanisme penyusunan perundang-undangan, maupun yurisprudensi, para pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan peraturan tersebut, proses dan prosedur dan semua sarana dan prasarana, termasuk kesadaran dan prilaku hukum masyarakat untuk dapat menerima kehadiran peraturan beserta lembaga hukum dan segala sarana yang baru. Oleh karena itu pembangunan dibidang hukum harus dilaksanakan secara sistemik dan holistic melalui rangkaian kegiatan yang terdiri dari langkah-langkah strategis yang didasarkan pada program-program pembangunan hukum dan dilaksanakan menurut hukum dan dilaksanakan menurut pola dan mekanisme yang terarah, sinkron, terpadu dan realistic yang dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat untuk jangka waktu 25-30 tahun yang akan datang.
Berkaitan dengan itu, perbankan sangat mempengaruhi kegiatan suatu Negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bankmdisuatu Negara dapatmpula dijadikan ukuran kemajuan suatu Negara yang bersangkutan.semakin maju suatu Negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan Negara tersebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.
Di Indonesia istilah perbankan bayangan sama sekali belum dikenal. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membedakan pengertian perbankan dan bank. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adapun bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menilik definisi di atas, sangat sulit memberikan definisi yang pas tentang perbankan bayangan. Apakah perbankan bayangan itu berbentuk bank atau hanya kegiatan yang serupa dengan bank, namun tidak melaksanakan ketentuan dalam perundang – undangan yang mengatur tentang bank dan lembaga keuangan.
Munculnya istilah perbankan bayangan sering dikaitkan dengan pola kebijakan Alan Greenspan (Gubernur The Federal Reserve AS periode 1987 – 2006). Kebijakan moneter yang longgar telah membuat likuiditas atau uang mengalir deras dalam perekonomian. Dengan berbagai kompleksitas mekanisme peredarannya, pada prinsipnya, uang yang mengalir deras itu telah membuat membuat fenomena gelembung dalam perekonomian. Mengapa faktor Greenspan begitu penting? Pertama, dia adalah orang yang dianggap berhasil menakhodai perekonomian AS melampaui dua peristiwa besar, yaitu stagnasi dan inflasi pada era tahun 1980-an. Kedua, kebijakannya dianggap mampu membawa perekonomian AS menuju kemakmuran pada era 1990-an, di mana lapangan kerja tercipta dengan cukup besar. Ketiga, perannya dianggap penting untuk mendinamisasi  pasar modal AS. Berkat kepemimpinannya, Dow Jones menembus angka psikologis yang belum pernah tercapai sebelumnya[6].
Selain kebijakan longgar, perbankan bayangan muncul dikarenakan dua faktor. Pertama, dibatalkannya undang – undang yang mengatur pemisahan bank komersial dengan bank investasi dalam Glass Steagal Act yang ditetapkan sejak 1933. UU tersebut dibatalkan pada tahun 1999. Pembatalan UU ini dianggap sebagai salah satu momentum berkembangnya apa yang dinamakan sebaagi “sistem perbankan bayangan”.
Dalam sistem perbankan konvensional, deposan menaruh uangaya pada institusi perbankan (commercial paper, saving institution, dan credit union) dan kemudain disalurkan sebagai kredit, baik untuk komersial (commercial loans) maupun konsumsi (consumer loans). Namun, dalam perbankan bayangan, dana pihak ketiga (DPK) dari para deposan diputar dalam investasi produk – produk derivatif yang beraneka ragam, seperti RMBS, ABS, CMBS, dan berbagai produk lain seperti CDO, SIV, dan CDS.
Lewat sistem perbankan bayangan inilah sektor finansial berkembang pesat melebihi sektor riil. Transaksi keuangan tak lagi membutuhkan jaminan asset. Di atas kertas, instrument keuangan ini diciptakan dalam rangka risk sharing management. Namun, dalam praktik, mereja itu pada dasarnya menyembunyikan risiko transaksi dari transaksi lama dan menciptakan risiko dengan transaksi baru yang jauh lebih besar. Dalam sebuah sistem yang kompleks seperti itu, siapa yang harus bertanggung jawab? Masing – masing pihak lainlah yang harus bertanggung jawab.
Di Indonesia, perbankan bayangan belum terlalu rumit, namun masih sederhana. Masih terbatas dalam surat utang negara, walaupun akhir – akhir ini pemerintah mulai mengeluarkan model secondary mortgage fund untuk pendanaan perumahan rakyat. Perusahaan sekuritas di Indonesia, sampai sekarang masih terbatas melakukan pergerakan dalam pengumpulan modal untuk membawa hot money (modal jangka pendek) ke pasar modal. Belum sampai ke menjual instrumen derivatif sebagaimana terjadi di AS.
Situasi di AS sekarang, bisa dikata tidak terjadi di Indonesia sekarang. Namun, di tengah perkembangan ekonomi keuangan dan masyarakat yang semakin konsumtif. Boleh jadi krisis AS yang disebabkan subprime mortgage (kredit perumahan berkualitas rendah) dapat terjadi. Jika benar terjadi, langkah apa yang seharusnya dilakukan Bank Indonesia sebagai pengawas otoritas jasa keuangan, sebelum UU OJK terbentuk. Serta langkah antisipasi apa yang seharusnya dilakukan BI agar sistem perbankan bayangan tidak merusak sistem perbankan konvensional.

Instrumen hukum yang harus digunakan BI untuk mengatasi gejolak keuangan yang ditimbulkan oleh sistem perbankan bayangan.
Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.. BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Untuk periode 2008-2013, Darmin Nasution menjabat posisi sebagai Gubernur BI menggantikan Boediono yang menjadi Wakil Presiden[7].
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya[8]. Berkaitan dengan itu, perbankan sangat mempengaruhi kegiatan suatu Negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bankmdisuatu Negara dapatmpula dijadikan ukuran kemajuan suatu Negara yang bersangkutan.semakin maju suatu Negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan Negara tersebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.
Lain halnya dengan dinegara-negara berkembang, seperti Indonesia, pemahaman tentang bank dinegeri ini baru sepotong-potong. Sebagian masyarakat hanya memahami bank sebatas tempat memindahkan jam dan menyimpang uang belaka. Bahkan terkadang sebagian masyarakat sama-sekali belum memahami bank sering diartikan secara keliru. Selebihnya banyak masyarakat yang tidak paham sama sekali tentang dunia perbankan. Semua ini dapat dipahami karena pengenalan dunia perbankan secara utuh terhadap masyarakat sangatlah minim, sehingga tidaklah mengherankan keruntuhan dunia perbankanpun tidak terlepas dari kurang pahamnya pengelola perbankan ditanah air dalam memahami dunia perbankan secara utuh[9].
Dalam dunia modern saat sekarang ini, peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu Negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu saat ini dan dimasa yang akan datang tidak akan dapat dilepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalankan aktivitas keuangan, baik perorangan maupun lembaga, baik sosial maupun perusahaan.
Begitu pentingnya dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan nyawa untuk menggerakkan roda perekonomian suatu Negara. Anggapan ini tentunya tidak salah, karena fungsi bank sebagai lembaga keuangan sangatlah vital, misalnya dalam penciptaan uang, mengdarkan uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainnya.
Bank juga disebut sebagai lembaga perantara keuangan atau Finacial Intermediary. Sebagai lembaga perantara keuangan, artinya bank menjebatani kebutuhan dua nasabah yang berbeda, satu pihak, merupakan nasabah yang memiliki dana dan pihak lainnya merupakan nasabah yang membutuhkan dana. Bank menghimpun dana dari masyakarat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Produk simpanan yang ditawarkan oleh bank antara lain simpanan giro, tabungan, deposito, dan produk penghimpunan dana lainnya. Fungsi lainnya adalah penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk penempatan dana lainnya. Sebagia besar penayaluran dana pihak ketiga ialah dalam bentuk kredit. Kredi yang diberikan oleh bank secara garis besar dilihat dari segi tujuan penggunaan dapat dibagi menjadi kredit investasi, kredit modal kerja, dan komsumsi. Kredit investasi merupakan jenis kredit yang diberikan oleh bank untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pengadaan barang modal. Kredit modal kerja merupakan kerja perusahaan. Kredit konsumsi merupakan jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan barang konsumsi yang habispakai dan digunakan untuk keperluan pribadi[10].
Sistem keuangan juga menjadi perhatian daripada perbankan itu sendiri, sistem keuangan dinegara-negara asia, termasuk Indonesia, telah mengalami perubahan yang berarti selama decade 80-an sampai sekarang. Hampir semua Negara asia melakukan liberalisasi sistem keuangan yang pada umumnya disertai kelonggaran arus modal asing dan pengawasan devisa. Perubahan tersebut mendorong perubahan arah kebijakan moneter, memengaruhi hubungan antara permintaan uang, pendapatan dan suku bungan dan mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang instrumen-instrumen moneter yang tepat untuk menentukan kebijaksanaan yang dikeluarkan. Meskipun leiberalisasi tersebut diikuti oleh paket-paket kebijakan lainnya yang disempurnakan, namun belum dapat mengurangi kelemahan diberbagai sektor perekonomian yang ada.
Beranjak dari apa apa yang diuraikan diatas jelaslah bahwa sistem keuangan memegang perranan yang sangat penting dalam perekonomian seiiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) kepada pihak yang membutuhkan dana (lack of funds). Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi pihak tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai[11].
Selanjutnya, Perbankan adalah sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya[12]. Indonesia sampai saat ini hanya menyandarkan diri pada dua peraturan umum, yaitu Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan yang mengatur bahwa industri keuangan antara bank dan nonbank harus dipisahkan sampai sekarang belum ada. Pada Pasal 7 Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan Bank Umum dapat melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya ketentuan ini, beberapa bank nasional dan bank swasta ramai – ramai mendirikan perusahaan sekuritas, seperti BNI Securities (Bank BNI), Mandiri Securities (Bank Mandiri), dan Bhakti Investama Securities (Grup BCA).
Sampai sekarang Indonesia belum mempunyai peraturan yang melarang bank dan nonbank bersatu. Bank – bank sendiri dalam menjalankan kegiatan usaha bank dan nonbank secara bersamaan hanya mendasarkan diri pada prinsip kehati-hatian. Artinya, jika bank tidak hati – hati maka krisis perbankan dapat terjadi; sehingga meruntuhkan sistem perbankan. Dari penelitian penulis, instrumen yang bisa dipakai oleh Bank Indonesia agar tidak terjadi sistem perbankan bayangan di Indonesia adalah Basel Record II.
Dalam Basel II dinyatakan bahwa setiap otoritas pengawas perlu mempertimbangkan aspek prioritas sebelum mengadopsi Basel II.  Melalui implementasi Basel II, Bank Indonesia pada dasarnya ingin meningkatkan aspek manajemen risiko agar bank semakin resisten terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri, regional maupun internasional. Dalam Basel II, bank diminta untuk mengalokasikan modal yang lebih kecil untuk counterparty yang memiliki peringkat lebih tinggi dan modal yang lebih besar untuk yang lebih berisiko. Framework tersebut disusun dalam tiga pilar, yaitu:
1)          Pilar 1 yang terkait dengan persyaratan modal minimum yang harus disediakan oleh masing-masing bank untuk mengcover eksposur kredit, pasar dan operasional.
2)          Pilar 2 khusus terkait dengan proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa tingkat permodalan bank mencukupi untuk mengcover risiko bank secara keseluruhan.
3)          Pilar 3 terkait dengan disiplin pasar dan rincian mengenai batas minimum untuk pengungkapan kepada publik.
Perbankan bayangan muncul karena perbankan konvensional tidak memperhitungkan risiko kredit. Dalam Basel II, risiko kredit dari pemberi pinjaman dimitigasi jika debitur memberikan agunan atau pihak ketiga menjamin kewajiban debitur, ketika bank membeli proteksi kredit, sebagai contoh melalui derivatif kredit, dan lain-lain. Basel II memberikan pengakuan yang lebih luas terhadap teknik-teknik mitigasi risiko kredit dibandingkan Accord 1988. Basel II memungkinkan bank untuk mengakui agunan-agunan sebagai berikut.
1.          Kas
2.          Surat utang tertentu yang diterbitkan oleh pemerintah, public sector entities, bank, perusahaan dan perusahaan sekuritas.
3.          Sekuritas ekuitas tertentu yang dapat diperdagangkan.
4.          Reksadana tertentu.
5.          Emas[13].
Untuk bank yang menggunakan standardised approach untuk menghitung risiko kredit, Basel II menetapkan dua kemungkinan pendekatan, yaitu:
1.          Simple approach yang memungkinkan tagihan yang dijamin menerima bobot risiko yang dikenakan kepada instrumen agunan dengan batasan terendah sebesar 20%.
2.          Comprehensive approach terfokus pada nilai tunai dari agunan. Pendekatan ini menggunakan haircut untuk memperhitungkan volatilitas nilai agunan. Haircut dapat berupa haircut standar yang telah ditetapkan (ditetapkan oleh Basel Committee) atau menggunakan estimasi volatilitas agunan yang disusun oleh bank[14].
Di Basel II ini, sistem perbankan juga diadopsi namun dengan ketentuan yang ketat. Menurut Sigit Pramono, sekuritisasi yang berlaku di Indonesia hanya terjadi satu kali saja, bukan dua kali atau lebih. Misalnya dari residential mortgage menjadi residential mortgage backed securities, sehingga masih berkecimpung di pasar modal saja. Bukan lagi masuk ke dana lindung (hedging) atau instrumen investasi lainnya. Situasi ini masih menguntungkan bagi kondisi perekonomian dan mendongkrak inovasi perbankan. Pola ini juga dipakai pemerintah dalam pembentukan infrastructure fund, di mana perbankan bayangan ala Indonesia tidak hanya bergeliat di sektor finansial.
Adapun pengertian sekuritisasi adalah teknik yang digunakan bank untuk antara lain memindahkan risiko dan mendapatkan likuiditas. Dalam bentuk tradisional, aset bank dimasukkan dalam satu kelompok yang selanjutnya dijual dengan menerbitkan sekuritas yang dijamin dengan kelompok aset tersebut. Dalam Basel II, bank harus menerapkan kerangka sekuritisasi dalam menetapkan kebutuhan modal terhadap eksposur yang berasal dari sekutitisasi tradisional dan sintetis atau struktur yang sama yang memuat fitur-fitur tersebut[15].
Oleh karena sekuritisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, penetapan modal dalam eksposur sekuritisasi harus ditetapkan berdasarkan muatan ekonomis dibandingkan bentuk legalnya. Hal yang sama, pengawas akan lebih menitikberatkan perhatiannya pada muatan ekonomis dari transaksi untuk menetapkan apakah hal tersebut mengacu pada kerangka sekuritisasi dalam kaitannya dengan penetapan kebutuhan permodalan.  Dalam sekuritisasi, bank dapat berperan sebagai kreditur asal atau investor dari aset yang disekuritisasi dan peran yang sebenarnya dari dua kategori ini sangat bervariasi. Bagaimanapun bentuknya, Basel II menekankan bahwa bank harus mengalokasikan modal terhadap berbagai bentuk sekuritisasi.
Sistem perbankan bayangan tidak begitu berkembang di Indonesia, karena masih susahnya masyarakat Indonesia mengakses kredit di bank umum, bukan di bank perkreditan rakyat atau koperasi. Jadi, proporsi utang yang ditimbulkan household masih sangat rendah. Namun, proporsi utang yang ditimbulkan oleh sektor bisnis menjadi sangat besar. Seperti yang terjadi di masa lalu, krisis ekonomi 1997/1998 pola rembetannya tidak berasal dari kegagalan pribadi/orang membayar likuiditasnya atau membayar utangnya. Namun berasal dari sektor bisnis yang gagal membayar utangnya (terutama yang masih terafiliasi) serta perilaku moral hazard dari bankir yang melarikan modal bank atau menukar rupiah dengan mata uang, terutama dollar AS kala itu.
Pemerintah dan Bank Indonesia juga sudah mempunyai cara untuk menangani bank yang gagal bayar lagi dengan mengaturnya pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Dalam perppu tersebut pokok – pokoknya antara lain:
1.          Jaring  Pengaman  Sistem  Keuangan  adalah  suatu mekanisme  pengamanan  sistem  keuangan  dari  krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
2.          Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal  secara  efektif  menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.
3.          Berdampak  Sistemik  adalah  suatu  kondisi  sulit  yang ditimbulkan oleh suatu bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar  keuangan  yang  apabila  tidak  diatasi  dapat menyebabkan  kegagalan  sejumlah  bank  dan/atau LKBB  lain  sehingga  menyebabkan  hilangnya kepercayaan  terhadap  sistem  keuangan  dan perekonomian nasional.
4.          Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD,  adalah  fasilitas  pembiayaan  dari Bank  Indonesia yang  dijamin  oleh  Pemerintah  kepada  bank  yang mengalami  kesulitan  likuiditas  yang  Berdampak Sistemik  dan  berpotensi  Krisis  namun  masih memenuhi tingkat solvabilitas.
5.          Bank  Gagal  adalah  bank  yang  mengalami  kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
6.          Pencegahan Krisis sebagaimana tindakan mengatasi permasalahan:
a.          Bank yang mengalami kesulitan likuiditas  yang Berdampak Sistemik;
b.          Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan  pelunasan  FPD  yang  Berdampak Sistemik; dan
c.          LKBB yang mengalami  kesulitan  likuiditas  dan masalah solvabilitas yang Berdampak Sistemik
7.          Penanganan Krisis meliputi tindakan mengatasi permasalahan: 
a.          Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau solvabilitas yang  secara  individu  Berdampak Sistemik  atau  bank yang secara  individu  tidak Berdampak  Sistemik  tetapi  secara bersama-sama dengan bank lain Berdampak  Sistemik,  pada kondisi krisis; dan
b.          LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang Berdampak Sistemik.
8.          Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dibentuk Komite  Stabilitas  Sistem  Keuangan,  yang selanjutnya  disebut KSSK yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota.
9.          KSSK  berfungsi  menetapkan  kebijakan  dalam  rangka pencegahan dan penanganan krisis.
10.       Dalam  rangka melaksanakan  fungsi penetapan kebijakan pencegahan  dan  penanganan  krisis KSSK mempunyai tugas:
a.          mengevaluasi  skala  dan  dimensi  permasalahan likuiditas  dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai Berdampak Sistemik;
b.          menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah  solvabilitas bank/LKBB Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik; dan
c.          menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam  rangka pencegahan dan penanganan krisis. 
Antisipasi apa yang bisa diambil oleh Bank Indonesia dalam rangka pencegahan sebagaimana yang digariskan oleh Basel Record II. Salah satu cara yang bisa diambil oleh BI adalah memperbesar kecukupan modal bank (CAR) hingga mencapai 8 persen. Permodalan bagi bank sebagaimana perusahaan pada umumnya berfungsi sebagai penyangga terhadap  kemungkinan terjadinya  kerugian. Selain itu modal juga berfungsi untuk menjaga kepercayaan terhadap aktivitas perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. 
Merupakan tugas pengawas bank yang memberikan aturan mengenai modal. Regulatory Capital merupakan modal yang dipersyaratkan oleh otoritas pengawas untuk disiapkan dalam rangka mengatasi kerugian potensial. Persyaratan  Regulatory Capital  merupakan salah satu komponen utama dari pengawasan bank yang  tercermin dalam definisi modal regulatory dan rasio kecukupan modal (CAR).
Rasio ini bertujuan untuk memastikan bahwa bank dapat menyerap kerugian yang timbul dari aktivitas yang dilakukan. Rasio regulatory yang sudah dikenal adalah rasio minimum sebesar 8%. Hal ini menghubungkan modal bank dengan bobot risiko dari aset yang dimiliki. Beberapa bank telah menggunakan pendekatan penilaian kebutuhan modal sebagai fungsi dari manajemen risiko. Umumnya, bank akan menilai jumlah modal yang dibutuhkannya untuk menutupi kerugiannya hingga suatu probabilitas tertentu. Modal merupakan sumber daya dari bank yang sangat mahal sehingga bank harus memiliki insentif yang kuat untuk mengaturnya seefektif mungkin. Sejak pertengahan 1990, beberapa intitusi yang besar dan paling  sophisticated telah mengembangkan berbagai macam ukuran economic capital dan secara spesifik menyatukan sistem manajemen risiko untuk mengelola risiko dan modal lebih efisien. Tujuan dari pengawasan bank  adalah untuk memastikan bahwa bank beroperasi dengan aman dan sehat. Untuk kepentingan ini maka bank harus menjaga modal dan cadangan yang cukup untuk mendukung risiko yang timbul dari dari bisnisnya. Prinsip utama dari The Basel Committee on Banking Supervision’s (BCBS) menyatakan bahwa pengawas bank harus menetapkan persyaratan modal minimum yang  aman dan tepat untuk semua bank.
Persyaratan minimum regulatory capital dibentuk berdasarkan 2 komponen:
1.          Definisi dari regulatory capital adalah daftar dari elemen yang termasuk modal untuk tujuan regulatory capital dan kondisi-kondisi dari yang harus dipenuhi oleh elemen-elemen tersebut agar dapat diperhitungkan sebagai modal.
2.          Bobot risiko dari asset, yaitu semua eksposur setelah dikonversi menjadi aset dan telah mendapatkan bobot risiko dari pengawas berdasarkan tingkat risikonya.
Terhadap fenomena sistem perbankan bayangan dan Basel Record ada beberapa hal yang harus dicermati terus menerur. Pertama, perbankan Indonesia akan terus mengalami konsolidasi, baik modal maupun produknya. Penerapan Basel Record akan sedikit banyak memaksa bank untuk tidak terlalu agresif dulu dalam memasarkan kreditnya dan produk derivatifnya. Kedua, struktur kepemilikan perbankan Indonesia akan semakin disemarakan oleh konglomerasi asing. Menjadi hal yang urgen adalah jika konglomerasi asing itu di negara asalnya terbiasa melakukan perbankan bayangan. Supervisi dari BI harus lebih ditingkatkan. Ketiga, akan terus muncul regulasi perbankan yang ketat dan tambah ketat, sehingga bank sendiri akan kesulitan menyalurkan kreditnya pada sektor riil. Namun, kondisi ini harus dicermati apakah juga akan berimbas pada sektor konsumtif. Jika yang terjadi kebalikannya, sektor konsumtif lebih melesat dari sektor riil. Tentunya risiko default lebih sering terjadi.
Indonesia sudah “relatif” lepas dari krisis ganda: moneter dan keuangan. Tantangan ke depannya adalah mengatur sektor keuangan agar tidak lagi menjadi penyebab krisis. Namun sektor keuangan dapat kembali ke khittahnya sebagi penyokong sistem riil, kredit – kredit pun dapat mengalir ke sektor riil dan pada akhirnya akan menggairahkan perekonomian domestik. Namun, kebijakan sektor keuangan sekarang belum menunjukkan kesinkronan antara bank dan nonbank (pasar modal atau pasar uang). Jika di bank, kebijakan cenderung ketat. Adapun di pasar uang atau pasar modal cenderung longgar. Hal ini bisa terlihat dari IHSG kita yang terus meroket dan mencetak rekor baru, berada pada kisaran 1200-an. Pertanyaan pentingnya: apakah kenaikan IHSG itu disebabkan karena bergerak naiknya harga – harga saham sektor riil atau lebih karena pasokan hot money yang ingin keuntungan cepat. Pasar modal dan pasar uang memang sering diwarnai kegairahan yang berlebihan (irrational exuberance).
Bank Indonesia dalam menghadapi hal ini, tidak bisa lagi mengibaratkan dirinya sebagai seorang tua yang anaknya cenderung nakal, tetapi tidak pernah berusaha menghentikannya, sehingga kebiasaan buruk anaknya yang berfoya – foya terbawa terus, sampai musibah merontokkannya.
Instrumen hukum sampai sekarang yang digunakan BI dalam mengatasi gejolak sistem keuangan yang ditimbulkan oleh sistem perbankan bayangan sampai saat ini yaitu masih disandarkan kepada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan dan Peraturan BI yang terkait baik itu dari segi pengawasan bank nasional maupun bank internasional, dan juga yang terkait dengan peraturan-peraturan menteri keuangan yang juga dalam hal penyaluran kredit untuk usaha-usaha tentang perbankan.



[1] Muhammad Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Jurusan Pidana Ekonomi Universitas Sebelas Maret
[2] Abdul latief dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
[3] Soehino, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Pertama, Penerbit BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
[4] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Revisi, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
[5] Supanto, Kejahatan Ekonomi Global Dan Kebijakan Hukum Pidana Cetakan Ke-1, Penerbit Alumni, Bandung, 2010
[6] Alan Greenspan dalam Arianto Patunru, Otobografi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
[8] http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/19/hukum-perbankan-seputar-pengertian-perbankan/
[9] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
[10] Ismail, Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi, Pranada Media Cetakan Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta, 2010
[11] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Revisi, Pranada Media, 2011
[12] Jamal Wiwoho, Hukum Perbankan Indonesia, Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2011
[13] Purbaya Yudhi Sadewa, Implementasi Basel Record II di Indonesia, Seminar Good Govermance di Sektor Perbankan yang diselenggarakan oleh INFOBank bekerjasama dengan BNI, 2008
[14] Ibid
[15] Fauzi Ichsan, Macam-Macam Produk Derivatif, Kumpulan makalah dalam seminar ekonomi keuangan sebagai disiplin baru dalam ekonomi, yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi UI bekerja sama dengan Perbanas, 2004